sumber foto : UNICEF
Edie Haryoto
PH&H, Public Policy Interest Group
ABSTRAKSI
Urgensi penurunan angka stunting untuk generasi bangsa Indonesia yad tidak perlu lagi diperdebatkan dan dibahas pada tulisan ini karena semua pihak sudah menyadari betapa pentingnya upaya penanggulangan stunting ini demi kualitas generasi manusia Indonesia yang akan datang. Penurunan prevalensi stunting telah ditetapkan sebagai Prioritas Nasional.
Presiden Joko Widodo telah mencanangkan target penurunan angka stunting dalam menunjang pembangunan sumber daya manusia agar bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang maju di tahun 2045. Presiden juga telah menugaskan Kementrian Koordinator PMK, Bappenas, dan tentunya Kementerian Kesehatan untuk mewujudkan target penurunan stunting hingga menjadi 19 persen, sedikit di bawah target yang dicanangkan oleh WHO sebesar 20%. Target dan langkah tersebut rupanya tidak hanya terkait dengan Kementerian Kesehatan dan Kemenko PMK akan tetapi bahkan juga Kantor Staf Wakil Presiden dan terakhir Presiden menunjuk Ketua Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk ikut serta dalam penanggulangan stunting, L/K mana yang menjadi koordinator sulit dijelaskan
Posisi terakhir Tahun 2019 pada hasil Riskesdas, angka stunting Balita Indonesia adalah 27.67 persen (note: angka ini agak diragukan), sementara target WHO adalah 20 persen dan/atau angka preavalensi stunting saat ini turun 40 persen sampai Tahun 2025 untuk anak berusia 5 tahun ke bawah. Rapat yang dipimpin Wapres menetapkan Penurunan Stunting 14 persen di akhir 2024.
Namun demikian, kebijakan untuk penurunan angka stunting masih dapat dibilang belum terstruktur dan komprehensif. Dimulai dari angka-angka statistik stunting yang perlu dibuat satu data termasuk angkan-angka prevalensi stunting daerah, serta penanganan penanggulangan stunting yang dilaksanakan dan dilaporkan banyak pihak
Kebijakan yang dituangkan di dalam peraturan perundangan selama ini sulit dikaitkan dengan keberhasilannya dalam angka penurunan prevalensi stunting, sepertinya tidak dilakukan evaluasi yang mendalam korelasi antara kebijakan yang diambil, peraturan perundangan yang ditetapkan serta hasil yang dicapai.
Pada tanggal 23 Desember Tahun 2020 Presiden telah melantik Menteri Kesehatan yang baru: Budi Gunadi Sadikin menggantikan Terawan Agus Putranto. Diharapkan dimulai pada Tahun 2021 penanggulangan stunting memasuki tahap baru, di tengah kesibuklan luar biasa di dalam menangani pandemi Covid-19.
Kebijakan Menteri Kesehatan untuk mencapai target yang ditetapkan perlu ditetapkan secara holistic, mengoordinasikan beberapa kementrian, pemerintah daerah, dan lembaga karena penanganan stunting menjadi kepentingan semua K/L. Hal ini bertepatan dengan Menteri Kesehatan sebelumnya pada Agustus Tahun 2019 (Nila Farid Muluk) telah menerbitkan peraturan baru untuk penanganan stunting dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 29 Tahun 2019 untuk mengobati bayi/anak yang mengalami kondisi medis khusus melalui pemberian Pangan olahan khusus untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK). Atas Permenkes yang strategis ini diperlukan aturan pelaksanaan yang holistik, terstruktur, terukur dan dapat di implementasikan oleh seluruh K/L terkait serta dapat difahami oleh semua pemangku kepentingan di Pusat dan Daerah.
Pelaksanaan Permenkes No 29 Tahun 2019 tersebut apabila direncanakan dengan komprehensif meliputi segenap aspeknya akan menjadi terobosan yang berarti di dalam penanggulangan stunting. Karena target prevalensi stunting sangat jelas, kebijakan nasional untuk penanggulanganya pun sangat jelas dengan menerbitkan Permenkes. Namun demikian tujuan tidak akan tercapai dan kebijakan tidak akan terlaksana dengan baik tanpa langkah yang teliti, komprehensif dan dapat diterapkan, (the devils is in thel detail)
Keywords: Stunting, PKMK, Kebijakan Menkes Baru
A. PENDAHULUAN
Sejak Tahun 2010 an sebenarnya telah disadari pentingnya penurunan angka stunting pada bayi dan anak, bahwa stunting akan mengakibatkan penurunan atau tidak berkembangnya kapasitas intelektual anak sehingga akan menurunkan daya saing sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang, sementara Indonesia pada Tahun 2030 justru mendapat bonus demografi dengan besarnya proporsi populasi dalam usia produktif. Diperkirakan stunting akan menurunkan PDB 2%-3% (Horton 1999), atau bernilai sekitar Rp 300 triliun. Karena demikian pentingnya penurunan prevalensi stunting ini maka Presiden dan Wakil Presiden telah menetapkan penanggulangan stunting merupakan prioritas nasional
Target WHO untuk angka prevalensi stunting adalah 20%. Indonesia memiliki angka yang lebih tinggi dari angka target WHO tersebut (14%), sementara negara-negara tetangga di Asean angaka prevalensi stuntingnya lebih baik dibanding Indonesia, sehingga pencapaian target penurunan stunting tidak perlu lagi diperdebatkan
Serangkaian peraturan perundangan untuk penanggulangan stunting telah ditetapkan, namun angka stunting masih jauh dari target yang ditetapkan
Pada Tahun 2019 Menteri Kesehatan telah menerbitkan Permenkes terbaru untuk penanggulangan stunting, yakni, Permenkes No 29 Tahun 2019 yang tentunya diharapkan dapat dilaksanakan dengan efektif. Dan pada akhir Tahun 2020 telah ditetapkan Menteri Kesehatan yang baru yang diharapkan dapat melaksanakan Permenkes tersebut dengan baik, komprehensif teliti tidak hanya sekedar teknis peraturan akan tetapi apakah juga dapat dilaksanakan di Puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kondisi wilayah yang berbeda. Demikian juga dari penganggaran yang tersebar di berbagai K/L dan Pos Anggaran dsb yang pada akhirnya memerlukan suatu Peta jalan yang jelas, lengkap dan komprehensif agar seluruh aspek dapat berjalan serentak dan mencapai hasil yang efektif
Menteri Kesehatan saat ini memiliki tugas utama yakni menanggulangi pandemi Covid-19, namun penanggulangan stunting juga terlalu penting untuk diabaikan. Dengan pembenahan dan arah tindakan yang terarah maka diharapkan penanggulangan stunting akan berjalan seiring dengan penanggulangan pandemi Covid-19
B. DATA STUNTING YANG KURANG PERLU DITATA AGAR TERPERCAYA
Data stunting beberapa tahun terakhir dari beberapa sumber adalah sebagai berikut:
- 2007 : 8% (Riskesdas, Rakerkesnas Februari 2020))
- 2010 : 6% (Riskesdas, Rakerkesnas Februari 2020)
- 2013 : 2% (Riskesdas, Rakerkesnas Februari 2020)
- 2015 : 29% (https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/06/05%2000:00:00 /1419 /persentase-balita-pendek-dan-sangat-pendek-2015-2016-.html
- 2016 : 54% (BPS, https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data /0000/ data/ 1325/sdgs_2/1
- 2017 : 6% (BPS, sda)
- 2018 : 8%, (riskesdas, Rakerkesnas Februari 2020, www.kemenkes co.id, BPS sda)
–> 36.64% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes,2018, situs berkas DPR, go.id)
- 2019 :67% (Survei status gizi balita Indonesia) (https://nasional.kompas.com/read/ 2020/11/19/17020401/terawan-angka-stunting-di-indonesia-lebih-tinggi-dari-ambang-batas-who). Angka tahun 2019 belum menjadi hasil BPS atau Riskesdas

Berdasar angka-angka tersebut di atas, perubahan angka dari tahun ke tahun, antara lain dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2015 angka prevalensi stunting berfluktuasi.
Dari tahun 2016 ke tahun 2017 dan 2018 konsisten prevalensi stunting naik, dan ada perbedaan data yang signifikan pada tahun 2018 antara data Riskesdas dan BPS sebagaimana disampaikan pada Rakerkesnas Februari 2020 (30.8%) dan data dari Pusat data dan Informasi Kemenkes 2018 (36.64%).
Dan selanjutnya cukup menarik bahwa angka itu turun drastis menjadi “hanya” 27.67% pada Tahun 2019 berdasar data Survei status gizi balita Indonesia sebagaimana dipaparkan oleh Menkes
Sementara itu target WHO, angka stunting adalah 20% sehingga masih cukup jauh dan masih memerlukan kebijakan dan langkah yang nyata untuk mencapai angka tersebut. Sementara Target Nasional ditetapkan 14% pada Tahun 2024
Angka prevalensi stunting Negara Tetangga adalah: Malaysia 17%, Thailand 16%, dan Singapura 4% jauh lebih baik dibanding Indonesia dan jauh melampaui target yang ditetapkan oleh WHO. Data bandingan lain sebagai berikut:
Sumber:https://kumparan.com/sofiewasiat/simsalabim-lima-tahun-stunting-turun-1sFAlE 4IRGw
Angka prevalensi stunting pada balita di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Indonesia menempati peringkat 108 dari 132 negara yang diurutkan berdasarkan prevalensi stunting balita terendah hingga tertinggi (IFPRI, 2015). Berdasarkan laporan tersebut pula, Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting pada balita tertinggi ketiga di antara negara-negara ASEAN, setelah Timor Leste dan Laos PDR (Laporan IPKS BPS-Setwapres)
C. LAPORAN INDEKS KHUSUS PENANGANAN STUNTING
BPS bersama Kantor Sekretariat Wakil Presiden telah menerbitkan Laporan Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS). Adalah menarik bahwa Laporan ini diterbitkan BPS atas kerjasama dengan Kantor Sekretariat Wakil Presiden bukan dengan Kementerian Kesehatan atau Kemenko PMK. Wakil Presiden memang bebrapa kali mempimpin rapat tentang penanggulangan stunting, a.l rapat di Kantor Wapres pada tanggal 1 Nopember 2019 (https://www.antaranews. com/berita/1141940/wapres-maruf-pimpin-rapat-penanggulangan-kemiskinan-dan-stunting) Dan Wapres meminta Kepa Daerah untuk aktif di dalam penanganan stunting (https://nasional. kompas.com/read/2020/10/21/11574091/wapres-minta-kepala-daerah-jadikan-pencegahan-stunting-sebagai-prioritas?page=all)
Dalam Laporan IKPS tersebut disampaikan beberapa hal penting sebagai berikut:
- Laporan IKPS menyangkut nasional, 34 propinsi dan 63 kabupaten/kota
- Dua kerangka besar intervensi di dalam penggulangan stunting adalah dengan Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif
- IKPS 2019 merupakan penyempurnaan dari IKPS 2017 dengan menambahkan beberapa indikator pengukuran (12) dari berbagai dimensi (6), serta nilai minimal dan maksimal untuk setiap indikator disertai pemberian bobot masing-masing
- Secara keseluruhan IPKS nasional menunjukkan kenaikan dari 63.92 (2018) menjadi 66.08 (2019)
- Dilaporkan angka IPKS per dimensi dan indikator untuk setiap daerah yang dipilih
- IPKS tahun 2018 maupun 2019 terdapat 12 propinsi di atas angka nasional, lainnya di bawah angka nasional. DI Yogyakarta tertinggi (78.54-79.94) dan Propinsi Papua terendah (40.01-41.07)
- Beberapa propinsi mengalami penurunan, Gorontalo terbesar
- Dilaporkan juga angka di berbagai Kabupaten/Kota
D. KEBIJAKAN YANG TELAH DITUANGKAN DALAM PERATURAN PERUNDANGAN
Untuk melaksanakan kebijakan penanggulangan stunting dan menurunkan angka prevalensi stunting, telah diterbitkan beberapa peraturan perundangandari Tahun 2014 sebagai berikut:
- Permenkes No. 23 Tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi; Permenkes ini mengatur tentang pembentukan kebijakan-kebijakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal membentuk perilaku keluarga sadar gizi (Kadarzi) dalam masyarakat melalui proses pendampingan. Dalam peraturan ini salah satunya diatur dengan memberikan suplemen gizi yaitu berupa kapsul vitamin A, Tablet tambah darah, makanan tambahan ibu hamil, MP-ASI, makanan tambahan anak balita usia 2-5 tahun, makanan tambahan anak usia sekolah, dan bubuk multi vitamin dan mineral.
- Permenkes No. 51 Tahun 2016, tentang Standar Produk Suplementasi Gizi, Permenkes ini mengatur tentang spefisikasi suplementasi gizi, yang diberikan dalam empat bentuk yaitu makanan tambahan. Permenkes ini diatur secara rinci mengenai kandungan, pengolahan, pengemasan dan pelabelan dan hal lainnya.
- Surat Edaran Dirjen Kesehatan Masyarakat Nomor: HK.02.02/V/407/2017 tentang Pemberian Suplementasi Gizi PMT Ibu Hamil, PMT Anak Balita dan PMT Anak Sekolah. SE Dirjen Kesmas yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota mengenai peningkatan status gizi ibu hamil, anak balita (6-59 bulan) dan anak sekolah (5-12 tahun) melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
- Petunjuk Teknis Pemberian PMT (Balita, Anak Sekolah, Ibu Hamil) Kemenkes RI Tahun 2017 Juknis PMT ini dibentuk sebagai tindak lanjut dari SE Dirjen Kesmas Nomor: HK.02.02/V/407/2017 yang mencakup hal-hal tentang jenis dan karakteristik produk MT, pengiriman, penyimpanan dan distribusi serta monitoring dan evaluasi agar Pemberian MT dapat dilaksanakan efektif dan efisien. Menurut juknis ini PMT merupakan salah satu strategi suplementasi dalam mengatasi masalah gizi bagi kelompok rawan gizi
- Pedoman Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita, 2019 oleh Kementerian Kesehatan RI bekerjasama dengan UNICEF serta pihak-pihak lain untuk menurunkan pravelensi gizi buruk pada balita melalui program-program yang dilakukan lintas sektoral dan tingkatan baik pusat, provinsi, kabupaten/kota.
- Permenkes RI No. 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi bagi Anak Akibat Penyakit. Dalam permenkes ini mengatur tentang masalah gizi bagi anak akibat penyakit berupa beresiko Gagal Tumbuh, Gizi Kurang atau Gizi Buruk, Bayi Sangat Prematur, dan tiga penyakit lainnya. Penyelenggaraan penanggulangan ini diadakan melalui surveilans gizi; dan penemuan penanganan kasus yang apabila terhadapnya diperlukan upaya khusus, maka dilakukan pemberian PKMK. Khusus untuk Penyakit Gagal Tumbuh, Gizi Kurang dan Gizi Buruk maka diberikan PKMK berupa oral nutrition supplement dengan kandungan energi lebih besar dari 0,9 kkal/ml
Dengan Pedoman Tatalaksana serta Permenkes tersebut penanganan stunting pada dasarnya telah memulai babak baru dari hanya sekedar Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang lebih bersifat preventif. Ditambah dengan pemberian Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) yang lebih ditujukan untuk bayi/anak yang sudah stunting. Dengan demikian pencegahan dan tatalaksana untuk anak/bayi stunting telah lengkap.
D. KORELASI ANTARA ANGKA PREVALENSI STUNTING DENGAN PERATURAN PELAKSANAAN UNTUK PENANGGULANGAN STUNTING
Pada dasarnya kebijakan yang dituangkan di dalam peraturan perundangan untuk penanggulangan tidak berkorelasi secara langsung dengan pencapaian angka preavalensi stunting karena banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian angka tersebut. Namun demikian juga tidak salah untuk menggunakan angka prevalensi stunting yang dicapai dengan kebijakan yang dituangkan pada peraturan perundangan untuk penanggulangan stunting sebagai salah sat indikator berhasil atau tidaknya dengan menerbitkan suatu peraturan
Berdasarkan data pada butir B dan Peraturan Perundangan pada butir C dengan berasumsi bahwa data tahun tahun 2004 sampai dengan tahun 2018 adalah benar, maka dapat diambil beberapa perkiraan sebagai berikut
- Tahun 2007 – Tahun 2015
Pada kurun waktu ini kebijakan Kesehatan masyarakat belum fokus pada penanganan stunting, Permenkes yang terbit pada kurun waktu ini hanya Permenkes No. 23 Tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi, tidak secara spesifik untuk penanggulangan stunting. Angka prevalensi stunting berfluktuasi turun-naik. Namun angka pada Tahun 2015 (29%) turun cukup signifikan dibanding Tahun 2013 (37.2%)
- Tahun 2016-2017
Pada Tahun 2016 diterbitkan lagi Permenkes No. 51 tentang Standar Suplementasi Gizi dan diikuti dengan SE Dirjenkesmas pada tahun 2017 tentang hal yang sama serta Petunjuk Teknis Pemberian PMT. Kebijakan ini sudah lebih fokus pada upaya menurunkan prevalensi stunting. Namun demikian angka stunting justru naik konsisten dari 27.54% % pada 2016 menjadi 29.6% pada 2017 dan menjadi 30.8% pada tahun 2018.
- Tahun 2018-2019
Adalah hal yang agak “mencengangkan” angka prevalensi stunting turun menjadi 27.67% berdasar Survei Status Gizi, Kemenkes pada tahun 2019 dibanding 30.8% pada tahun 2018 (Riskesdas/BPS).
- Tahun 2019
Pada Tahun 2019 diterbitkan Permenkes RI No. 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi bagi Anak Akibat Penyakit. Permenkes ini adalah pelaksanaan kebijakan baru yang boleh disebut sebagai terobosan untuk dapat segera secara efektif menurunkan angka prevalensi stunting dengan Pemberian Makanan Khusus untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK). Pelaksanaan PKMK ini belum dapat diukur hasilnya karena belum dilaksanakan, sehubungan belum diterbitkannya Petunjuk Teknis pelaksanaannya. Petunjuk Teknis baru terbit pada akhir Tahun 2020 jauh setelah Permenkes ditetapkan. Dari sisi ini saja dapat dilihat bahwa setelah kebijakan dituangkan di dalam peraturan masih lama kemudian baru akan dilaksanakan. Tentu hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kesibukan di dalam penanggulangan pandemi Covid-19, namun keterlambatan ini tentu patut disesalkan karena sangat strategisnya penanganan stunting untuk kualitas manusia Indonesia pada masa yang akan datang.
E. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN STUNTING SEYOGIANYA SPESIFIK PER WILAYAH
Luasnya wilayah Indonesia dengan variasi kondisi yang berbeda cukup jauh mengharuskan penanganan penanggulangan stunting juga berbeda. Tidak bisa menggunakan angka rata-rata. Berdasar grafik di bawah ini, maka angka prevalensi stunting bahkan mendekati 50 persen pada wilayah: Nusa Tenggara, Kalimanatan, Papua yang jauh di atas rata-rata nasional. Hal ini juga telaph dilaporkan pada Laporan Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS). Pada butir C di atas
Untuk wilayah dengan prevalensi stunting yang tinggi adalah pada wilayah yang koneksi dan aksesnya juga lebih sulit dibanding wilayah lain. Sehingga apabila akan diberikan pengobatan misal dengan PKMK juga akan menemui kesulitan dengan akses dan ketersediaan Dokter Anak. Pengecualian sebaiknya dilakukan untuk wilayah semacam ini

G. PERMENKES NO 29 TAHUN 2019 HENDAKNYA DISEMPURNAKAN DAN DILAKSANAKAN DENGAN BAIK DAN RINCI SEBAGAI TITIK AWAL KEBIJAKAN MENKES
Permenkes No 29 Tahun 2019 (26 Agustus, 2019) adalah suatu terobosan baru, karena penanganan stunting dengan PKMK yang merupakan obat spesifik untuk penanggulangan stunting yang telah kehilangan waktu lebih dari satu tahun untuk pelaksanaannya
Petunjuk Teknis (Juknis) atas Permenkes No 29 Tahun 2019 tersebut merupakan kunci sukses pelaksanaan Permenkes. Beberapa kekurangan yang ada pada Juknis seharusnya segera diperbaiki. Dari Juknis tersebut terdapat beberapa catatan sebagai berikut:
- Menurut Data dari Pusdatin Kemenkes, tidak ada satu pun Puskesmas/Posyandu yang memiliki Dokter Spesialis Anak, bahkan Dokter Umum pun kurang dari dua untuk setiap Puskesmas. Dengan demikian apabila pemberian PKMK harus oleh Dokter Anak berarti dirujuk ke RS. Hal ini sulit dilaksanakan di daerah mengingat tidak semua daerah dapat mengakses RS, atau literasi ibu di daerah belum mencukupi untuk melanjutkan pengobatan anaknya yang stunting ke RS. Padahal justru angka prevalensi stunting yang tinggi adalah di wilayah-wilayah seperti itu
- Petunjuk Teknis yang akan disusun adalah untuk pemberian PKMK sehingga termasuk pengaturan untuk dukungan nutrisi sebagai Oral Nutrition Suplement (ONS) dalam menangani balita stunting. Apabila Puskesmas/Posyandu hanya diberikan formula PKMK saja maka akan sulit difahami oleh Puskesmas/Posyandu yang tidak meracik PKMK sendiri, sehingga seyogianya juga diatur PKMK yang berupa produk jadi (ready to drink). PKMK ini harus yang telah diuji oleh Pakar Kedokteran Anak dan atau Kemenkes serta sesuai dengan definisi yang ditetapkan BPOM (Perka BPOM No 24 Tahun 2020 Lampiran B.1.2).
- Mengacu pada butir 2 tersebut di atas maka seyogianya Petunjuk Teknis Pelaksanaan Permenkes No 29 Tahun 2019 sejalan dengan apa yang telah ditetapkan pada Perka BPOM sehingga regulasi yang ada berjalan seiring. Salah satu contoh atas hal ini adalah misalnya pada Perka BPOM No 24 Tahun 2020 telah ditetapkan bahwa PKMK yang telah mendapat izin edar atau izin akses tetap berlaku sebagai PKMK sampai dengan tanggal yang ditetapkan. Dan setelah tanggal tersebut barulah harus disesuaikan dengan pengaturan yang baru sesuai formula yang diatur pada Perka. Permenkes selayaknya berkelindan dengan Perka BPOM.
H. JAMINAN ANGGARAN UNTUK PENANGANAN STUNTING SERTA PENGADAANNYA
Pentingnya penjaminan dana agar program penanggulangan stunting benar-benar terlaksana, tidak hanya sekedar dibahas dan diatur. Untuk itu di samping detil pelaksanaan dijelaskan pada Petunjuk Teknis, juga sumber pendanaan untuk pemberian PKMK dalam penanggulangan stunting harus pula direncanakan dan ditetapkan, antara lain dari sumber pendanaan: APBN/APBD dari Pos Kesehatan maupun Dana Desa, BPJS, serta dalam penyusunan DAK mengajukan alokasi khusus untuk penggulangan stunting, antara lain untuk pengadaan PKMK, juga kemungkinan penggunaan dana swasta. Penganggaran juga harus diikuti dengan proses pengajuan yang jelas, terinci dan komprehensif antara anggaran satu K/L dengan K/L lainnya. Untuk pendanaan penanggulangan stunting terutama tentunya bersumber dari APBN dan APBD. Perlu diyakinkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam APBN juga telah memasukkan anggaran untuk stunting karena Kesehatan termasuk pos anggaran di dalam DAK. Di luar anggaran Kemenkes dan APBD/Dinkes, pendanaan untuk pengadaan PKMK juga dapat dilaksanakan melalu anggaran untuk desa pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT). Juga kemungkinan anggaran dari Kementerian Sosial. Demikian juga halnya bahwa untuk PKMK penanggulangan stunting seharusnya termasuk dalam golongan obat yang dibayar oleh Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesmas)/BPJS
Berdasar pengalaman pada pengadaan PMT sebelumnya, seharusnya program pengadaan untuk PKMK disiapkan dengan baik: transparan, akuntabel dan auditable. Melalui proses yang good governance dengan melalui pengadaan melalui Layanan Pengadaan Secara Electronik (LPSE), oleh karenanya dari awal atas PKMK harus disiapkan e catalog nya
Langkah-langkah tersebut dimaksudkan agar bahwa secara jika kebijakan telah benar dan sasaran juga telah ditetapkan dengan tegas, bahkan peraturan perundangannyapun telah diundangkan, maka langkah yang dilaksanakan juga menjamin terlaksana dengan baik dan benar. Jangan samapai terjadi tidak dapat dilaksanakan karena anggaran yang tidak mencukupi, atau proses pengadaan yang tidak dapat dilakukan bahkan mungkin rawan dari kecurangan.
I. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN STUNTING YANG DIHARAPKAN DAPAT DILAKSANAKAN OLEH MENTERI KESEHATAN YANG BARU DENGAN BERKOORDINASI DENGAN K/L LAIN (Kemenko PMK, Kantor Wapres, BKKBN dsb)
- Memperbaiki data dan sistem pemantauan angka prevalensi stunting dan IKPS
Berdasarakan data prevalensi stunting dari tahun ke tahun pada Butir B terlihat bahwa data prevalensi stunting diambil dari berbagai sumber, antara lain: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), BPS dan juga Survei Litbang Kemenkes. Menteri Kesehatan saat ini sebenarnya juga telah “merasakan” ketidakakuratan data kemenkes dalam penanganan pandemi Covid-19 (Menkes Kapok Gunakan Data Kemenkes, Akan Pakai Data KPU untuk Basis Vaksinasi Covid-19 Kompas.com – 22/01/2021, 12:20). Seyogianya ditetapkan satu data, terutama data yang sudah dihitung dan disajikan oleh BPS, untuk data yang sama dengan yang ada di BPS tidak perlu lagi menjadi komponen dalam Riskesdas atau Survei Litbang. Data juga harus data nasional, propinsi dan kabupaten/kota karena penanganan penanggulangan stunting itu tidak dapat dengan angka rata-rata, variasi angka prevalensi dan spesifikasi setiap daerah sangat berbeda sehingga cara penanganannyapun berbeda.
Demikian juga efktivitas penanganan stunting yang dilaporkan pada IKPS yang dilaporkan oleh BPS bersama Kantor Setwapres hendaknya juga menjadi acuan
- The Devils is in the detail
Langkah terobosan agar penurunan angka prevalensi stunting telah dilakukan dengan baik melalui pemberian PKMK, namun demikian kebijakan tersebut akan terhambat oleh hal-hal yang terabaikan (the devils is in the detail) dalam pelaksanaannya. Pada awalnyapun hambatan ini sudah terlihat dari lamanya penerbitan Juknis jauh setelah Permenkes. Beberapa hal yang sudah ditengarai dari awal bahwa pelaksanaan dari Permenkes ini dan Juknisnya akan terhambat adalah: PKMK tidak diberikan secara luas karena hanya dapat diberikan oleh Dr Spesialis Anak yang tidak tersedia justru pada wilayah yang angka prevalensi stuntingnya tinggi, kebingungan Puskesmas/Posyandu jika hanya diberikan formula PKMK karena Puskesmas/Posyandu tidak meracik obat itu sendiri. Di samping itu sampai saat ini masih berkembang berbagai interpretasi apa yang disebut PKMK yang seharusnya sudah jelas sebagaimana didefinisikan di dalam Perka BPOM, misal PKMK disamakan dengan RUTF, atau PKMK akan dibuat sendiri mengulang ketidakjelasan pengadaan PMT-biskuit pada periode sebelumnya
Selayaknya Permenkes dan Juknis untuk ini benar-benar mengatur secara rinci untuk dapat dilaksanakan, mengatur secara jelas dan tidak menimbulkan salah interpretasi baik sengaja ataupun tidak sengaja, sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah dan benar pada Pelayanan Kesehatan Primer di seluruh wilayah
- Membuat Peta Jalan (road map) penanggulangan stunting
Besar kemungkinan Peta Jalan telah dibuat, namun demikian apabila belum atau belum sempurna, maka Peta Jalan sangat perlu untuk disusun atau disempurnakan dan disampaikan juga ke K/L terkait serta Pemangku Kepentingan lain. Manfaat utama Peta jalan tentu adalah agar sasaran jelas dan cara mencapainya juga jelas untuk setiap tahap dan tahun. Peta jalan juga mengandung unsur koordinasi baik internal maupun eksternal. Peta jalan sedikitnya memuat hal-hal sebagai berikut:
- Target tahunan angka prevalensi stunting dari Tahun 2021 sampai tahun tercapainya prevalensi stunting 20% sesuai target WHO dan 19% sebagai target nasional
- Di samping Target Nasional dan juga perlu ditetapkan target per Propinsi disertai pokok tindakan secara nasional dan spesifik untuk setiap propinsi
- Rencana-rencana pencapaian target tersebut secara rinci, yang meliputi: Anggaran yang diperlukan, dari K/L mana saja, peraturan perundangan yang perlu dibuat dsb
- Sistem pemantauan dan pelaporan pencapaian serta tindakan yang dilakukan
- Dsb
Peta Jalan hendaknya juga dibuat untuk setiap wilayah/propisni/kabupaten/kota karena perbedaan spesifik kewilayahan antara satu dan lainnya
- Menteri Kesehatan memantau langsung penangana penanggulangan stunting antar lain dengan IKPS
Menteri Kesehatan dan jajarannya pada saat ini sangat fokus pada penanganan pandemi Covid-19, namun demikian penanganna penanggulangan stunting terlalu penting untuk tidak diperhatikan karena menyangkut kualitas manusia Indonesia di masa yang akan datang. Sebaiknya secara periodik dilakukan pemantauan dan pembahasan atas perkembangan penanganan stunting.
Salah satu yang terpenting alat penting di dalam pemanatau penanganan stunting adalah IPKS, dan adalah menarik bahwa Laporan IPKS disusun oleh BPS bersama Kantor Setwapres bukan dengan Kementerian Kesehatan
- Diperlukan koordinasi yang erat namun dengan tanggung jawab masing-masing K/L secara jelas
Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa Prseiden dan Wapres mengarahkan kebijakan di dalam penanganan stunting. Di dalam pelaksanaannya kebijakan pimpinan nasional sebaiknya dilaksanakan terpadu dengan tanggung jawab yang jelas atas masing-masing K/L, karena misalnya pemantauan IKPS oleh BPS dengan Kantor Setwapres, Kemenkes menetapkan berbagai Permenkes untuk penanganan stunting, Kemenko PMK beberapa kali mengadakan rapat koordinasi dan terakhir Presiden menunjuk Ketua BKKBN untuk juga menangani stunting. Seyogianya Kemenkes mengambil inisiatif untuk mengusulkan cara dan prosedur di dalam memadukan penanganan stunting sehingga kebijakan dapat dilaksanakan dengan efektif
Jakarta, Januari 2021