Oleh: Edie Haryoto
PENDAHULUAN
Perkeretaapian Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak dibangun di Zaman Belanda, dengan bentuk perusahaan milik negara (SS) dan juga Perusahaan KA Swasta (NIS, NJS, SDS, DSM dsb). Selanjutnya pada Zaman Merdeka telah berubah bentuk dari Jawatan Kereta Api (DKA), Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA), Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dan terakhir sampai saat ini PT Kereta Api Indonesia (Persero), atau kita sebut saja KAI
Setiap perubahan bentuk perusahaan kereta api tentu mengandung suatu tujuan sehingga pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengubah bentuk perusahaan tersebut. Bentuk perusahaan menentukan bagaimana menjalankan perusahaan tersebut, terutama pada tujuan utama pelayanan publik dan atau mengejar keuntungan
Bentuk terakhir sekarang ini sebagai Perseroan Terbatas adalah bentuk sebelum bentuk yang mungkin akan terjadi sebagai tahap berikutnya, yakni bentuk badan usaha swasta dengan sebagian sahamnya atau seluruhnya dimiliki oleh publik/swasta
Tulisan ini menyampaikan secara singkat bagaimana kebijakan pemerintah pada perkeretaapian, bagaimana menjalankan usahanya serta hasil yang didapat dimulai dari bentuk PJKA karena pemapar mengalami dimulai dari PJKA selanjutnya Perumka dan KAI. KAI juga masih pada awal, perjalanan KAI selanjutnya sampai dengan saat ini hanya bersifat pengamatan awam.
PERJALANAN PANJANG PERKERETAAPIAN
Sejarah perkeretaapian Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1864 di zaman kolonial Belanda, yang pada zaman colonial itu kereta api dioperasikan oleh satu Perusahaan Negara SS dan lainnya dioperasikan oleh perusahaan kereta api swasta (NIS, SDS, DSM, dsb). Perusahaan-perusahaan KA swasta ini untuk angkutan tertentu juga mendapatkan Publik Service Obligation (PSO) berupa kontrak dengan pemerintah. Setelah merdeka, perusahaan-perusahaan kereta pai tersebut dinasionalisasi menjadi Jawatan Kereta Api dan kemudian menjadi Perusahaan Nasional Kereta Api (PNKA)
Tulisan ini dimulai setelah zaman Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang merupakan perubahan bentuk berikutnya dari PNKA. Penulis masuk bekerja sampai menjabat Direktur Keuangan adalah pada masa PJKA ini yang berlanjut ke Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka). Pada masa Perumka penulis menjabat Direktur Utama dan berlanjut sampai ke bentuk berikutnya yakni PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau kita singkat sebagai KAI.
Dari bentuk-bentuk perusahaan kereta api ini sebenarnya sudah terlihat bagaimana kebijakan pemerintah atas perkeretaapian yakni dimulai sebagai agen pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan umum dan semakin bergeser kearah untuk mendapatkan keuntungan. Perubahan-perubahan bentuk tersebut tentu sangat mempengaruhi bagaimana direksi menjalankan perusahaan tersebut.
Di samping perubahan bentuk yang menunjukkan kebijakan pemerintah atas perkeretapian dan bagaimana direksi menjalankannya, langkah direksi juga sudah tentu terpengaruh oleh situasi perekonomian, sosial, budaya dan teknologi yang tersedia. Sehingga tindakan yang diambil ketika itu bisa jadi akan sulit dimengerti dengan menggunakan parameter saat ini
PERUSAHAAN JAWATAN KERETA API (PJKA)
Nama Jawatan pada dasarnya adalah agen pemerintah, melaksanakan tugas pemerintah. Namun nama Perusahaan di depannya tentu mengandung makna bahwa pelaksanaan tugas pemerintah ini akuntabel. Dikelola terpisah dari keuangan negara secara akunting. Sehingga pelaksanaan tugas pemerintah tersebut dapat diukur. Pencapaian laba atau rugi perusahaan pada dasarnya sepenuhnya direncanakan oleh pemerintah. Tarif ditetapkan pemerintah, demikian pula subsidi ke perusahaan, sudah barang tentu juga investasi baik untuk prasarana maupun sarana. PJKA sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lebih banyak bersifat sebagai Milik Negara (MN) dibanding sebagai Badan Usaha (BU)
Direksi PJ pada dasarnya “hanya” menjalankan tugas sebagai kepanjangan tangan pemerintah, pegawai PJ adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN sekarang. Direktur Utama atau disebut Kepala Perusahaan Jawatan Kereta Api (Kaperjanka) adalah pejabat pemerintah dengan eselon 1B. Sesuai namanya Kepala PJKA maka Direksi dan jajarannya adalah bawahan Kaperjanka. Perusahaan dipimpin oleh Kaperjanka bukan oleh Direksi perusahaan sebagaimana Perum dan Persero. Kaperjanka di bawah Menteri Perhubungan yang dalam membina perkeretaapian dibantu Sekretaris Jenderal dan Dirjen Perhubungan Darat. Pembinaan secara operasional sangat tergantung pada karakter Dirjenhubdat dan Kaperjanka yang menjabat saat itu. Ada kalanya Dirjenhubdat sampai memeriksa detil operasi KA namun lain waktu Kaperjanka berwibawa sehingga Dirjenhubdat sungkan sampai ke detil operasi KA. Pembinaan administratif oleh Sekjen dilaksanakan oleh Biro TU BUMN yang juga mengelolaa banyak Badan Usaha Milik Negara di lingkungan kementerian. Karena Kepala Biro TU BUMN adalah eselon 2A, maka Direksi BUMN sering diperlakukan seperti eselon 3 di Kementerian. Posisi tersebut mengilustrasikan bahwa pada dasarnya Kaperjanka beserta pimpinan PJKA pada status Perjan menjalankan perusahaan sebagaimana yang diperintahkan oleh kementerian (perhubungan), tidak banyak kreasi yang dapat dilakukan di dalam menjalankan usahanya sebagai perusahaan. Karakter Menteri, Sekjen dan Dirjen sangat mempengaruhi Kaperjanka dalam menjalankan perusahaan. Sebagai contoh di satu sisi PJKA harus tunduk pada aturan-aturan kepemerintahan akan tetapi penulis sendiri diangkat sebagai Direktur Keuangan dengan Pangkat PNS IIIB, padahal pangkat minimal eselon 2 adalah IVB. Bawahan penulis berpangkat IVA dan IV B, itu suatu hal yang haram dan tidak boleh terjadi, namun toh terjadi dan dilaksanakan. Gambaran itu menunjukkan bahwa manajemen PJKA pada dasarnya adalah sesuai yang dikehendaki pemerintah.
Administrasi dan Keuangan PJKA masih berdasar Reglemen (a.l R2, R3, R22 dsb) serta IBW dan ICW peninggalan Zaman Belanda dan beberapa Peraturan Pemerintah yang kesemuanya sering mengatur dengan cara yang tidak sama.
Dari sisi internal perusahaan, PJKA menghadapi beban yang berat, jumlah pegawai yang pada awalnya sekitar 74.000 orang dirasionalisasi menjadi 42.000. Tarif yang rendah. Prasarana dan sarana yang tua, antara lain lokomotif uap yang masih beroperasi. Andalan lokomotif adalah CC201 sebanyak 18 unit yang juga dibelikan oleh pemerintah. Pemerintah memang berniat untuk memajukan dan meningkatkan peran perkeretaapian, dan sudah dimulai dengan proyek-proyek besar yang merupakan tonggak sejarah perkeretaapian, antara lain:
- Sinyal Modern NX (Solo, Cikampek)
- Telekomunikasi dengan nama Proyek T03 yang sudah sangat modern pada zamannya. Telpon TOKA warna hijau adalah andalan PJKA dan itu sangat luar biasa pada zaman itu, perusahaan yang memiliki sistem itu bisa dihitung dengan jari
- Proyek komprehensif seperti: Jabotabek, KP3Baka, dsb adalah proyek-proyek sangat besar yang sangat berpengaruh pada perkeretaapian sampai sekarang. Di samping proyek dengan skala dibawahnya seperti: Kabat-Meneng, Cigading-Serpong, Semen Padang dsb
- Dari sisi manajemen dengan bantuan Bank Dunia dimulai disain dan penerpan Sistem Akuntansi Baru yang sangat sulit dilaksanakan karena sudah ratusan tahun menggunakan sistem reglemen (R2, R22 dsb) dengan manual, kertas karbon dsb
- Telah dimulai Bantuan Teknik Bank Dunia (BTBD) yang amat berpengaruh pada kebijakan dan strategi perusahaan masa berikutnya. BTBD ini antara lain melakukan studi banding ke luar negeri untuk 200 an kader PJKA yang selanjutnya menjadi pimpinan di berbagai tingkat dan wilayah PJKA. BTBD juga telah merumuskan perubahan bentuk perusahaan serta kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah. Beberapa hal yang perlu dicatat dari rekomendasi BTBD adalah: perlunya unbundling perkeretaapian antara prasarana dan sarana, pemisahan urban transport dengan intercity, membuka peluang kerja sama dengan swasta sehingga perlu regulator khusus perkeretaapian (DJKA) dan untuk itu perlu adanya Undang-Undang baru untuk perkeretaapian
Walaupun sudah banyak pemikiran-pemikiran baru di samping dari BTBD kegiatan operasional tetap merupakan pelayanan umum. Semua yang akan naik KA harus dilayani, hal yang saat ini sudah tidak harus lagi. Sebagai contoh: Semua yang datang di setasiun pada masa angkutan lebaran akan naik KA maka kewajiban PJKA untuk mengangkut. Semua penumpang di stasiun harus habis terangkut, dengan okupansi yang sering di atas 100 persen dan kadang bahkan menggunakan gerbong barang. Angkutan Lebaran bagi insan kereta api sering menjadi ukuran pengabdian dan kesetiaan pada perusahaan dan pelayanan publik
Dengan keterbatasan yang ada untuk menjalankan tugas pemerintah dalam pelayanan publik perkeretaapian, bukan berarti Kaperjanka dan Direksi PJKA kemudian tidak melakukan inovasi, banyak inovasi yang sudah dilakukan, antara lain:
- Memulai Implementasi Sistem Akuntansi Baru, walaupun masih manual belum ada pengolahan data elektronik yang sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan dan mengukur daya laba setiap jenis pelayanan, per KA, per daerah dsb
- Menerapkan sistem manajemen mutu terpadu (TQC, QCD, GKM dsb) di seluruh bagian perusahaan
- Jenjang karier tidak lagi “urut kacang” akan tetapi juga berdasar merit
- Dan banyak kreasi lainnya yang dilaksanakan oleh Direksi yang relative masih berusia sangat muda
PERUSAHAAN UMUM KERETA API (Perumka)
Konsultan Bank Dunia sebenarnya menyarankan perubahan bentuk perusahaan dari PJKA adalah langsung menjadi PT (Persero), namun demikian dengan berbagai pertimbangan pemerintah mengubah status PJKA menjadi Perum terlebih dahulu (Perumka). Fase ini kita sebut sebagai korporatisasi, yang semula sebagai agen pemerintah menjadi lebih bersifat perusahaan. Aset dan pegawai dipisahkan secara jelas antara aset negara dan PNS dengan aset perusahaan dan pegawai perusahaan. Pekerjaan administrasi perubahan status ini memerlukan energi dan waktu yang luar biasa besar. Inventarisasi aset, likuidasi PJKA, alih status pegawai dan sebagainya. Sangat berat
Perusaahaan tidak lagi dipimpin oleh Kepala (Kaperjanka) akan tetapi oleh Direksi, yang terdiri dari satu Direktur Utama dan empat Direktur (Keuangan, Teknik, Operasi dan Personalia&Umum).
Beberapa langkah strategis yang diambil manajemen pada masa Perumka, antara lain:
- Rencana Perka KA Jakarta-Surabaya dalam sembilan jam dengan Kode Proyek JS-950 dan dalam rangka menyambut ulang tahun kemerdekaan RI ke 50, serta,
- Rencana Perka KA Jakarta-Bandung dalam dua jam (JB-250)
- Rencana Trans Sumatra Railway (TSR)
- Menamakan klasifikasi baru kereta penumpang dengan: Kelas Eksekutif, Bisnis dan Ekonomi disertai jenis pelayanannya. Kereta Eksekutif selanjutnya merupakan Klas yang berkelas di masyarakat
- Menyetandarkan nama-nama KA dengan jenis pelayanannya, misal: Kelas Argo dengan rangkaian semua eksekutif dan sedikit perhentian, Kelas nama binatang di pewayangan (Turangga, Sancaka, Dwipangga, dsb) dengan rangkaian semua eksekutif berhenti di kota-kota besar, Kelas Campuran eksekutif dan bisnis dengan nama-nama lama (Bima, Senja, Mutiara dsb), serta nama-nama sungai untuk KA kelas ekonomi (Cisadane, Bengawan dsb)
- Penetapan tarif Klas Non Ekonomi oleh Direksi
- Sejalan dengan teknologi yang ada, mulai menerapkan karcis elektronik pada beberapa stasiun tertentu dan KA tertentu
- Mulai menyertifikasi aset di seluruh wilayah dengan bantuan aparat serta mulai bekerja sama dengan swasta untuk aset non produktif
- Bersama Kementerian Perhubungan memperjuangkan UU Perkeretaapian
Perumka juga melanjutkan advokasi Bank Dunia yang setelah BTBD lanjut dengan Railway Reform, yang sebagai sweetener diberikan soft loan untuk beberapa kebutuhan perusahaan seperti permesinan di Balai Yasa, Crane, Truk dsb yang sebelumnya telah diidentifikasikan di dalam modul-modul BTBD. PSO, IMO, TAC dalam proses regulasi demikian juga rencana strategis untuk pelaksanaan UU Perkeretaapian
Perumka sudah mendapat sedikit keuntungan, namun 50% labanya yang sedikit tersebut untuk disetior ke pemerintah sebagai Dana Pembangunan Semesta (DPS). Dengan usulan Perumka Sebagian Dana DPS diberikan ke perusahaan untuk cicilan PSL yang merupakan kewajiban pemerintah
Pelayanan Kereta Api dirasakan masyarakat sudah jauh lebih baik dibanding era PJKA. KA-KA Klas Eksekutif yang tarifnya dapat ditetapkan sendiri oleh Perumka sudah dikenal bergengsi. Mendapatkan tiket KA Parahiangan dan Argo Gede cukup sulit karena banyak disukai masyarakat. Dengan frekuensi yang tinggi koridor Jakarta-Bandung merupkan cash cow Perumka. Angkutan batu bara di Sumatera Selatan menjadi primadona angkutan barang yang menyumbang pendapatan terbesar Perumka. JS 950 dan JB 250 merupakan tonggak penting bagi pelayanan kereta api karena promosi besar layanan ini. Secara internal perusahaan JS 950 dan JB 250 juga merupkan tonggak dan pemacu bekerja lebih keras dan lebih baik, serta merupkan proyek yang menyatupadukan semua unsur perkeretaapian: Jalan, Jembatan, traksi, operasi lalu lintas, pemasaran sampai ke ticketing dan administrasi
Pemerintah/ Kementerian Perhubungan agak berkurang di dalam campur tangan operasi perusahaan, namun sekali lagi juga sangat tergantung personnya. Pada akhir Perumka sudah terbentuk Kementerian BUMN yang didahului dengan pembentukan Direktur Jenderal BUMN. Biro TU BUMN Kemenhub dibubarkan. Rapat Umum Pemegang Saham untuk pengesahan RKAP da Pertanggungjawaban diselenggarakan di Kementerian BUMN. Warna mengejar keuntungan sudah semakin menonjol.
KAI YANG BERKEMBANG PESAT
Pada bab ini penulis lebih merupakan pengamat, karena sudah mengundurkan diri sebagai Direktur Utama KAI karena kecelakaan KA di Serpong dengan korban tewas 4 (empat) orang.
Kemajuan teknologi informasi dengan digital mengubah total dua sendi utama perusahaan perkeretapian yakni: ticketing dan sistem informasi perusahaan. Implementasi keduanya mengubah secara drastis pelayanan dan optimasi penjualan produksi tempat duduk KA.
Di samping kemajuan teknologi digital tersebut juga pelaksanaan PSO dan IMO/TAC yang telah dirintis bertahun-tahun sebelumnya telah meningkatkan pendapatan secara drastis (terakhir tahun 2020 nilai PSO adalah Rp 2.6 triliun dan Tahun 2021 dianggarkan Rp 3,4 triliun) sehingga perusahaan mampu berkembang dengan baik karena keuntungan yang besar.
Sebagai PT, manajemen perusahaan melakukan investasi yang besar untuk pembaharuan sarana, prasarana dengan sumber dana antara lain dari dana di luar perusahaan (hutang).
KAI Ikut serta dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah (KA Cepat/KCIC, LRT), dengan saham minoritas dan juga dengan serah operasi setelah dibangun BUMN Karya.
Perbaikan pelayanan KA yang semakin handal, semua KA dengan A/C, tanpa penumpang berdiri, akses ke setasiun sangat dibatasi, dan perbaikan pelayanan lain yang menyeluruh hampir di semua lini meningkatkan nama KAI pada publik. KAI mengalami perbaikan yang signifikan.
Namun demikian tentu pelayanan publik yang dulunya dilaksanakan oleh PJKA dan Perumka tidak dapat lagi dilanjutkan. Kewajiban KA mengangkut semua penumpang di setasiun semasa Lebaran tidak lagi menjadi kewajiban. Stasiun juga bukan lagi rumah masyarakat selain calon penumpang untuk berinteraksi dengan KA. Layanan KA juga semakin mahal sejalan dengan pelayanan baik yang diterima. Tidak ada lagi penumpang yang menjadikan KA adalah last resort untuk membawa ke tujuannya. KA juga bukan lagi harapan untuk pedagang asongan yang berjualan. Itu semua memang harga yang harus dibayar untuk pelayanan yang lebih baik ke penumpang. Zaman juga telah berubah, publik lebih mengutamakan pelayanan yang baik dibanding pelyanan untuk semua lapisan. Sementara untuk angkutan barang masih tetap fokus pada angkutan batu bara di Sumatera Selatan yang terus meningkat performansinya.
BANDUL PENDULUM KERETA API BERAYUN KE KOMERSIAL DAN SWASTA
Bandul pendulum perkeretaapian berayun dari pelayanan publik ke komersial, dari milik negara ke arah swastanisasi bukan hanya di Indonesia. Hampir seluruh dunia melakukan hal yang sama. Privatisasi British Rail pada zaman PM Margaret Thatcher diikuti hampir semua Perusahaan KA dunia seperti: DB Jerman, NS Belanda, Renfe Spanyol dsb. Dari sisi pelayanan publik tekanan mengarah pada integrasi baik inter moda ataupun antar moda transportasi. Saya mengilustrasikan pada dua contoh fenomena atas hal tersebut. Di Stasiun di Kota kecil Bodegraven Belanda (karena anak saya tinggal di sana jadi bisa melihat langsung dan lama). Lobi stasiun diubah menjadi restoran. Mesin Karcis (tidak ada lagi loket) diletakkan di emplasemen tanpa atap ataupun dinding. Ruang tunggu juga di emplasemen dengan atap dan dinding flexiglass sekedarnya. Jika hujan dan angin dan akan mengisi saldo tiket, maka penumpang akan kehujanan. Menunggu KA juga akan kena tempias. Pelayanan ke penumpang kalah oleh komersialisasi dengan menyewakan lobi stasiun untuk restoran. Sementara di Stasiun Berlin terdapat integrasi inter dan antar moda yang sangat banyak. Inter moda di Stasiun ini adalah DB (KA Intercity seperti KAI), S-Bahn (KA Sub-Urban seperti KCI) dan U-Bahn (Metro seperti MRTJ). Antar moda ada Tram, Bus, Taksi. Stasiun Berlin adalah TOD dengan area komersial yang besar seperti juga Stasiun Schiphol di Belanda. Dua contoh tersebut saya pilih karena mewarnai KAI juga pada perjalanannya sekarang ataupun yang akan datang
Bandul Pendulum yang berayun ke komersial juga menjadi kebijakan pemerintah yang terindikasikan pada peraturan perundangan terbaru yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja (Omnibuslaw), antara lain sebagai berikut:
- Revisi PP 56 Tahun 2009 jo PP 6 Tahun 2017 (Hal 48 RPP)
- Dipisahkan perizinan prasarana dan sarana. Dalam perizinan prasarana terdapat untuk pembangunan
- Badan Usaha dapat Badan Hukum di samping BUMN dan BUMD untuk itu dalam PP sebelumnya yang hanya BUMN dan BUMD serta pasal terkait dihapus dengan RPP juga bidang yang lebih luas tidak hanya jalur, setasiun dan fasilitas operasi (PP 6: ps 306 C, 307, 310, 311, 314. PP 56 ps 315-318)
- Untuk badan usaha sarana dan perkeretaapian khusus juga diberi peluang yang sama, antara lain mengubah pasal: 356 PP 56, 365 PP 6.
- Penyelenggaraan prasarana dapat: lelang, tunjuk langsung atau penugasan
- Perizinan untuk menyelenggarakan prasarana sangat sederhana misal: cukup memiliki 2 (dua) ahli di bidang prasarana KA (Pasal 7 mengubah pasal 305-306)
- Perjanjian konsesi atau kerja sama. Akhir masa konsesi asset diserahkan ke pemerintah
- Investasi prasarana: jalan, bangunan, jembatan, damija, dawasja, stasiun, fasilitas operasi, depo, balai yasa dan fasilitas pendukung lainnya
- Dsb
KEBIJAKAN PUBLIK ATAS PERKERETAAPIAN DEWASA INI
Kebijakan publik atas perkeretaapian di Indonesia sebagaimana disampaikan di atas adalah mengarah kepada perkembangan perkeretaapian yang lebih cepat dengan menarik modal swasta. Fenomena yang sudah terjadi saat ini adalah antara lain:
- KAI mengoperasikan LRT di Palembang
- KAI adalah Pemegang Saham Kereta Api Cepat Indonesia-China (KCIC) dengan modal setor baik berupa asset tetap maupun fresh money
- KAI nantinya juga akan menerima/membeli LRT Jabodebek yang dibangun BUMN Karya
- Isu panas terakhir adalah saham KAI di KCI akan dialihkan ke PT Multi Intermoda Transportasi Jakarta (MITJ) sebesar 49% sementara yang 51% adalah saham PT Moda Raya Terpadu Jakarta (MRTJ)
Dari contoh-contoh yang terjadi di atas terdapat indikasi kebijakan publik yang kurang transparan dan bahkan ambigu atas perkeretaapian, sedikitnya ada catatan-catatan sebagai berikut yang selayaknya menjadi bahan pertimbangan pemerintah, yakni:
- Prinsip dari banyak reformasi di perkeretaapian dunia adalah adanya pemisahan prasarana dan sarana KA. Pada umumnya yang terbuka untuk swasta adalah pada sarana, setasiun dsb yang lebih bersifat pelayanan komersial disbanding operasi KA. Walaupun tidak menafikan kemungkinan tetap merupakan perusahaan yang menjalankan keduanya, namun prinsip pemisahan tetap menjadi acuan di dalam perhitingannya. Dalam hal ini adalah belum jelasnya siapa pemilik asset prasarana LRT nantinya? Apakah PMN ke KAI? apakah harus dibayar KAI? Apakah telah dihitung kelayakannya baik EIRR maupun FIRR, apakah sudah dihitung PSO nya dan sebagainya? Tidak didapat informasi yang jelas mengenai hal ini. Yang sudah pasti adalah LRT Palembang telah dioperasikan oleh KAI
- Reformasi lainnya yang banyak dilakukaan pada perkeretaapian di luar negeri adalah pemisahan operasi dan perusahaan KA: Intercity (seperti KAI), Sub-Urban (seperti KCI) dan Urban (seperti MRTJ). KA Intercity umumnya dimiliki dan dioperasikan oleh Perusahaan KA Nasional, sedangkan KA Urban pada umumnya dioperasikan oleh BUMD, sedangkan KA Sub-Urban terdapat banyak versi, namun Sebagian besar dioperasikan juga oleh KA Nasional. Hal ini sudah berlangsung di Jakarta. Namun tiba-tiba ada kebijakan untuk menggabungkan KCI dan MRTJ. Kebijakan tersebut sah-sah saja sepanjang telah mengalami kajian yang matang, fair, hubungan keuangan negara dan perusahaan yang jelas dalam hal PSO, perhitungan kepemilikan asset yang adil dan transparan dsb, sehingga tidak menjadi kekhawatiran bahwa penggabungan tersebut tidak menghasilkan perbaikan pelayanan atau sarat masalah pelanggaran atau perundangan yang berlaku atau bahkan keduanya
- Beberapa prinsip dasar yang sangat penting sebelum menetapkan kebijakan atas perkeretaapian adalah, antara lain:
- Tidak boleh melanggar peraturan perundangan yang berlaku, a.l: UU Perkeretaapian, PP/Perpres tentang Angkutan di Jabotabek, a.l: PP Pelaksanaan UU KA, BPTJ, Integrasi angkutan Jabotabek dsb.
- Status dari PSO. Yang saat ini hanya diberikan pada BUMN. Adalah hal yang janggal apabila PSO semakin meningkat bersamaan dengan peran swasta juga semakin meningkat. Sebaiknya ditetapkan index PSO seberapa besar tetap dikelola pemerintah/BUMN dan berapa batas PSO yang mengijinkan untuk diprivatisasikan
- Status dari asset, kebijakan pemerintah untuk BUMN seharusnya pemerintah lebih fokus pada pengelolaan asset disbanding pengelolaan perusahaan
HARAPAN UNTUK PERKERETAAPIAN INDONESIA
- Kebijakan pemerintah untuk perkeretaapian hendaknya menekankan pada: sudah pasti adanya peningkatan pelayanan publik, disamping itu juga: Tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku, adil, transparan; Pertimbangan trade off antara PSO dan privatisasi bukan peningkatan keduanya; dan pemerintah hendaknya lebih fokus pada pengelolaan asset bukan pada jalannya perusahaan.
- Perubahan-perubahan yang terjadi adalah suatu proses yang berjalan panjang selama ini. Dari proses panjang tersebut dapat ditengarai bahwa apapun bentuk usahanya dan seberapapun besarnya peran swasta, operasi KA adalah kompetensi dan keunggulan KAI. Swastanisasi dengan model seperti apapun hendaknya operasi KA jangan dilupakan dan dilepaskan dari Perusahaan KA Nasional
- Disiplin, TBS (Tidak Boleh Salah), Patuh Aturan (dulu Reglemen), adalah sifat dasar insan perkeretaapian yang tidak boleh luntur dan tetap diingat ketika negosiasi dengan swasta yang mengutamakan rente (karena biasanya swasta pandai mengemas).
- Perkeretapian berkelindan dengan public service, berbeda dengan moda transportasi lainnya, walau pendulum ke arah komersial, public service adalah unsur yang tidak boleh ditinggalkan.
- Komersialisasi, peningkatan peran swasta adalah keniscayaann namun jangan mudah terperdaya dalam negosiasi dengan swasta bahkan dengan BUMN/D lain. The Devils is in the detail, bukan pada kemasannya yang selalu menarik. Urusan sebagai Badan Usaha (BU) bisa bergeser menjadi urusan Milik Negara (MN) ketika terjadi masalah hukum.