Edie Haryoto (PH&H Public Policy Interest Group)
Flight Information Region (FIR) adalah wilayah pelayananan lalu lintas udara (air traffic services). Di Indonesia FIR ini ada dua yakni Indonesia bagian barat adalah FIR Jakarta dan Indonesia bagian timur adalah FIR Makasar. Keduanya dibawah pengelolaan Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) namun biasa kita sebut AirNav saja. Sebelum AirNav terbentuk, penyelenggara navigasi penerbangan adalah AP I dan AP II. Pelayanan Navigasi Penerbangan berdasar ketinggiannya dibagi menjadi yang disebut :
- Area Control Centre (ACC) untuk ketinggian di atas 24.500 feet
- Area Approach (APP) di antara ketinggian 4.000 feet s.d 24.500 feet,
- Area di bawah 4.000 feet dilayani oleh Aerodrome Bandara (Tower) (ADC).
Contoh FIR Jakarta ada APP dan ADC di Tanjung Pinang dan APP, ADC di Bandara Kualanamu, Bandara TNJ, Bandara PKU dsb. FIR ini tidak selalu sesuai batas negara akan tetapi tetap menghormati kedaulatan negara (sovereignty ), yang tidak sama dengan batas negara misal: Timor Leste dilayani oleh FIR Makasar. Pulau Christmas dilayani FIR Jakarta. Di Eropa malah hanya satu FIR Eurocontrol di Masstricht
FIR di atas Kepulauan Riau sampai Natuna
Dulu sebelum adanya UNCLOS dan ratifikasinya, ruang udara di atas Kepulauan Riau adalah ruang udara bebas, oleh Badan Penerbangan sipil dunia (ICAO) didelegasikan ke Inggris/Singapura, selanjutnya ke Singapura. Setelah UNCLOS tahun 1982 dan berlaku tahun 1994, maka ruang udara di atas Kepuladan Natuna tersebut menjadi masuk wilayah Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Selanjutnya ruang udara tersebut dilakukan realignment batas FIR sesuai mekanisme ICAO pada Tahun 1995. Itu yang dikenal sebagai Sektor A, B dan C. Jika tak ada pendelegasian itu maka ruang udara SIN hanya sebatas ADC saja sekitar 10 nm dari Bandara Changi. Pesawat Terbang sudah bisa dilihat pakai Teropong. Lebih dari jarak dan ketinggian itu sudah areanya APP. Jadi sejak 1995 sebenarnya ya sudah didelegasikan. Apabila tanpa pendelegasian itu untuk mengendalikan Termina Manuevering Area (TMA) guna layanan APP, tidak bisa dilakukan oleh Singapura/Bandara Changi karena di atas 4.000 feet sekitar 90 nm dari Bandara Changi
Indonesia sudah menyiapkan diri mengelola navigasi penerbangan di area tersebut sejak 1995.
Sebenarnya sejak 1995 itu Indonesia (APII) sudah bersemangat untuk mengambil alih layanan navigasi di area tersebut karena selalu hal tersebut yang ditanyakan oleh berbagai pihak baik Singapura atau bahkan kalangan Indonesia sendiri. Apakah benar telah siap mengambilalih layanan navigasi tersebut. Indonesia/AP II, memasang radar MSSR, DVOR/DME, VHF dsb di P. Natuna. Di JATS (Jakarta Air Traffic Control), ACC sudah ditambah desk untuk upper Natuna dsb. Dan juga telah disiapkan air nav di Tanjung Pinang ATC Automation System. Jadi ya sudah siap, akan tetapi pengambilalihan rupanya bukan soal siap tidaknya perlatan dan personil akan tetapi soal politik.
Pasal 458 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Kemudian teknis pengambilalihannya dicantumkan dalam Lampiran E, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 55 Tahun 2016, tentang Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional, sehingga Indonesia semakin aktif dalam rencana mengambilalih ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna tersebut.
Apakah perjanjian sekarang berbeda dengan tahun 1995 tersebut? Hanya sedikit bedanya, yaitu :
- Pertama, resmi disebut pendelegasian, artinya diakui itu hak Indonesia yang kemudian didelegasikan, walau penedelegasiannya lama sekali, 25 tahun.
- Kedua, Diatas 37.000 feet dilayani Jakarta FIR. Memang di atas 37.000 feet itu hanya overflying tidak akan ke Bandara Changi dan trafik tidak padat.
- Ketiga, Sektor B dan C dilayani Jakarta FIR. Ini juga tidak ke Bandara Changi dan trafik juga tidak padat. Dari hal ini sudah terlihat bahwa Singapura menginginkan control atas pesawat terbang dari dan ke Bandara Changi saja.
Apakah Singapura diuntungkan dengan pendelegasian itu?
Jawabannya ya pasti iya lah. Karena FIR Singapura mengendalikan navigasi penerbangan sejak dari di bawah 37.000 feet, jika tanpa pendelegasian maka Bandara Changi ADC hanya mengendalikan setelah di Aerodrome Control sekitar 10 nm di bawah 4.000 feet dari Bandara Changi. Ini yang sering disebut fragmentasi. Tanpa pendelegasian, maka Approach akan dilayani oleh APP TNJ di bawah Jakarta FIR, dan pada ketinggian yang sudah sangat rendah dialihkan ke ADC Bandara Changi, FIR Singapura. Apakah itu membahayakan keselamatan penerbangan? Menurut banyak orang iya karena peralihan di titik kritis, jika take off pesawat belum stabil, jika landing pesawat terbang juga pada saat kritis. Menurut saya sih tidak apa-apa sebab sepanjang semua dilakukan sesuai protapnya ya tidak masalah. Bukankah itu yang terjadi di semua Bandara di bawah FIR Jakarta. Bahwa ada perbedaannya karena satu kendali dengan dua kendali yang dianggap tetap akan berbeda. Barangkali iya, tapi tidak perlu hal itu dibesar-besarkan cukup dengan koordinasi yang baik. Pada dasarnya Singapura ingin “mengamankan” penerbangan dari dan ke Bandara Changi. Itu saja. Indonesia apakah diuntungkan dibanding Perjanjian 1995? Ada juga. Walau sepi Jakarta FIR mengendalikan en route di atas 37.000 feet, sekarang juga melayani navigasi Sektor B dan C dan ini juga terkait dengan Malaysia.
Apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Pertama , Periksa kembali apakah dapat dibenarkan adanya penerimaan Air Navigation Charges tanpa melakukan pelayanan. Kedua , Sudahkah AirNav melakukan perjanjian operasional dengan AirNav nya Singapura di samping sekedar hanya menempatkan staf di ATS nya Singapura, Ketiga Sudahkah peta Aeronotika (AIP) dsb di ubah dan dideclare. Keempat Terakhir 25 tahun lagi jangan diperpanjang pendelegasiannya