CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK “SANGAT CUKUP ALASAN UNTUK MENETAPKAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG LEBIH KETAT UNTUK PENGENDALIAN TEMBAKAU”

CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK “SANGAT CUKUP ALASAN UNTUK MENETAPKAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG LEBIH KETAT UNTUK PENGENDALIAN TEMBAKAU”

CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK

“SANGAT CUKUP ALASAN UNTUK MENETAPKAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG LEBIH KETAT UNTUK PENGENDALIAN TEMBAKAU”

 

Pendahuluan

Semua orang pada dasarnya telah tahu benar bahwa merokok dan menggunakan produk tembakau lainnya membahayakan kesehatan, namun jumlah perokok tetap cenderung bertambah kecuali ada kebijakan publik serta peraturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan dengan konsisten dan tegas maka jumlah prevalensi perokok akan dapat diturunkan

Beban negara untuk merawat kesehatan masyarakat akibat merokok yang bersifat katastropik berkali lipat dibanding dengan pendapatan dari cukai rokok. Merokok bukan hak individu karena dampak merokok bagi sekitarnya (perokok pasif) berupa asap dapat dikatakan sudah melanggar HAM. Merokok juga berdampak besar pada masyarakat miskin karena menurut berbagai riset pengeluaran untuk merokok adalah nomer dua setelah beras. Dari berbagai riset juga diketahui bahwa anak stunting lebih banyak ditemukan pada keluarga perokok (19%) padahal anak stunting akan mengurangi kualitas SDM Indonesia di masa yang akan datang

Negara-negara maju pada umumnya menetapkan kebijakan yang ketat untuk pembatasan tembakau sementara di negara berkembang relatif lebih longgar, walaupun di negara berkembang juga ada kebijakan yang sangat intens untuk melakukan pembatasan tembakau, misalnya Timor Leste yang menetapkan kontrol tembakau sangat ketat, antara lain dengan Pictorial Health Warning (PHW) pada bungkus rokok sampai dengan 90 persen, di samping aturan pembatasan lainnya seperti: larangan iklan, kawasan bebas rokok, jumlah minimum batang rokok dalam satu kemasan, besarnya cukai dan sebagainya. Di banding dengan banyak negara, kebijakan publik untuk pengendalian tembakau di Indonesia relatif lemah

Konflik kepentingan antara kesehatan masyarakat dan ekonomi

Disadari bahwa peningkatan pengendalian tembakau selalu konflik dengan kepentingan ekonomi, khususnya kepentingan ekonomi usaha industri rokok, petani tembakau dan pihak yang berdagang tembakau dan produk tembakau, serta akhir-akhir ini juga usaha rokok elektronik. Kebijakan publik acap kali dihadapkan pada konflik kepentingan antara kesehatan masyarakat versus ekonomi, sebagaimana saat ini dalam pengendalian penularan Covid-19. Konflik kepentingan tersebut tidak hanya di Indonesia akan tetapi juga di negara lainnya. Kelompok yang anti atas pembatasan tembakaupun pada dasarnya juga sudah sangat memahami bahaya rokok pada kesehatan, namun demikian motif ekonomi sering mengungguli motif kesehatan tersebut. Dalam pengendalian pandemi Covid-19 yang sering disebut dengan gas untuk pengembangan ekonomi dan rem untuk pembatasan sosial masyarakat  dan pemerintah memainkan gas dan rem sesuai dengan situasinya. Dalam situasi pengendalian tembakau ini sudah saatnya pemerintah menekan rem karena prevalensi merokok yang bertambah khususnya untuk perokok anak-anak. Pemerintah juga tidak dapat mengharapkan kenaikan pendapatan cukai rokok karena beban APBN untuk biaya penanganan kesehatan masyarakat akibat merokok seperti stroke, serangan jantung, kanker dsb menurut studi empat kali lebib besar dibanding pendapatan dari cukai. Kecuali jika kenaikan pendapatan cukai karena peningkatan harga rokok dan bukan kenaikan pendapatan katrena kenaikan volume penjualn rokok

Posisi Indonesia diantara negara lainnya di dalam pengendalian tembakau berada pada level bawah

Prevalensi perokok Indonesia 76.2% jauh lebih tinggi dibanding Singapura 28%, Malaysia 43%, Thailand 41,4% Fili[ina 43%, Korsel 49,8% sudah jelas mendesak untuk diturunkan agar tidak disebut negara yang terbelakang, apalagi dari penelitian terbukti preavalensi merokok berbanding terbalik dengan IQ rata-rata penduduk suatu negara

Dalam hal kebijakan dan peraturan pengendalian tembakau posisi Indonesia lebih mendekati posisi negara-negara berkembang kelompok bawah sebagaimana pada sebagaian negara di Afrika. Hal ini tercermin antara lain dari ratifikasi atas Framework Convention on Tobbacco Control (FCTC) dimana hanya tinggal sedikit negara yang belum meratifikasi FCTC tersebut yakni negara: Andorra, Dominican Republic. Eritrea, Indonesia, Liechtenstein, Malawi, Monaco, Somalia, South Sudan

Pengaturan atas pembatasan tembakau juga masih relatif sedikit dibanding negara lain, sebagai contoh: Pictorial Healht Warning (PHW) pada bungkus rokok di Indonesia hanya 40% sementara negara lain jauh lebih besar (Timor Leste 95%, Australia, Singapore, Brunei Darusalam 75%), juga pengaturan lainnya seperti kemasan polos, besaran cukai yang lebih kecil, larangan merokok untuk anak usia bawah 18 tahun, larangan iklan, pembatasan kawasan merokok dsb

Sangat cukup alasan untuk menetapkan peraturan perundangan dengan pembatasan yang lebih ketat untuk penggunan produk tembakau

            Di samping ketertinggalan peraturan perundangan atas pembatasan rokok di Indonesia dibanding negara lain, juga terdapat perkembangan kondisi yang terjadi di mayarakat yang belum tercakup pada peraturan yang ada saat ini (PP 109 Tahun 2012) karena sudah lama berlaku dan tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, antara lain: munculnya rokok electronic/Vape/Iqor dan sejenisnya. Belum adanya pengaturan larangan iklan/promosi melalui media sosial/online, banyaknya penjualan rokok dan iklan yang ditujukan justru pada anak sekolah serta penjualan rokok batangan yang semakin besar. Alasan-alasan tersebut sangat cukup sebagai dasar perlunya revisi atas peraturan perundangan yang ada

Pemerintah dinilai lebih condong pada motif ekonomi alih-alih membatasi tembakau demi kesehatan masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya beberapa indikasi sebagai berikut: Rancangan Undang-undang (RUU) pertembakauan atas inisiatif DPR pada Tahun 2016 sudah tidak diproses lanjut, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk revisa PP 109 Tahun 2012 tentang  Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan juga jalan di tempat.

Pemerintah dalam RJPMN 2020-2024 juga telah menetapkan target prevalensi perokok usia 10 – 18 tahun turun dari 9.1% menjadi 8.7%

 

 

Rekomendasi:

  1. Pemerintah segera menetapkan revisi PP No 109 Tahun 2012 tentang  Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
  2. DPR segera proses UU Pengendalian Tembakau
  3. Meratifikasi FCTC

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jakarta, Juni 2022

PH&H, Public Policy Interest Group

 

 

 

Leave a Comment