Kondisi hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia yang dengan adanya berbagai pembangunan, pertambahan penduduk dan industri sangat mengganggu ketersediaan sumber daya air (SDA). Gangguan atas ketersediaan SDA berupa kekeringan dan tanah longsor. Sesuai pemantauan kami kondisi hidrologis sekitar Jakarta mengalami masalah tersebut dan cukup kritis namun belum terlihat adanya rencana ataupun pelaksanaan yang jelas untuk penanganannya. Ketidakjelasan K/L yang menangani, ketidakjelasan wilayah, ketidakjelasan kewenangan pusat atau daerah, dan ketidakjelasan lainnya. Diperlukan pengelolaan dan pengawasan SDA khususnya terkait dengan Wilayah Sungai (WS) yang terpadu serta kewajiban dan tanggung jawab yang jelas atas: WS, DAS dan SDA pada umumnya.
Kondisi dan rajutan (crafting) atribut-atribut bentang alam dalam unit DAS dan keberhasilannya diukur dengan tiga kriteria yaitu: efisiensi ekonomi, keadilan dan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. Dan pada saat ini ukuran-ukuran tersebut juga belum jelas parameternya dan siapa yang memantaunya. Keberhasilan atas tiga hal tersebut perlu parameter yang jelas, target yang terukur, regulasi, kebijakan serta partisipasi dan dukungan dari berbagai sektor, wilayah dan para pemangku kepentingan dalam bidang pengelolaan SDA
PH&H telah melakukan pengamatan terhadap pengelolaan DAS ini terutama pengelolaan DAS di Wilayah Jakarta dan Jawa Barat (Ciliwung, Cisadane, Citarum) karena dua daerah propinsi ini yang SDA nya berpotensi lebih terganggu dibanding daerah lain, sebab letak geografisnya yang strategis serta banyaknya penggunaan DAS di wilayah ini untuk pemukiman maupun industri untuk mendukung Propinsi Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Regulasi yang tidak jelas didalam pengelolaan Wilayah Sungai dan atau DAS
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan pada tanah dan air di DAS sebagai unit hidrologi yang akan menimbulkan dampak terjadinya bencana lingkungan (tanah longsor, banjir, kekeringan). Kerusakan pada DAS, selain disebabkan oleh faktor alam juga oleh faktor manusia. PP 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS mendefinisikan DAS adalah “suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan”. Sesuai PP tersebut Dirjen PDASRH bertugas membentuk Forum DAS (FDAS) untuk menampung aspirasi dari berbagai pihak karena pengelolaan DAS adalah mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam lingkungan DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga terdapat Direktur Jenderal Sumber Daya Air, dan juga terdapat struktur organisasi Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). Berdasarkan Perpres 10 Tahun 2017 tentang Dewan SDA Nasional. PUPR membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) Wilayah Sungai (Ps 2 (5)) untuk melaksanakan koordinasi pengelolaan sumber daya air pada tingkat wilayah Sungai.
Bagaimana hubungan kerja antara dua Kementerian bserta Ditjen serta Unit Kerja dibawahnya sulit dijelaskan
PH&H yang mengamati penggunaan air di Wilayah DKI Jakarta yang memerlukan air dalam jumlah yang besar dan penyangga airnya di Wilayah Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat ternyata menghadapi banyak ketidakjelasan K/L mana yang sesungguhnya bertanggungjawab penuh atas pengelolaan SDA, karena KLHK dan PUPR keduanya mengelola SDA. Di KLHK mengelola DAS dan di PUPR mengelola Wilayah Sungai. Apa perbedaan Wilayah Sungai dan DAS pun tidak jelas! Pada kenyataannya di lapangan pengelolaan SDA memang terkesan tidak tidak terkoordinasi diantara keduanya.
KLHK untuk dapat menerima aspirasi, sumbangan pemikiran, dan pengawasan masyarakat membentuk FDAS, dan PUPR untuk maksud yang sama membentuk TKPSDA.
Ditambah lagi dengan Perpres 53 Tahun 2022 telah dibentuk pula Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN). Kebijakan DSDAN semestinya menjadi acuan PUPR dan KLHK. Di samping itu juga tidak jelas perbedaan kewenangan dan tanggung jawab unit kerja pusat dengan daerah karena pemderintah daerah juga membentuk dinas yang menangani SDA baik di Dinas PUPR maupun Dinas KLHK juga adanya oraganisasi swasta yang peduli tentang SDA, misal: Walhi, MKTI dan LSM lainnya
Organisasi dan kelembagaan DAS belum efektif
FDAS, PH&H berkesempatan mengikuti kegiatan FDAS Cisadane yang diikuti Dewan Pakar FDAS, Dir Perencanaan dan pengelolaan DAS KLHK, dan BPSDA Kota Bogor. Dalam kegiatan tersebut terpantau bahwa FDAS dibentuk berdasar SK Dirjen Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan. Terdapat beberapa catatan yang menunjukkan bahwa FDAS ini masih mencari bentuk yang efektif, karena pembahasan masih di sekitar: siapa yang sebaiknya menjadi anggota, seberapa banyak jumlah anggota, keanggotaan berdasar nama atau jabatan. Terdapat hal yang belum efektif dari FDAS diantaranya adalah: FDAS belum menampung aspirasi dari masyarakat dan PEMDA mengenai kondisi DAS di wilayahnya dan bagaimana upaya perbaikan DAS, FDAS belum dapat menumbuh kembangkan kesadaran terkait upaya konservasi di daerah terutama di lahan pertanian karena seharusnya kewenangan ini berada di Direktorat Konservasi, dimana direktorat tersebut memiliki keterbatasan untuk terjun langsung ke lapangan. Dan di FDAS juga ada ketidakjelasan fungsi sebagai think thank, atau menerima borongan pekerjaan. Seharusnya sebagai think-thank namun menerima Borongan pekerjaan ada sisi positifnya FDAS karena menjadi memiliki tambahan pemasukan untuk menjalankan kegiatan utamanya sebagai think-thank
MKTI, PH&H juga melakukan review atas MKTI (Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia) dibawah binaan dan berkantor di KLHK. MKTI dananya sangat terbatas, dan disampaikan bahwa FDAS malah memiliki anggaran yang lebih sedikit lagi dibanding MKTI. Ide dan pemikiran antara FDAS dan MKTI sangat banyak, akan tetapi ide masing-masing belum terintegrasikan dan dilaksanakan.
DSDAN. Telah dilakukan review tentang Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) yang dibentuk melalui Perpres No 10 Tahun 2017. Namun belum ditemukan bagaimana hubungan kerja antara DSDAN dengan FDAS, MKTI, BBWS dsb belum diketahui.
Tumpangtindihnya kelembagaan mengakibatkan pengelolaan DAS tidak efektif
Dari pemantauan PH&H dan mengikuti beberapa kegiatan FDAS maka dapat diketahui sebagai contoh pada DAS Cisadane (Jabar). Daerah ingin membuat FDAS kota/kabupaten, akan tetapi Pemda tidak memiliki kewenangan untuk membuat FDAS tersebut, sehingga di Propinsi Jawa Barat dibentuk FDAS Korwil berdasarkan SK Gubernur. Bagaimana hubungan FDAS kota/kabupaten dengan FDAS Propinsi tidak dapat dijelaskan. Di Pulau Jawa, mungkin sudah semua membentuk FDAS Provinsi, akan tetapi tidak demikian dengan propinsi yang di luar Jawa.
Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa FDAS tidak memiliki kewenangan mengawasi ataupun intervensi terhadap penggunaan DAS.
Dari pengamatan lain mengenai isu lingkungan terdapat 4 (empat) Kementrian yang saling berkaitan, yaitu Kementrian LHK, PUPR, Pertanian, dan Perindustrian. Contoh: di DAS Brantas, dibuat sebuah Waduk Sengguruh yang rencananya dapat digunakan selama 20 tahun. Akan tetapi, baru 10 tahun sudah penuh. Hal tersebut terjadi karena adanya kebijakan antara Kementrian PUPR dan Pertanian yang tidak sinkron serta karena Kementrian Pertanian tidak membuat kebijakan untuk mengontrol erosi.
Selanjutnya pada pengamatan kami pengelolaan DAS, terdapat ketidaksamaan pembagian wilayah administrasi DAS antara KLHK dan PUPR. Misalnya di KLHK mengelola DAS Ciliwung dan DAS Cisadane, sedangkan di PUPR mengelompokan BBWS Ciliwung dengan Cisadane (Cilicis), Menurut KLHK, pada awalnya KLHK dahulu menggunakan data dari PUPR. Akan tetapi sekarang terjadi ketidaksamaan karena updating data yg belum disinkronkan diantara keduanya
Apa yang sebaiknya dilakukan Pemerintah
Pertama, mengatur ulang pendefinisian DAS, BBWS dan sebagainya dalam satu pengertian yang tercermin di dalam lembaga dan organisasi dengan nomenklatur dan definisi yang sama
Kedua, mengatur ulang tata kerja dan lembaga yang menangani DAS baik dari sisi kelembagaan (LKHK, PUPR, Pertanian, Perindustrian). Juga organisasinya (DSDAN, MKTI, FDAS Propinsi/Kabupaten/Kota, BBWS) disertai dengan pembaharuan peraturan perundangannya
Ketiga, Menetapkan hierargi lembaga dan organisasi serta batasan kewenangannya pada wilayah nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang juga ditetapkan dalam peraturan perundangan
Keempat, Menyusun Master Plan DAS nasional yang diikuti dengan Master Plan DAS Propinsi dan Kabupaten/Kota yang lebih terinci
Kelima, sambil menunggu revisi regulasi kewenangan Lembaga dan organisasi maka oraganisasi yang ada seperti FDAS perlu direvitalisasi menjadi forum yang efektif yang mewakili para pemangku kepentingan disertai pemberian kewenangan di dalam pengawasan dan intervensinya
Keenam, Dipilih pilot project atas cara pengelolaan yang efektif sebagai bahan untuk Langkah kesatu sampai dengan keempat pada DAS yang strategis misalnya DAS: Citarum, Ciliwung, Cisadane yang berada di DKI Jakarta dan Jawa Barat antara lain karena adanya KEK Lido yang akan banyak menggunakan SDA. Segera ditetapkan hal yang mendesak untuk segera diselesaikan, misal: Neraca Air, Perizinan dsb karena akan sangat mempengaruhi ketersediaan SDA untuk Jakarta dan Jawa Barat,