Oleh : PH&H Public Policy Interest Group
Pendahuluan
Saat ini pemerintah memiliki langkah besar dalam transisi energi menuju energi baru dan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dengan target zero emission 2060. Salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan komitmen tersebut adalah dengan Menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Namun, dalam penyusunan RUU tersebut terdapat isu Power Wheeling yang masih menimbulkan polemik akibat adanya kekhawatiran luntur dan hilangnya penguasaan negara terhadap energi listrik yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Secara garis besar, Power Wheeling menurut IESR adalah mekanisme yang membolehkan Independent Power Producers (IPP atau pembangkit swasta) untuk menggunakan jaringan transmisi (milik BUMN PT. PLN) untuk menjual langsung kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Oleh karenannya, hal ini selain dianggap menambah beban APBN juga dapat mengancam peguasaan negara dalam memastikan pasokan energi yang cukup, terjangkau, dan handal untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan keamanan nasional.
Praktek Unbundling, Power Wheeling dan Penguasaan Negara terhadap Energi Listrik
Penguasaan Negara terhadap Energi Listrik jelas diatur dalam UUD 1945, akan tetapi seiring berjalannya waktu terdapat dinamika pergeseran makna penguasaan negara yang diatur dalam Undang-undang turunannya.
- UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
Dalam UU ini mengatur bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh Negara dan diselenggarakan oleh BUMN (Ps.7)
- UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Dalam UU ini didasari oleh paradigma kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan tenaga listrik. Tidak diatur mengenai penguasaan negara dan justru mengatur mengenai praktek unbundling (pemisahan/pemecahan) usaha ketenagalilstrikan. UU 20/2002 dibatalkan oleh MK melalui Putusan MK No. 001-021-022/PUU-1/2003 karena bertentangan dengan UUD 1945. Akibatnya UU No. 15 Tahun 1985 diberlakukan kembali agar tidak terjadi kekosongan hukum.
- UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
UU 30/2009 juga diduga mengandung praktek unbundling (Ps.10 ayat (2)) sehingga digugat kembali ke MK dan diputus melalui Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 yang pada intinya bahwa menyatakan bahwa praktek unbundling adalah inkonstitusional sebagaimana diputuskan dalam Putusan MK sebelumnya dan kemudian MK menolak gugatan tersebut karena adanya Pasal 3 mengenai penguasaan negara. Kata “dapat” dintegrasikan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga disimpulkan bahwa UU 30/2009 dianggap konstitusional sepanjang tidak dimaknai adanya praktek unbundling yang dapat menghilangkan penguasaan negara sebagaimana diputuskan dalam Putusan MK. 001-021-022/PUU-1/2003 atau dikenal dengan inkonstitusional bersyarat.
- UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
Walau sudah pernah digugat sebelumnya, nyatanya UUCK masih mengadopsi bunyi pasal yang sama sebagaimana Ps. 10 ayat (2), akibatnya UU ini digugat kembali oleh publik dengan alasan permohonan yang sama yaitu adanya praktek unbundling yang mengancam penguasaan negara akibat kata “dapat” dintegrasikan yang berarti boleh dengan integrasi atau tidak dengan integrasi. Uji materi UU tersebut sampai dengan saat ini masih berlangsung untuk diperiksa MK pada Perkara No. 39/PUU-XXI/2023. Pasal terkait “sewa jaringan” juga digugat karena merupakan pola dari praktek unbundling.
Potensi Eksploitasi Celah Hukum dan Gugatan Uji Materiil RUU EBET terkait Power Wheeling
Saat ini RUU EBET masih sedang disusun dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah. Power Wheeling/pemanfaatan jaringan bersama/sewa jaringan/kerjasama jaringan sempat termasuk untuk diatur dalma RUU tersebut. Setelah melalui pro-kontra, frasa pemanfaatan jaringan bersama pada akhirnya ditarik dari DIM. Timbul dua pertanyaan yaitu :
- Power Wheeling sudah disepakati untuk tidak diatur dalam RUU EBET, namun mengapa masih dibahas oleh Pemerintah (Kementrian ESDM) dengan frasa “Optimalisasi EBET untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumen” dalam Raker Komisi VII DPR RI pada tanggal 20 November 2023 dengan merujuk Pasal 24A ayat 2A DIM 222-225 dan Pasal 47 ayat 2A DIM 251-254?
- Jika memang masih ingin diatur mengapa tidak secara tegas menggunakan frasa Power Wheeling / Sewa Jaringan / Pemanfaatan Bersama Jaringan melainkan frasa atau kalimat yang ambigu dan samar sehingga dapat meninggalkan ruang untuk berbagai interpretasi? Apa rencana Pemerintah selanjutnya?
Paparan pemerintah tersebut dapat disaksikan ulang pada https://youtu.be/8GtxEspU9Dg
Pasal 29A dan 47A ayat (2) dalam DIM terakhir yang disepakati tanggal 8 November 2023 berbunyi :
- Untuk mengoptimalkan pemanfaatan Energi Baru, pemegang wilayah usaha ketenagalistrikan harus memenuhi kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari Energi Baru.
- Pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari Energi Baru sebagaimana diatur dalam ayat (1) wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan Energi Baru.
Pasal 47A ayat (2)
- Untuk mengoptimalkan pemanfaatan Energi Terbarukan, pemegang wilayah usaha ketenagalistrikan harus memenuhi kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari Energi Terbarukan.
- Pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari Energi Terbaru sebagaimana diatur dalam ayat (1) wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan Energi Terbarukan.
Perbedaan antara teks dan tujuan undang-undang menimbulkan adanya celah hukum yang dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan pribadi, sebagaimana adanya keambiguan dan penggunaan bahasa yang samar dalam RUU EBET yang mengkhawatirkan. Semoga saja hal ini bukanlah hal yang disengaja oleh pemangku kepentingan demi kepentingan oligarki.
Namun, sebelum terlalu jauh, RUU EBET kemungkinan besar akan digugat terlebih dahulu ke MK akibat multitafsir dan terlebih terkait dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang sudah diputus berulang kali oleh MK.
Kondisi Lapangan Saat Ini : Oversupply yang Belum Terselesaikan
Power Wheeling merupakan salah satu pola dari Praktek Unbundling dalam penyediaan tenaga listrik. Ide power wheeling dimunculkan sebagai bentuk salah satu usaha percepatan transisi energi dari konvensional (fossil) ke EBET yang merata di seluruh Indonesia dengan memperbolehkan swasta / Independent Power Producers menggunakan jaringan transmisi milik PLN. Namun, tercapainya tujuan tersebut dengan mekanisme power wheeling masih diragukan karena sifat alami swasta itu sendiri yaitu profit oriented. Sifat alami swasta tersebut menjadi salah satu pertimbangan MK dalam pertimbangan putusan Putusan MK No. 001-021-022/PUU-1/2003 bahwa “pelaku usaha swasta akan berorientasi kepada keuntungan yang hanya diperoleh di pasar yang sudah terbentuk (Jawa, Madura, dan Bali, sehingga kewajiban untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan tercapai” dimana sampai dengan saat ini masih ada daerah-daerah di Indonesia yang belum 100% teraliri listrik khususnya di daerah 4T (terluar, terdepan, tertinggal, transmigrasi).
Saat ini oversupply tenaga listrik dengan mekanisme Take or Pay masih menjadi masalah. Dimana sampai dengan Tahun 2026 akan ada pembangkit baru yang masuk ke dalam sistem lebih dari 32.000 MW. Upaya peningkatan demand organik yang digadang-gadang dapat menyelesaikan permasalahan ini justru akan tergerus sampai dengan 30% oleh swasta karena adanya mekanisme Power Wheeling tersebut, lebih parahnya akan meningkatkan beban ToP akumulatif dari Rp 317T hingga Rp 429T (Tahun 2022-2030).
Selain itu PLN juga harus menambah cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) demi menjaga keandalan dan stabilitas sistem karena sifat EBET yang intermittent, dimana setiap masuknya 1GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan biaya hingga Rp 3,44 Triliun yang merupakan biaya ToP + Backup Cost yang akan membebani keuangan negara. Hal-hal tersebut akan berakibat menaikkan harga BPP (Biaya Pokok Penyediaan) Listrik dan menambah beban APBN. Oleh karenannya, Kementrian Keuangan disebut menjadi salah satu Kementerian yang tidak setuju terhadap mekanisme Power Wheeling.
Pentingnya Menjaga Ketahanan Energi Nasional
Dengan adanya praktek unbundling sekaligus mekanisme power wheeling, keduanya dapat mengancam keberlangsungan usaha PLN sekaligus penguasaan negara karena BUMN merupakan wajah dari penguasaan negara dalam hal ini energi listrik. Hal ini berkaitan dengan marwah Putusan MK No. 001-021-022/PUU-1/2003 yang tercantum dalam pertimbangannya perlu untuk selalu dipedomani yaitu “pentingya menyelematkan dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut BUMN sebagai wujud penguasaan negara, sehingga praktek unbundling akan membuat terpuruk BUMN yang bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat”.
Tujuan penguasaan negara dalam hal ini adalah ketahanan energi yang merupakan bagian dari ketahanan nasional yaitu penyediaan energi listrik harus memenuhi prinsip 4’As: availability, acceptability, affordability, dan accessibility. Bagaimana pemerintah dapat menjamin terpenuhinya prinsip 4’As tersebut jika
- Saat ini tarif EBT masih lebih mahal dibandingkan dengan konvensional
- Potensi kenaikan BPP Listrik (existing/konvensional) akibat powerwheeling seiring dengan kenaikan tarif listrik yang harus dibayarkan masyarakat
- Potensi APBN yang semakin membengkak
- Lebih berpihak kepada swasta yang memiliki sifat alamiah yang profit oriented.
Masih di dalam Putusan MK yang sama dua puluh tahun yang lalu bahwa didalamnya terdapat Semangat untuk memperkuat posisi BUMN agar dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dengan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing. Untuk itu, sustainability BUMN PLN perlu selalu dijaga karena keberadaanya sangat penting untuk mewujudkan ketahanan energi nasional dan kesejahteraan rakyat.