Oleh : PH&H Public Policy Interest Group
Dalam beberapa waktu terakhir, perdebatan seputar kebijakan bebas visa muncul kembali menjadi fokus utama dalam upaya transformasi industri pariwisata Indonesia. Langkah-langkah kebijakan seperti memperluas akses bebas visa untuk beberapa negara tertentu dianggap sebagai strategi untuk mempercepat pertumbuhan sektor pariwisata, yang diharapkan akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada akhir Tahun 2023, Kementrian Parekraf menyarankan pemberian Bebas Visa Kunjungan kepada 20 Negara untuk meningkatkan kunjungan Wisatawan Asing di Indonesia setelah pencabutan sementara Bebas Kunjungan 159 Negara, kecuali 10 Negara ASEAN dengan alasan ketertiban umum dan masih adanya penyebaran penyakit dari Negara yang belum dinyatakan bebas penyakit tertentu oleh WHO.
Perubahan dalam kebijakan bebas visa kunjungan dapat menjadi salah satu instrumen yang untuk membuka pintu bagi lebih banyak wisatawan asing yang ingin mengunjungi Indonesia. Namun, di tengah optimisme akan manfaat potensialnya, pendekatan ini juga menimbulkan sejumlah kekhawatiran dan keraguan yang perlu dipertimbangkan secara cermat seperti keamanan nasional dan kontrol imigrasi. Oleh karena itu, walaupun kebijakan bebas visa kunjungan memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan asing, penting juga untuk memperhitungkan dampaknya secara menyeluruh.
Perlunya Strategi Peningkatan Sektor Pariwisata
Dalam upaya meningkatkan sektor pariwisata di Indonesia, seringkali Kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) dianggap sebagai instrumen utama yang dapat mengundang Wisatawan Asing (Wisman) berkunjung ke Indonesia. Namun, sebenarnya dalam meningkatkan sektor pariwisata tersebut diperlukan strategi yang holistik dan komprehensif, dan tidak hanya berfokus pada BVK saja. Salah satu strategi yang penting adalah pengembangan infrastruktur pariwisata yang memadai, termasuk konektivitas transportasi umum, pembangunan dan perawatan area objek wisata dan sekitarnya, fasilitas akomodasi yang berkualitas, sikap tuan rumah yang baik, keamanan lingkungan sekitar, aksesibilitas yang baik ke setiap destinasi pariwisata (bandara, pelabuhan, dll) perlu untuk ditingkatkan. Dengan infrastruktur yang memadai, aksesibilitas ke destinasi pariwisata akan meningkat, memudahkan wisatawan untuk menjelajahi keindahan Indonesia.
Tidak kalah pentingnya adalah promosi pariwisata yang efektif. Diversifikasi produk dan pengalaman pariwisata juga menjadi kunci dalam melakukan promosi. Selain keindahan alamnya, Indonesia juga memiliki potensi dalam pariwisata budaya, petualangan alam, dan kuliner. Mendorong pengembangan berbagai jenis wisata, seperti wisata budaya, petualangan, dan ekowisata, akan menarik minat wisatawan yang beragam. Alangkah baiknya jika Pemerintah lebih berfokus untuk promosi mengenai produk dan pengalaman pariwisata tersebut, dibandingkan dengan promosi BVK, karena BVK tidak akan menjadi menarik jika destinasinya sendiri tidak memiliki daya tarik yang kuat. Hal konkret yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pembangunan dan pengembangan 10 tujuan wisata prioritas yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Likupang, Tanjung Kalapang, Bromo, Wakatobi, Morotai dan Raja Ampat. Jika destinasi wisata di Indonesia sudah berkualitas dan menarik, maka kehadiran bebas visa bukanlah faktor penentu bagi Wisman untuk datang mengunjungi Indonesia.
Manfaat dan Resiko Kebijakan Bebas Visa Kunjungan
Hasil penelitian dari LPEM UI tahun 2023 mengenai Kebijakan Visa Kunjungan (BVK) menunjukkan beberapa temuan yang menarik, dimana implementasi BVK diperkirakan hanya akan memberikan dampak yang terbatas dengan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara sebesar 4.3 persen (dengan asumsi variabel lain tetap). Meskipun demikian, kebijakan ini diestimasi dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar Rp 17-26 triliun.
Analisis Cost Benefit menunjukkan adanya manfaat dari tambahan pengeluaran oleh wisatawan mancanegara, namun juga menunjukkan kerugian dari pendapatan yang hilang yaitu dari biaya pengurusan visa dan biaya tambahan lainnya. Perhitungan rasio Cost Benefit menunjukkan angka sekitar 1.3, yang berarti tambahan pendapatan diperkirakan 1.3 kali lipat dari pendapatan yang hilang dan biaya tambahan.
Namun demikian, implementasi kebijakan BVK juga akan membawa implikasi beban baru bagi pemerintah. Salah satunya adalah penurunan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang biasanya berasal dari biaya pengurusan visa (foregone revenue). Dikhawatirkan pula, bebas masuknya seseorang dari negara lain tanpa Visa Kunjungan dapat meningkatkan risiko keamanan, seperti kejahatan cyber, perdagangan manusia, narkotika, terorisme, dan dapat berdampak pada peningkatan biaya yang terkait dengan penanganan masalah keamanan tersebut.
Kini, dapat diketahui dan disimpulkan bahwa Kebijakan BVK memang bukan sebagai intrumen utama dalam peningkatan sektor pariwisata di Indonesia. Hal ini sejalan dengan data yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi (DJI) bahwa wisman dari beberapa negara setelah BVK dibekukan, tetap masuk ke Indonesia dengan menggunakan Visa On Arrival (VOA) sejak tahun 2023.
Memahami Fungsi Visa bagi Negara
Kebijakan VISA memiliki fungsi bagi sebuah negara diantaranya adalah :
- Security, untuk mencegah adanya ancaman terhadap keamanan negara
- Immigration control, melindungi kesempatan bekerja bagi tenaga kerja dalam negeri dari keberadaan pekerja illegal
- Limitation of duration of stay and activities, sebagai acuan berapa lama WNA dapat tinggal dan sebagai tolak ukur batasan yang boleh dilakukan
- Revenue generation, sebagai salah satu sumber penerimaan negara
- Reciprocity : Mengembangkan relasi diplomatik dengan negara lain
- Carrying capacity / control of demand, mencegah kerusakan fisik lingkungan/kerugian ekonomi akibat overcapacity pengunaan fasilitas public oleh WNA.
Sehingga, dalam mengimplementasikan kebijakan BVK, kita perlu memaknai kembali apa fungsi dari VISA itu sendiri, terutama jika berkaitan dengan keamanan, imigrasi kontrol, dan hubungan resiprokal dengan negara lain. Adapun dari 20 negara yang direncanakan akan diberikan BVK, 19 diantaranya tidak memberikan BVK kembali kepada Indonesia, sehingga tidak sejalan dengan fungsi VISA itu sendiri yaitu sebagai hubungan timbal balik / reciprocity untuk mengembangkan relasi dengan negara lain.
Rekomendasi
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah terkait kebijakan BVK, diantaranya adalah :
- Menyusun kebijakan alternatif yang dapat mengakomodasi kepentingan keamanan nasional sambil tetap mendorong pertumbuhan pariwisata, seperti penerapan visa on arrival (VOA) dengan prosedur yang lebih ketat, Golden Visa, atau program visa elektronik yang memungkinkan pengawasan yang lebih baik.
- Evaluasi dampak dampak kebijakan BVK pada keamanan dan pertahanan negara, tidak hanya dari sisi kunjungan wisman dan dampak ekonominya. Kajian seyogianya dilakukan oleh K/L yang terkait dengan pertahanan, kemanan dan ketahanan nasional seperti: Kementiran Koordinator Politik Hukum dan Kemanan (Kemenko Polhukham), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Badan Intelejen Negara (BIN), dll.
- Dalam memberikan BVK kepada suatu negara, sebaiknya menggunakan indikator-indikator tertentu, seperti tingkat pelanggaran keimigrasian sebuah negara, resiprokal BVK oleh negara ybs, jarak geografis, kondisi politik sebuah negara, dan lain sebagainya.