POWER WHEELING DALAM KELISTRIKAN NASIONAL: HAK NEGARA DAN PELUANG SWASTA SERTA REGULASINYA

POWER WHEELING DALAM KELISTRIKAN NASIONAL: HAK NEGARA DAN PELUANG SWASTA SERTA REGULASINYA

Oleh : PH&H Public Policy Interest Group

             Pada saat ini sedang dibahas di DPR Rencana Undang Undang (RUU) tentang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) yang sebelumnya adalah Energi Baru Terbarukan (EBT). Bedanya adalah pada EBET, Energi Baru dan Energi Terbarukan itu berbeda. Energi Terbarukan jelas adalah energi yang dapat diperbaharui seperti: angin, surya, air dsb bukan energi dari pembakaran fosil seperti minyak dan batu bara yang tidak dapat diperbaharui. Sedangkan Energi Baru bisa saja dari energi lama berasal dari fosil tapi diperbarui bentuknya, misalnya: batu bara cair, batu bara tergaskan dsb, dengan maksud antara lain untuk mengurangi emisi (benar atau tidaknya perlu dibuktikan). Kita bahas hal ini pada lain kesempatan.

RUU-EBET pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan penggunaan EBET untuk pembangkit listrik sehingga bauran energi listrik berasal dari EBET semakin membesar, dan dari energi fosil semakin mengecil. Tujuan utamanya adalah mengurangi emisi CO2 yang merupakan program seluruh dunia untuk melawan perubahan iklim. Dalam RUU EBET tersebut salah satu pasal yang krusial dalam pembahasannya adalah yang disebut Konsep Power Wheeling (PW). PW pada intinya adalah penyediaan listrik secara langsung antara penyedia listrik swasta ke konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi/distribusi yang telah ada (PLN). Krusialnya pembahasan adalah karena skema PW akan mengurangi kewenangan PLN, padahal PLN adalah Milik Negara (BUMN) yang mewakili pemerintah dalam penyelenggaraan kelistrikan nasional. Sementara di sisi lain akan meningkatkan peran swasta akan tetapi dengan memanfaatkan asset negara berupa jaringan transmisi dan distribusi. Pembahasan atas PW bertambah krusial lagi karena Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan kurang mendukung konsep PW yang dikehendaki.

Konsep PW Muncul Karena Dianggap BUMN (PLN) Tidak Dapat Memenuhi Target dan Diperlukan Swasta dalam Pemenuhan PL-EBT

Pada saat ini untuk menahan perubahan iklim dengan mengurangi kadar emisi CO2 menjadi program seluruh dunia. Pembangkit Listrik adalah salah satu penyumbang terbesar dalam emisi CO2. Sejalan dengan itu adanya prinsip Environmental, Social, Governance (ESG), Green Industry, RE 100 dsb semakin banyak industri yang maunya menggunakan listrik hanya dari Pembangkit Listrik EBT. Sehingga kebijakan pemerintah pun diarahkan untuk menggeser bauran energi yang semula lebih banyak berasal dari energi tak terbarukan seperti fosil batu bara dan minyak bumi menjadi lebih banyak dari EBT. Hal ini juga telah dicerminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Nasional (RUPTLN) yang disertai dengan target bauran energi dari tahun ke tahun.

Persoalan mulai muncul dari mana memenuhi peningkatan Pembangkit Listrik (PL) EBT yang ditargetkan tersebut? PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merasa akan dapat memenuhi target tersebut dengan skema saat ini yakni Multi Buyers Single Sellers (MBSS), yang pada intinya PL-EBT dapat dibangun swasta (Independent Power Producers-IPP) dan hasil produksinya dibeli PLN untuk dijual ke konsumen. Pemerintah (bersama DPR) dalam pembahasan tentang RUU EBET berpendapat bahwa skema MBMS tersebut tidak dapat dilaksanakan apabila diinginkan percepatan peningkatan EBT sesuai kebutuhan saat ini. Untuk itu IPP harus lebih leluasa dan lebih menarik dalam usaha kelistrikannya, dan oleh karenanya muncullah konsep PW yang juga sudah dikenal luas di dunia. Dengan konsep PW pada dasarnya IPP dapat menjual sendiri listriknya ke konsumennya dengan menyewa jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki PLN saat ini. Pada dasarnya konsep PW menghilangkan skema MBMS dan mengurangi peran PLN.

Mana yang Lebih Penting Target EBT atau Membuka Peluang Swasta? Bagaimana UU No 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan Mengatur Hal Ini?

Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi saat ini terutama setelah diundangkannya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja membuka peluang swasta sebesar-besarnya untuk melakukan investasi dan usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga beberapa regulasi yang kurang mendukung peluang investasi dan usaha swasta harus dipangkas. Dalam usaha kelistrikan salah satu hambatan dalam menarik minat swasta yang diharapkan untuk PL-EBT adalah perlunya investasi yang besar pada jaringan transmisi dan distribusi, sementara jaringan tersebut sudah tersedia saat ini dan dikuasai oleh BUMN-PLN, sehingga agar swasta tertarik berusaha dalam bidang kelistrikan EBT penggunaan bersama melalui konsep PW atas jaringan transmisi dan distribusi menjadi kunci peningkatan peran swasta dalam usaha ketenagalistrikan dengan meningkatkan PL-EBT.

UU Kelistrikan No. 30 Tahun 2009 memang telah memperkenalkan konsep PW secara terbatas. Terbatas karena banyak pengaturan yang pada saat ini dianggap masih menjadi hambatan. Beberapa hal diantaranya misalnya: Pada Pasal 4 ayat (1), beserta penjelasannya dinyatakan bahwa pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. Dalam Penjelasan pasal ini disebutkan bahwa dengan mengingat tenaga listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, sehingga perlu dikuasai negara. Barulah pada ayat (2) dinyatakan bahwa swasta dapat ikut berpartisipasi. Selanjutnya pada penjelasan Pasal 6 dinyatakan bahwa EBT dimanfaatkan dengan memperhatikan keekonomiannya. Padahal lazim diketahui bahwa listrik dari PL-EBT lebih mahal dibanding listrik yang berasal dari PL Non EBT. Ditambah lagi Penjelasan Pasal 11 (2) Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan tenaga listrik. BUMN yang dimaksud adalah PLN. PLN adalah BUMN yang seharusnya adalah representasi pemerintah karena MN-Milik Negara. Namun dalam kebijakan ini lebih dilihat sebagai BU-Badan Usaha baik di dalam pencapaian target RUPTL maupun dalam pengaturan usaha kelistrikan seperti Wilus dan PW.

Maka jika memperhatikan UU tersebut target bauran energi dengan meningkatkan EBT tidak akan tercapai karena adanya batasan-batasan peran swasta tersebut? Pertanyaannya menjadi “targetnya yang disesuaikan dengan yang mungkin dicapai dengan regulasi yang ada atau target yang tinggi dan regulasi yang kurang mendukung pencapaian targetnya yang  diubah?” Kelihatannya pemerintah memilih untuk target yang tinggi dan menghilangkan hambatan pada regulasinya.

 

UU No 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan Telah Mengatur PW Akan Tetapi Tidak Sesuai dengan Kebijakan Saat Ini

            Ada berbagai macam model pelaksanaan PW yang akan dilaksanakan yang juga terkait dengan penetapan Wilus. Ada IPP yang PL-EBT nya maupun konsumennya di Wilusnya PLN. Ada yang hanya PL-EBT nya saja yang di Wilus PLN dan IPP memiliki konsumen di Wilusnya sendiri. Ada yang IPP memiliki PL-EBT dan konsumen di Wilusnya tetapi berbeda lokasi. Model-model tersebut bermuara pada IPP memerlukan penggunaan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.

Pengaturan pada UU No. 30 Tahun 2009 tidak mendukung konsep PW sebagaimana di atas, hal ini antara lain ditunjukkan pada: Pasal 10 (3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha. Hal ini tidak dapat mengakomodasi kebijakan PW yang diinginkan karena untuk mengembangkan usaha swasta maka diperlukan kemungkinan adanya dua Wilus pada satu wilayah. Padahal pada ayat berikutnya dinyatakan bahwa pembatasan Wilus berlaku untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik. Di sisi yang berbeda juga ada pengaturan UU ini yang mendukung kebijakan saat ini, misalnya pada penjelasan Pasal 33 bahwa dalam menetapkan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, Pemerintah atau pemerintah daerah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha. 

 

RUU-EBET Mengatur tentang PW sebagai Lex Spesialis dari Pengaturan di UU No. 30 Tahun 2009

            Mengingat UU Kelistrikan yang ada tidak mendukung kebijakan saat ini, maka pemerintah (bersama DPR) yang saat ini sedang membahas RUU-EBET sekaligus mengatur tentang PW secara berbeda dengan UU Kelistrikan No 30 Tahun 2009 tersebut. RUU EBET menjadi lex spesialis dalam hal EBET termasuk pengaturan PW yang lebih kuat dibanding UU Kelistrikan sebagai lex generalis. Yang menjadi persoalan adalah mengapa tidak mengubah UU Kelistrikan No 30 Tahun 2009 saja, termasuk mengatur tentang kelistrikan EBET yang tidak perlu UU tersendiri.

 

Kesimpulan

Pertama, Target yang tinggi penggunaan EBT dalam Pembangkit Listrik harus dicapai, jika regulasi tidak mendukung maka regulasinya diubah.

Kedua, PLN sebagai BUMN lebih dilihat sebagai Badan Usaha dibanding sebagai Milik Negara. Jika sebagai Badan Usaha dianggap tidak mampu maka harus ada Badan Usaha lain (swasta). Sementara jika sebagai Milik Negara maka PLN adalah representasi pemerintah sebagaimana UU No. 30 Tahun 2009 yang apabila tidak mencapai target, maka harus didukung sepenuhnya oleh semua K/L agar target tercapai.

Ketiga, UU EBET sebagai lex spesialis harus dibuat agar peran swasta dalam kelistrikan meningkat untuk mencapai target bauran energi EBT yang lebih besar . Pengaturan PW adalah bagian krusial dalam RUU EBET dan juga krusial dalam kedudukan PLN sebagi BU atau sebagai MN.

Rekomendasi

Evaluasi ulang tentang: target bauran energi, peran pemerintah, BUMN dan peran swasta dalam kelistrikan nasional.

 

 

 

 

Leave a Comment