CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK
“IKLAN PANGAN UNTUK BALITA MASIH MENJADI SUMBER INFORMASI BAGI PARA IBU BALITA”
Label dan iklan pangan diatur dalam pada PP 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pengaturan iklan pangan untuk balita ditetapkan pada Pasal 47 (4) menyatakan bahwa “Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan 1(satu) tahun, dilarang dimuat dalam media massa, kecuali dalam media cetak khusus tentang kesehatan, setelah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan, dan dalam iklan yang bersangkutan wajib memuat keterangan bahwa pangan yang bersangkutan bukan pengganti ASI” Larangan dengan batas 1 (satu) tahun tersebut tentunya ditujukan agar ibu tidak mengganti ASI ekslusif selama 6 (enam) bulan dengan pangan, sehingga batasan satu tahun sudah memadai. Larangan tersebut positif dengan tujuan utama agar para ibu menyusui anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI) dan hal tersebut akan terjadi karena sangat lazim bahwa ibu menyusui bayinya pada awal kehidupannya, namun berbeda halnya apabila bayi telah melewati usia 1 (satu) tahun para Ibu mulai berfikir apakah perlu ada tambahan makanan untuk bayinya (PMT-ASI) karena kemungkinan ASI dari Ibu juga tidak lagi mencukupi atau bahkan kemungkinan Ibu mulai berfikir untuk menghentikan pemberian ASI nya
Para ibu di Indonesia pada umumnya tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang nutrisi yang dibutuhkan anak-anak terutama setelah mendapatkan ASI ekslusif Informasi “resmi” nutrisi yang dibutuhkan oleh anaknya hanya dari unit pelayanan kesehatan (Posyandu/Puskesmas/Dokter) sedangkan para ibu tidak secara rutin membawa anaknya ke Posyandu/Puskesmas. Informasi lainnya didapat dari mulut ke mulut dan tukar pengalaman dari para ibu.
Bagian terbesar sumber informasi untuk makanan tambahan yang diperlukan balita justru dari iklan dan label pangan. Untuk itu iklan dan label pangan harus diatur dengan hati-hati berdasar penelitian yang mencukupi, karena bisa terjadi pengurangan atau larangan tertentu untuk iklan pangan akan menutup informasi untuk ibu-ibu dan para ibu akan berimprovisasi dengan memberikan makan tambahan justru dengan pangan yang gencar diiklankan tanpa melihat bahwa makan tambahan tersebut tidak mengandung nutrisi yang bermanfaat untuk kesehatan bayi. Kecuali tentu saja larangan iklan makanan untuk bayi berusia 6 (enam) bulan yang wajib diberikan ASI secara ekslusif serta iklan junk food yang menimbulkan obesitas dan gangguan kesehatan lainnya.
Makanan Tambahan ASI sangat erat kaitannya dengan penanggulangan stunting
Penanggulangan stunting serta peningkatan kesehatan bayi dan balita dalam pertumbuhan masih menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah di bidang kesehatan masyarakat. Saat ini prevalensi balita stunting masih cukup tinggi 21.6 persen, overweight 3.5%, Wasting 7.7% dan Underweight 17.1% pada tahun 2022 (Survei Status Gizi -SSG). Untuk penanggulangan stunting dan peningkatan gizi, vitamin, mineral guna kesehatan dan pertumbuhan balita diperlukan makanan tambahan atas Air Susu Ibu (ASI) yang wajib diberikan secara eksklusif sampai anak berumur 6 (enam) bulan. Bahkan kadang diperlukan makanan pengganti ASI apabila ibu dari balita tersebut tidak dapat menghasilkan ASI. Salah satu nutrisi sehat adalah susu dan olahannya seperti: keju dan yoghurt di samping nutrisi lain yang didapat dari: protein, biji-bijian, sayur, buah dsb. Susu dan produk olahannya merupakan sumber protein dan kalsium yang baik. Anak-anak berusia di atas dua tahun dapat mengonsumsi produk susu rendah lemak yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan balita. Informasi tentang pangan olahan untuk makanan tambahan ini sangat perlu diketahui oleh para ibu.
Ibu tidak cukup mendapat informasi tentang makanan tambahan dengan nutrisi yang baik dari Posyandu/Puskesmas
Dari beberapa hasil penelitian, kunjungan ibu dan balitanya ke Posyandu/Puskesmas hanya dalam kisaran 30-40% dari kunjungan satu kali satu bulan, sehingga sisanya 60-70% tidak rutin mengunjungi Posyandu/Puskesmas. Padahal informasi tentang makanan tambahan ataupun makan pengganti ASI disampaikan di Posyandu/Puskesmas, sehingga lebih dari setengah ibu dan balitanya mendapat informasi dari iklan dan media lain. Dan tidak mudah bagi ibu untuk memilih pangan olahan yang cukup nutrisi dan bermanfaat untuk balitanya. Iklan produk yang lebih intens bisa jadi akan mempengaruhi keputusan ibu untuk makanan tambahan ASInya tanpa melihat kandungannya
Larangan iklan pangan balita di beberapa negara ditujukan untuk junk food dan beberapa negara mengarahkan iklan agar menyampaikan pesan makanan sehat untuk pangan yang dibutuhkan balita
Pada tahun 2010, WHO menyerukan tindakan global untuk mengurangi dampak pemasaran makanan tinggi gula, garam, atau lemak jenuh pada anak-anak. Dalam pelaksanaannya beberapa negara melarang iklan makanan junk food, negara yang lain melarang iklan pangan yang tinggi gula, garam atau lemak termasuk batasannya, negara yang berbeda melarang iklan televisi pada jam tertentu, dan banyak negara menetapkan panduan untuk iklan pangan, namun di Prancis otoritas kesehatan justru mewajibkan iklan untuk produk yang mengandung tambahan lemak, pemanis, atau natrium disertai dengan pesan yang menjelaskan prinsip diet. Produk susu dan olahannya misalnya dapat saja dan bahkan sebaiknya didorong untuk menyampaikan kandungan pangan tersebut misal kandungan kalsium yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tulang dan gigi, juga Vitamin D yang penting untuk pertumbuhan balita. Produk pangan berupa susu dan olahannya juga dapat mengurang resiko obesitas atau masalah kesehatan balita lainnya. Beberapa negara melarang iklan pangan untuk balita dengan batasan umur tertentu tetapi mengecualikan susu bahkan beberapa negara mengatur agar iklan ditujukan sebagai bagian dari edukasi ke ibu balita.
Rencana perubahan regulasi tentang Label dan iklan pangan bagi balita kurang tepat
Adanya desakan dari WHA (World Health Assembly) yg mengeluarkan rekomendasi batasan umur atas larangan iklan pangan untuk bayi menjadi tiga tahun. Namun pada dasarnya berbeda dengan WTO misalnya, rekomendasi WTA tidak mengikat suatu negara harus melakukan. Pelaksanaan rekomendasi sangat tergantung pada kondisi masing-masing negara. Karena seperti di Indonesia bisa terjadi larangan tersebut malah mengakibatkan ibu memilih produk lain yang tidak mencukupi kebutuhan gizi.
Label dan iklan pangan diatur yang dalam pada PP 69 Tahun 1999 tersebut yang akan disesuaikan dengan menaikkan batas umur tentunya dimaksudkan agar ibu masih memriotaskan ASI dan makanan tambahan balita diberikan tidak berdasar pengaruh dari iklan. Pertanyaannya tentu lalu ibu yang selama ini mendapat informasi dari iklan akan mendapat informasi dari mana? Sudah jelas bahwa informasi tentang kandungan pangan untuk balita seharusnya tidak dari iklan akan tetapi dari sumber resmi antara lain; Dokter Gizi, Dokter Anak, Unit Pelayanan Kesehatan seperti Posyandu/Puskesmas. Akan tetapi kunjungan Ibu dan balitanya ke Posyandu/Puskesmas hanya 30-40% dari minimal satu kali satu bulan. Selain itu juga cukup banyak iklan yang menyediakan informasi yang akurat dan terpercaya mengenai kandungan nutrisi pada produk mereka.
Kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan
Pertama, Rencana merevisi PP 69 Tahun 1999 dengan mengubah larangan iklan pangan untuk balita dari batas satu tahun menjadi tiga tahun sebaiknya ditunda karena pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini karena justru ibu lebih banyak mendapat informasi kandungan pangan dari iklan dan label. Larangan iklan justru akan membuat para ibu tidak mendapatkan informasi yang benar dan memberikan pangan untuk balitanya dengan sembarang makanan yang populer di masyarakat dan berbahaya untuk kesehatan dan pertumbuhan balita (misal: Chiki, Taro dsb). Berdasarkan kondisi yang terjadi dalam penyampaian informasi tentang kandungan nutrisi untuk pangan tambahan balita maka sebaiknya apa dan bagaimana informasi yang disampaikan tersebut diatur bukan dilarang, karena larangan justru akan membuat para ibu tidak mendapat informasi yang memadai tentang kandungan pangan tambahan tersebut. Selain itu, iklan tidak boleh menampilkan gambar atau klaim yang menyesatkan tentang kualitas atau manfaat kesehatan pangan untuk bayi dan anak balita dan hal lain yang menyesatkan atau merugikan konsumen. Dengan demikian maka kebijakan akan bersifat positif. Kebijakan menaikkan batas umur tentu saja dapat dilakukan dikemudian hari apabila ecosystem pemberian informasi kepada para ibu tentang kesehatan anak sudah terbentuk dengan baik
Kedua, mengatur iklan pangan olahan untuk bayi bukan atas dasar batasan umur akan tetapi mengatur iklan yang menginformasikan dengan jelas kandungan iklan pangan olahan khususnya susu dan produk turunannya yang bermanfaat untuk bayi. Pengaturan iklan antara lain keharusan untuk mencantumkan informasi nutrisi yang jelas serta disetujui oleh badan yang berwenang.
Ketiga, Mengatur ecosystem pemberian informasi makanan yang dianjurkan untuk balita secara masif melalui berbagai media dan disampikan di Posyandu/Puskesmas, dokter serta saluran informasi yang lain. Evaluasi Batasan umur bayi untuk iklan pangan sejalan dengan luasnya pemberian informasi tersebut
Keempat, Menetapkan kebijakan agar kunjugan ibu beserta balitanya ke Puskesmas/Posyandu/Dokter meningkat dari hanya 30-40% satu kali setiap bulan menjadi rata-rata satu kali setiap bulan. Evaluasia batasan umur bayi atas iklan pangan sejalan dengan peningkatan kunjungan tersebut
Jakarta, Nopember 2023