CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK
“PEMBERIAN PKMK TERBUKTI AMPUH DI DALAM PENANGANAN STUNTING, AKAN TETAPI PERLU DUKUNGAN BERBAGAI FAKTOR AGAR DAPAT DIIMPLEMENTASIKAN”
Pendahuluan
Stunting merupakan masalah sangat serius untuk generasi Indonesia yang akan datang. Penanganan stunting telah banyak dibahas, dibuat regulasinya, juga telah dilaksanakan langkah-langkahnya, namun belum terlihat fokus pada suatu kebijakan yang bersifat spesifik untuk menurunkan angka prevalensi stunting. Prevalensi stunting meneurut SSGI di Indonesia pada Tahun 2022 adalah 21,6 persen. (Tahun 2007: 36.8%, Tahun 2010: 35.6%, Tahun 2013: 37,2%, Tahun 2011: 36.4%, Tahun 2018: 30,8%). Prevalensi tersebut berdasarkan kriteria WHO masih tergolong kategori tinggi, sementara target yang ingin dicapai pemerintah adalah 14 persen pada tahun 2024 sesuai target WHO Tahun 2012 untuk menurunkan angka stunting 40%.
Tulisan ini tidak membahas langkah-langkah apa yang telah dilaksanakan, namun hasil dari langkah yang dilaksanakan diperkirakan tidak akan dapat mencapai target yang telah ditetapkan, sampai kami mendapatkan Hasil Uji Coba Tata laksana Stunting Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut yang dilaksanakan oleh Dr dr Damayanti, Sp A (FK-UI) dkk yang dengan pemberian PKMK mampu menurunkan prevalensi stunting dengan sangat signifikan
Mendalami Policy Brief yang kami dapatkan dan disusun oleh Damayanti Rusli Syarif, Meta Hardiana Anindita, Lanny Christine Gultom dkk dari: FK-UI, FK-Unair, FK-Unsri, FK-Fatmawati dan Satgas Stunting IDAI atas penelitiannya (penelitian dengan nama Aksi Cegah Stunting pada 14 Kabupaten/Kota) sangat menarik karena dilaporkan bahwa dari hasil penelitian dengan memberikan Pangan Khusus untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) kepada Balita yang high risk stunting dengan pemberian PKMK berbentuk Oral Nutrition Supplement (ONS) mampu menurunkan stunting 94% dalam tiga minggu. Pemulihan balita stunting tercapai 42.3% dalam 14 minggu jika diberikan protein hewani dan intervensi dengan PKMK. Sehingga jika dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan aksi yang sama maka prevalensi stunting menurut SSGI Tahun 2022 sebesar 21.6% akan turun menjadi 12.4% dalam enam bulan. Hasil yang fantastik! Dan target 14% akan tercapai dengan segera.
Pertanyaan berikutnya tentunya adalah dengan keberhasilan pada Uji Coba mengapa tindakan uji coba tersebut tidak dilaksanakan saja ke semua wilayah Indonesia karena arti penting penurunan prevalensi stunting yang sudah tidak diragukan lagi dan sangat mendesak demi kualitas generasi manusia Indonesia yang akan datang. Maka jawabannya adalah tidak serta merta program dalam Aksi Cegah Stunting (ACS) tersebut dapat direplikasi untuk seluruh Indonesia. Tulisan ini menyampaikan dukungan pada hasil penelitian tersebut serta menyarankan berbagai langkah yang harus dilakukan pemerintah agar tatalaksana penanganan stunting sebagaimana dalam ACS dapat diimplementasikan di semua wilayah Indonesia, sehingga penurunan angka prevalensi stunting dapat fokus dan dengan hasil yang sangat cepat. Tulisan ini juga dibatasi hanya fokus pada pemberian PKMK saja karena telah didukung dengan Permenkes No 29 Tahun 2019 dan Keputusan Menkes No HK.01.07/Menkes/1186/2022 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter DI Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama serta Keputusan MenKes No HK.01.07/MENKES/1928/2022 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting
Regulasi dengan Permenkes telah ada dan kuat namun perlu dukungan ketersediaan dan pendanaan PKMK
Regulasi untuk balita stunting yang terakhir adalah Permenkes No 29 tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit. Dan berisikan antara lain pemberian PKMK dan Keputusan MenKes No HK.01.07/MENKES/1928/2022 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting
Regulasi ini sudah sangat kuat mendukung rekomendasi yang disampaikan IDAI dalam Policy Brief nya untuk menggunakan PKMK dalam pengobatan balita stunting kondidi tertentu. Namun demikian rekomendasi dan regulasi yang ada tidak serta merta dapat diimplementasikan karena masih adanya beberapa hal yang harus dipenuhi, agar pemberian PKMK yang secara fantastis berhasil menurunkan prevalensi stunting tersebut tidak hanya sekedar dalam uji coba dengan program ACS di 14 kabupaten/Kota akan tetapi dapat dilaksanakan secara nasional. Dukungan yang diperlukan berdasarkan penelitian PH&H yang telah sejak lama terlibat dalam penanganan stunting dari: mengikuti studi dan penelitian (a.l base line study), uji coba (ACS di 14 kabupaten/Kota), pelaksanaan oleh swasta (a.l Program CSR PT Priok Pomu dalam penanggulangan stunting di Kal Warakas Priok), memantau dan analisis kebijakan dan regulasi Kemenkes dsb. Dari analisis kami maka kebijakan terkait penanganan stunting khususnya untuk pemberian PKMK yang efektif adalah: 1) Adanya dokter anak yang cukup pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2) Pentingnya penanganan stunting berkelanjutan, 3) Ketersediaan PKMK pada Fasilitas Kesehatan dan 4) Dukungan Pendanaan PKMK . Pembahasan atas hal ini sebagai berikut:
Dokter Spesialis Anak hanya tersedia pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat RSUD
Sesuai Permenkes No 29 Tahun 2019, PKMK hanya dapat diberikan oleh Dokter Anak (Dokter Spesialis Anak). Dan sesuai Policy Brief tersebut di atas Dokter Anak hanya tersedia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang dalam penanganan stunting termasuk dalam kategori pencegahan tersier, sementara pada pencegahan primer di Posyandu dan pencegahan sekunder di Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) masih ditangani Dokter Umum yang tidak diberi kewenangan untuk memberikan resep PKMK.
Dilaporkan pada Policy Brief penanganan stunting balita yang tidak berkelanjutan pada Fasilitas Kesehatan sementara hasil yang didapat dari penelitian dalam ACS hanya untuk balita yang berobat berlanjut
Dari Policy Brief yang sama dilaporkan bahwa “Dari 732 balita yang dirujuk dengan stunting, terdapat 351 orang (48%) yang tidak hadir (absent) dan hanya datang satu kali (loss to follow up), sementara 381 balita rutin kontrol mendapatkan intervensi tumbuh kejar berupa PKMK ONS. Hasilnya menunjukkan pemulihan stunting didapatkan pada 43,6% subyek dengan rerata durasi pemulihan selama 14 minggu. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena hampir setengah dari bayi yang dirujuk karena stunting tidak melanjutkan pengobatannya. Sehingga sebenarnya dapat dikatakan bahwa jika keadaan yang sama terjadi di seluruh Indonesia maka hasil sebagaimana yang didapat dari ACS itu hanya dicapai dari setengah jumlah bayi yang stunting. Dengan demikian pada dasarnya dapat diasumsikan bahwa hampir setengah (48%) dari balita yang dirujuk karena tidak mendapat intervensi, akan tetap stunting.
PKMK tidak selalu tersedia di Fasilitas Kesehatan
Menurut pengamatan PH&H Ketika mengikuti base line study atas pelaksanaan Permenkes No 29 Tahun 2019 PKMK berupa Oral Nutritional Supplement (ONS) tidak tersedia atau sedikit tersedia pada layanan farmasi RS, dan tidak selalu tersedia pada apotek di luar RS, sehingga akhirnya PKMK-ONS juga gagal diberikan. Berbeda dengan Ketika uji coba ACS di 14 Kabupaten/Kota yang sudah barang tentu PKMK untuk keperluan uji coba telah disiapkan
Fornas dan pendanaan PKMK
PKMK untuk penanganan stunting belum masuk di dalam Formularium Nasional (Fornas) sehingga praktis pemberian resep PKMK khususnya ONS tidak dapat dilaksanakan dengan efektif terutama terkait dengan pendanaan dari Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas)/BPJS. Sebaiknya dilakukan evaluasi ulang atas regulasi yang ada ataupun tindakan yang mengakibatkan PKMK untuk penanganan stunting tidak dapat masuk dalam Fornas dengan pertimbangan ekonomi jika penanganan stunting tidak menggunakan PKMK yang telah terbukti efektif akan mengakibatkan pengeluaran negara dan Jamkesnas yang jauh lebih besar untuk pendidikan, pengobatan dan perawatan balita yang terlanjur stunting (di usia lebih dari 1.000 hari. Belum lagi dampak yang sangat besar akibat ketertinggalan kualitas generasi muda yang akan datang. Telah banyak studi tentang cost saving yang didapat apabila pemberian PKMK atau obat cukup besar (referensi atas hal ini cukup banyak). Tinjauan untuk masuk dalam Fornas sebaiknya tidak hanya dari sisi farmakologi akan tetapi juga keekonomian tersebut
Selanjutnya dari pengamatan, PKMK tidak selalu atau bahkan sebagian besar tidak tersedia di Almari Obat Fasilitas Kesehatan. Karena tidak tersedia cukup dana dan juga tidak ada dropping dari pusat sebagaimana PMT biscuit. Sehingga sekalipun ada resep Dokter anak, untuk PKMK tidak menjamin dapat dipenuhi
Apa yang sebaiknya dilaksanakan pemerintah
Pertama, Penetapan kebijakan untuk mereplikasi penelitian ACS pada 14 Kabupaten/Kota menjadi suatu program dan standar pelaksanaan penanggulangan stunting atas kondisi balita yang memang memerlukan PKMK di seluruh Indonesia disertai dengan Pedoman Pelasanaan/SOP nya
Kedua, Kebijakan Kemenkes untuk merombak sistem dengan memudahkan dokter residence menjadi dokter spesialis hendaknya memrioritaskan Dokter Anak yang diikuti dengan penempatannya pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sehingga mengurangi resiko adanya penanganan balita stunting yang tidak berlanjut. Sebelum itu terjadi dapat dipertimbangkan adanya fase dimana resep PKMK dapat ditulis oleh Dokter Umum di FKTP setelah berkonsultasi dengan Dokter Anak di FKTL
Ketiga, Membangun sistem melalui SOP, kampanye, sosialisasi dsb dengan tujuan utama bahwa bayi stunting harus ditemukan dan setelah ditemukan program penanganannya dapat dipastikan berlanjut. Hal ini perlu ditekankan bahwa bayii stunting tidak hanya dari temuan di FKTP akan tetapi besar kemungkinan banyak terdapat pada bayi yang tidak dibawa ke FKTP-Posyandu/Puskesmas. Tracking dan tracing sebagaimana ketika dilaksanakan melawan pandemi Covid 19 dilakukan juga untuk bayi stunting. Setelah itu pos kesehatan terdepan harus secara aktif memastikan bahwa bayi stunting mendapat penanganan berlanjut dan tuntas, sebagai contoh jika bayi perlu PKMK maka harus dipastikan sampai diperiksa dokter anak di RSUD
Keempat , Menyediakan PKMK di Fasilitas Kesehatan. Jika PMT berupa biskuit dapat disediakan di Fasiltas Kesehatan maka tidak ada alasan untuk tidak menyediakan PKMK dalam jumlah yang cukup pada Fasilitas Kesehatan. Sehingga resep dari Dokter Anak dapat dipastikan dapat diambil pada Fasilitas Farmasi RSUD. Lebih baik lagi jia tersedia juga di Puskesmas dan Posyandu terkait dengan usulan bahwa Dokter Umum dengan persetujuan dan tanggung jawab Dokter Anak dapat memberikan resep PKMK
Kelima, PKMK untuk penanganan stunting sebaiknya masuk dalam Fornas dengan pertimbangan keekonomian di samping pertimbangan farmakologi. Dengan PKMK masuk dalam fornas akan menjadikan banyak kemudahan di dalam pemberian PKMK untuk mengatasi anak stunting, baik dari sisi pengadaan, tatalaksana dan Jamkesnas
Keenam, Pendanaan untuk penanganan stunting hendaknya fokus dan komprehensif. Fokus pada penyediaan sumber daya dan obat yang benar-benar efektif. Sebagai gambaran sekarang PKMK jarang tersedia akan tetapi PMT Biskuit banyak tersedia. Komprehensif sangat diperlukan karena untuk penanganan stunting di samping dari APBN Kemenkes juga dapat dan telah menggunakan juga APBN Kemensos, AOBN Kemendses dsb bahkan besar kemungkinan dapat menggunakan anggaran kementerian lain secara terpadu dengan koordinasi Kemenkes.
Jakarta, Mei 2024