PENGGABUNGAN PT ANGKASA PURA

PENGGABUNGAN PT ANGKASA PURA

PENGGABUNGAN PT ANGKASA PURA

Oleh: Edie Haryoto

 

“Sebelum membongkar pagar, hendaknya kamu tahu terlebih dahulu untuk apa pagar itu dulu dibuat”. Ungkapan bijak itu saya dengar berkali-kali. Disampaikan oleh Bp Agum Gumelar, Menteri Perhubungan ketika itu. Walaupun beda konteks saya lalu jadi ingat ungkapan Pak AG tersebut ketika mendengar bahwa PT Angkasa Pura I (API) dan PT Angkasa Pura II (APII) akan segera bergabung menjadi PT Angkasa Pura Indonesia (API). Lalu jadi menebak-nebak apa tujuannya menggabungkan tersebut. Bahkan lebih jauh API sendiri adalah anak BUMN Holding yang bernama InJourney, ah apa pula ini gerangan?

 

Angkasa Pura dulunya sudah satu BUMN dan berkembang

Membaca sedikit Sejarah Angkasa Pura, dulunya Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran. PN ini hanya mengelola Bandara Kemayoran, kemudian selanjutnya berkembang menjadi mengelola banyak bandara di Indonesia (Surabaya, Denpasar, Medan, Balikpapan, Ujungpandang) dengan nama PN Angkasa Pura, yang kemudian dalam perjalanannya berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum). Setelah Bandara Soekarno Hatta beroperasi, bandara ini dioperasikan oleh Perum tersendiri diberi nama Perum Angkasa Pura II, sementara Perum Angkasa Pura lama menjadi Perum Angkasa Pura I. Keduanya selanjutnya berubah menjadi BUMN-Persero. Jadi dulu bandara-bandara di Indonesia awalnya dikelola satu BUMN (PN), kemudian dipisahkan mulai sejak adanya Bandara Soekarno-Hatta. Mengapa dulu harus membentuk AP II untuk mengelola Bandara Soekarno-Hatta yang selanjutnya diikuti dengan pembagian pengelolaan bandara di Wilayah Timur dan Wilayah Barat Indonesia ke AP I dan AP II? Saya tidak tahu, tapi besar kemungkinan adalah agar rentang kendali Direksi tidak terlampau besar dan luas dengan cakupan wilayah yang teramat luas. Alasan kedua, barangkali karena pertumbuhan lalu lintas udara yang meningkat cepat perlu penanganan yang lebih fokus. Alasan ketiga yang sering saya dengar adalah agar ada kompetisi antara AP I dan AP II dalam mengelola bandara. Sebagai mantan mandor di AP II alasan kedua saya sependapat bahwa mengelola 13 bandara di AP II ketika itu dan dengan perkembangan yang sangat cepat sudah cukup sesuai dengan kapasitas perusahaan. Bandara yang dikelola sudah jauh lebih banyak dibanding Malaysia, Thailand apalagi Singapura, bahkan tidak banyak negara yang satu perusahaan mengelola banyak bandara. Lebih banyak yang mengelola bandara stand alone . Alasan ketiga, kompetisi kadang-kadang memang mendorong semangat agar bandara yang dikelola lebih baik dibanding kelolaan “kawan sebelah” walaupun juga tentu ada saling tukar ilmu dan pemikiran diantara kami selaku sesama pengelola bandara di Indonesia.

Pertanyaan berikutnya setelah bandara-bandara di Indonesia dikelola oleh dua BUMN, AP I dan AP II tersebut apakah lebih baik? Silahkan dievaluasi dari berbagai segi. Barangkali juga ada baiknya membandingkan dengan AirNav yang dulu satu (Senopen) menjadi berpisah ke AP I dan AP II dan sekarang bergabung lagi di Perum LPPNPI. Apakah pelayanan Airnav sekarang lebih baik dibanding sebelumnya?

 

Apa yang mendasari penggabungan AP

Semangat rezim BUMN saat ini memang menggabungkan beberaoa BUMN menjadi satu. Tidak hanya AP.  Pelindo I sd IV jadi satu. Beberapa BUMN Karya disatukan. Demikian juga BUMN energi dan BUMN lainnya.  Yang usahanya sama atau mirip secara horizontal, atau yang usahanya berurutan secara vertikal. Yang menarik tentang penggabungan AP I dan II  itu “hanya” bagian dari anak perusahaan holding yang bernama PT Aviasi Pariwisata atau “InJourney” yang anggotanya adalah PT API (PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II), PT Hotel Indonesia Natour, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, & Ratu Boko, dan PT Sarinah. Sesuai namanya jelas usahanya adalah pariwisata. Saya mulai agak bingung. Bahwa bandara berhubungan dengan wisata candi dan bahkan perdagangan ya adalah hubungannya, akan tetapi apakah hubungan itu cukup besar sehingga bisa diintegrasikan dan agar mempermudah integrasi lalu dijadikan satu holding? Belum lagi soal kapasitas perusahaan, saya belum melihat Laporan Keuangan BUMN-BUMN ini tapi sepertinya koq kapasitas perusahaan API jauh lebih besar dibanding lainnya.

Ingin saya meninjau satu persatu tentang manfaat dan mudarat dari penggabungan di InJourney ini apakah benar manfaat bersihnya positif. Jangan-jangan manfaat bersihnya negatif. Penggabungan ke injourney perlu pendalaman bahkan sepertinya harus dengan “wangsit’ juga kecuali hanya sekedar untuk tujuan mengurangi jumlah BUMN.

Jadi kita bahas singkat saja penggabungan AP. Manfaat pertama adalah jelas kapasitas usaha API lebih besar dibanding API atau AP II. Modal lebih kuat, aset lebih banyak “standing” nya akan lebih mampu menarik mitra dan permodalan. Bargaining position nya dalam perundingan dengan mitra, kreditor dsb akan lebih kuat. Posisi dalam kompetisi dengan bandara luar negeri menjadi lebih kuat. Hal ini yang benar-benar harus dimanfaatkan bukan hanya sekedar di atas kertas. Harus membuat target yang tinggi untuk menjadi epicentrum bandara di Asia Tenggara karena pada saat ini mempertahankan Bandara Soekarno-Hatta sebagai gateway nya Indonesia saja sudah sangat susah. Untung Bandara Internasional sudah dikurangi. Posisi yang lebih kuat harus dapat dimanfaatkan sebanyak mungkin untuk menarik permodalan untuk pengembangan bandara dan tentu saja juga untuk menarik lebih banyak penerbangan ke Indonesia. Selanjutnya kelemahan yang mungkin terjadi adalah span of control perusahaan yang terlalu luas dan mencakup seluruh Indonesia. Hal ini harus dapat diatasi dengan digitalisasi, desentralisasi otoritas dsb.

Nah itu semua perlu kembali pada pertanyaan pertama tadi, “dulu kenapa dipisah?” sehingga jika sekarang digabung lagi maka tujuan penggabungannya jelas dan dilaksanakan!!

Tanpa memanfaatkan keunggulan dan meminimalisasi kelemahan setelah bergabung, maka penggabungan AP hanya bongkar pasang dan membuang energi serta biaya

 

Sedikit tentang BUMN

Terkait dengan penggabungan AP, kebijakan BUMN saat ini jelas akan mengurangi jumlah BUMN. Barangkali mau menuju seperti di Singapura hanya satu BUMN, Temasek. Atau seperti Malaysia, Khazanah. Jika sudah satu BUMN tentu tidak perlu Menteri BUMN. Apakah itu baik?  Saya sering menyampaikan BUMN itu Badan Usaha Milik Negara. Kementerian Teknis lebih menganggap BUMN sebagai Milik Negara dan menafikan sebagai sebuah entitas usaha. Demikian juga aparat hukum. Kementerian BUMN lebih menganggap BUMN sebagai Badan Usaha sering menafikan itu adalah Milik Negara. Padahal sebenarnya antara Badan Usaha dan Milik Negara keduanya dapat dipisahkan dengan jelas dan dapat dibuat jembatan antara kedua misi itu tanpa merugikan satu sama lain sehingga performansi sebagai Milik Negara dan sebagai Badan Usaha itu jelas. Sehingga Bandara seperti Bandara Soekarno-Hatta akan berbeda acoounting treatment nya dengan Bandara Nabire misalnya, Akan dibahas lain kesempatan

 

Jakarta, Mei 2024

Leave a Comment