CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK
PENYUSUNAN RUU EBET HARUS HATI – HATI UNTUK DAPAT MENGATASI MASALAH KETENAGALISTRIKAN SAAT INI
Pendahuluan
Rencana Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU-EBET) telah ditetapkan sebagai usulan atau inisiatif DPR dan saat ini telah ada Surat Presiden (Surpres) untuk pembahasannya. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dibuat pemerintah untuk pembahasan RUU-EBET masih di tahan oleh Sekretariat Negara karena ada masalah yang mendasar yang dapat menmgakibatkan APBN per tahunnya bocor hanya untuk mensubsidi setrum yang tidak perlu. Persoalan yang harus diselesaikan oleh beberapa Kementerian terkait adalah tentang kebijakan, siapa BUMN pengampu utama pengembangan EBET di Indonesia, PT PLN (Persero) atau PT Pertamina (Persero) melalui sub-holding Pertamina Power Indonesia.
Penyusunan RUU-EBET dianggap sebagai solusi untuk mencapai target zero emission pada Tahun 2060 sesuai dengan kesepakatan Paris Aggrement dan bauran energi, dimana EBT harus memiliki porsi 23% pada Tahun 2030. Pembahasan antara DPR dengan Pemerintah diharapkan dapat menerima masukan-masukan dari publik, sehingga pembahasan dilakukan secara lengkap dengan memperhatikan semua aspek yang terkait.
RUU EBET seharusnya tetap sebagai RUU-EBT
Pada awalnya RUU ini disebut sebagai RUU-EBT, yakni Energi Baru dan Terbarukan yang selanjutnya diubah menjadi EBET, yakni Energi Baru dan Energi Terbarukan, yang maksudnya tentu hendak menekankan bahwa Energi Baru itu tidak selalu dari Energi Terbarukan, akan tetapi bisa dari energi Non EBT. Hal ini menjadi jelas bahwa yang dibahas tentang energi baru itu adalah: nuklir, batubara tergaskan, batubara tercairkan yang dua terakhir adalah dari Non EBT. Kejelasan ini perlu diputuskan dalam pembahasan RUU EBET.
Nuklir sebagaimana diketahui masih dianggap berbahaya (kasus Chernobyl, Three Miles Island, Fukushima), sehingga pembahasan harus dilakukan dengan melibatkan para pakar dalam dan luar negeri. Sementara itu Energi Baru dari Non EBT, yakni gasifikasi batubara dan pencairan batubara hendaknya dipertimbangkan untuk dihilangkan, karena sesungguhnya hanya merupakan perubahan bentuk energi primer yang dihilirisasikan, tanpa dasar yang kuat bahwa hilirisasi tersebut mengurangi emisi dan karbon.
Evaluasi ulang apakah benar harus ada UU-EBET untuk mencapai bauran energi EBT 23%
Menurut catatan yang ada Porsi EBT sudah cukup besar, pada RUPTL 2021 – 2030 alokasi bagi porsi EBET 51,6% dibandingkan dengan non EBET (48,4%). Dengan porsi pembangkit EBT yang sangat besar yaitu 20,9 GW yang mencakup: Hydro (10,4 GW), Geothermal (3,4 GW), Bio (0,6 GW), Solar/Wind (5,3 GW) dan EBT Peaker (1,3 GW). Dengan demikian kalau hanya untuk mencapai target 23% EBT di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada bauran energi UU-EBT, tidak mendesak untuk dilaksanakan karena target tersebut sebenarnya sudah tersedia.
EBET mutlak memerlukan power wheeling yang diatur dengan mengabaikan kepentingan kepemilikan utilitas kelistrikan saat ini
Pembangkit listrik EBT pada dasarnya pasti memerlukan tambahan transmisi/ distribusi karena pembangkit listrik harus dekat pada sumber dayanya, sehingga memerlukan jaringan transmisi/distribusi baru yang memerlukan investasi besar. Sejalan dengan itu kehendak untuk membuka keran yang lebih besar bagi Independent Power Producers (IPP) swasta maupun BUMN lain yang mempunyai kapasitas EBT juga (misalnya PT Pertamina), maka harus diatur di dalam RUU-EBET ini. Intinya adalah, adalah transmisi/distribusi pada grid yang dikuasai PT PLN (Persero) harus dibuka (open access) untuk IPP tanpa didasarkan pada perhitungan yang memadai atas dampaknya pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik dan juga tidak memperhatikan kepentingan PT PLN (Persero) yang selama ini masih ditunjuk oleh Pemerintah sebagai pemilik utilitas ketenagalistrikan untuk grid transmisi/distribusi listrik saat ini.
Ketidak hati-hatian di dalam pengaturan berpotensi meningkatkan BPP dan dampaknya akan terjadi kenaikan tarif dan beban APBN. Juga mengabaikan kerugian yang akan timbul untuk PT PLN (Persero) sebagai akibat pengurangan potensi pendapatan PT PLN (Persero) yang akan datang.
RUU-EBET mengabaikan dan tidak menyelesaikan masalah oversupply listrik saat ini
Kebijakan Pemerintah sebelumnya untuk meningkatkan daya listrik 35 MW telah dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. Saat ini PT PLN (Persero) sedang mengalami kondisi oversupply yang sangat besar. Sampai dengan tahun 2026, masih akan ada pembangkit baru yang masuk ke sistem lebih dari 32.000 MW. PLN sudah merencanakan penambahan demand secara organik. Namun sampai dengan tahun 2026, proyeksinya hanya sekitar 6.600 MW. Oversupply besar ketenagalistrikan terjadi di jaringan interkoneksi Jawa-Madura-Bali, interkoneksi Sumatra, Interkoneksi sebagian Kalimantan dan Sulawesi Bagian Selatan. Secara nasional, dari keempat sistem besar di atas, sampai dengan tahun 2026 PT PLN (Persero) akan mendapat penambahan pembangkit sebesar 25.758 MW, dengan biaya Take or Pay (TOP) total kumulatif yang harus ditanggung oleh PT PLN (Persero) yang tentunya menjadi beban APBN sekitar Rp. 180 triliun.
Dengan adanya pembukaan pasar terbuka sektor ketenagalistrikan yang dimasukkan dalam pasal- pasal RUU EBET melalui penggunaan mekanisme power wheeling atau open access, kondisi oversupply yang tadinya di perkirakan bisa diatasi pada tahun 2025 atau 2026 menjadi semakin sulit untuk dapat diselesaikan. Akan molor jadi beban sampai beberapa tahun lagi. Karena demand–demand baru yang seharusnya dapat digunakan PT PLN (Persero) untuk mengurangi oversupply harus diserahkan kepada pihak-pihak lain. Sebelum ada liberalisasi ketenagalistrikan, maka suka tidak suka offtaker (pembeli/penyalur) ketenagalistrikan masih berada dibawah kendali PT PLN (Persero).
Pengaturan EBET sebaiknya menjadi pembaharuan UU No. UU 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta perlunya sinkronisasi dengan peraturan perundangan lain
UU-EBET nantinya akan menjadi Undang-Undang tersendiri (lex specialis) terlepas dari Undang-Undang Kelistrikan No. 30 Tahun 2009, hendaknya dievaluasi ulang karena di dalam pasal-pasalnya berpotensi terjadi pengaturan yang berbeda. Bahkan juga harus dilakukan sinkronisasi/harmonisasi dengan UU lainnya, yakni UU No. 10 Tahun 1987 tentang Ketenaganukliran, UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No. 16 Tahun 2016 tentang penurunan Emisi Karbon, UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, dan juga PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Jangan sampai terjadi, pengaturan dalam UU-EBET bertentangan atau tidak sejalan dengan UU lain. Meskipun dari diskusi dengan Kementerian ESDM, RUU EBET ini diupayakan untuk melindungi PT PLN (Persero) terkait dengan pemanfaatan EBT. Jika ada industri atau konsumen yang memerlukan produknya harus menggunakan energi hijau, maka EBT yang dihasilkan oleh PT PLN (Persero) akan diutamakan. EBT milik IPP (swasta maupun BUMN lain) akan disalurkan ketika energi hijau produksi PT PLN (Persero) sudah tidak mencukupi.
Pengaturan dalam RUU-EBET hendaknya diuji apakah tetap mengacu untuk pencapaian target
Beberapa target tentang energi dan ktenagalistrikan sebenarnya sudah ditegaskan, yakni: Pencapaian ketenagalistrikan untuk seluruh wilayah Indonesia 94%, bauran energi EBT 23% (RUEN 2017), Zero emission 0% pada tahun 2060 serta kemungkinan beberpa target lainnya, misal: penurunan subsidi dsb. Target-target tersebut sebaiknya menjadi alat uji apakah nantinya dengan UU-EBET target tersebut akan tercapai.
Rekomendasi
- Pertimbangkan kembali EBT bukan EBET sesuai dengan tujuannya untuk peningkatan energi terbarukan bukan energi tak terbarukan yang berubah bentuk.
- Evaluasi ulang apakah memang harus ada UU-EBET untuk pencapaian target-target ketercakupan listrik nasional, untuk peningkatan EBT pada bauran energi, zero emission dsb, apakah tidak cukup dengan memperbaharui UU Ketenagalistrikan saja.
- Pengaturan untuk peningkatan listrik khususnya EBT hendaknya tidak mengabaikan kondisi oversupply listrik dewasa ini karena beban yang berat bagi PLN dan atau APBN, meskipun menurut Kementerian ESDM over supply tidak ada hubungannya dengan RUU EBET. Diperlukan pengaturan agar beban APBN dapat dikurangi sebesar mungkin.
- Evaluasi ulang tentang open access dan power wheeling, apakah benar diperlukan penambahan listrik (program 35 ribu MW) yang besar terutama dari IPP mengingat masih adanya oversupply dari IPP yang saat ini menimbulkan beban besar karena kondisi kontrak Take Or Pay (TOP). Pengaturan baru hendaknya menjamin penyerapan oversupply dan pengurangan biaya dan APBN seperti hal nya masalah beban karena kondisi kontrak TOP.
- Pastikan posisi bisnis di BUMN lain penghasil energi tidak berbenturan dengan tugas dan kewajiban PT PLN (Perero) yang saat ini sesuai peraturan perundangan masih di tunjuk sebagai single oftaker
- Di samping disarankan bahwa sebaiknya EBET diatur dengan pembaharuan UU Ketenagalistrikan, RUU-EBET juga harus disinkronisasikan/harmonisasi dengan UU lainnya (Energi, Nuklir, Pengurangan Emisi karbon, SDA dll).
Jakarta, Oktober 2022
PH&H Public Policy Interest Group