“STUNTING, MASALAH YANG RAMAI DIBAHAS NAMUN TANPA MEMPERHATIKAN KEBIJAKAN, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN HASILNYA”

“STUNTING, MASALAH YANG RAMAI DIBAHAS NAMUN TANPA MEMPERHATIKAN KEBIJAKAN, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN HASILNYA”

CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK

“STUNTING, MASALAH YANG RAMAI DIBAHAS NAMUN TANPA MEMPERHATIKAN KEBIJAKAN, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN HASILNYA”

 

Pendahuluan

Stunting sebagaimana diketahui bukan hanya pada masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, namun juga mengakibatkan anak menjadi mudah sakit, gangguan perkembangan otak dan kecerdasan.  Dampak stunting tidak hanya dialami oleh anak tetapi dapat berpengaruh di masa yang akan datang hingga dewasa. Hal tersebut dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas sehingga stunting merupakan ancaman besar terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini sudah diketahui dengan baik oleh K/L terkait dan juga publik bahwa stunting sangat membahayakan generasi Indonesia kelak. Akan tetapi kekhawatiran itu belum diterjemahkan pada kebijakan dan implementasi kebijakan yang nyata dan efektif

Stunting ramai dibahas di Indonesia, bahkan sampai menjadi debat calon presiden. Namun demikian masalah stunting lebih banyak dibicarakan dibanding dengan kebijakan dan implementasinya. Hal ini tercermin pada hasil penanganan stunting yang masih jauh dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Sustainable Development Goals (SDGs). Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa angka  revalensi stunting Indonesia di tahun 2022 sebesar 21,6%, menurun 2,8% dibanding 24,4% pada tahun 2021 dan menurun 6,1% dibanding angka prevalensi stunting tahun 2019 sebesar 27.7%  Jika angka prevalensi stunting tahun 2022 dibandingkan dengan angka prevalensi stunting pada tahun 2007 sebesar 36,8%, terdapat penurunan sebesar 15.2%. Pencapaian yang besar namun belum cukup besar dan masih cukup jauh untuk mencapai target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 14% di tahun 2024 (Kementerian PPN/Bappenas, 2021). Dari 21.6% di Tahun 2022 harus turun 6,6% dan mencapai 14% di Tahun 2024 sepertinya mustahil dapat dicapai.

Tak kurang Presiden Jokowi sendiri menyatakan optimismenya bahwa angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama. Namun dengan hasil yang masih jauh dari target tersebut, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebijakan dan langkah yang dilaksanakan belum cukup efektif di dalam menanggulangi stunting. Telah banyak kebijakan dan langkah yang dilaksanakan karena luasnya penanganan stunting dari semenjak ibu hamil sampai dengan 1.000 hari usia bayi. Pada paper ini kami hanya menyoroti satu aspek saja atas efektivitas kebijakan dan penanganan stunting yakni efektivitas kebijakan yang telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 29 Tahun 2019 tentang Pangan Khusus untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) sebagai gambaran dari pelaksanaan kebijakan penanganan stunting dan saran atas apa yang sebaiknya dilakukan agar optimisme Presiden benar-benar dapat direalisasikan

Efektivitas Kebijakan penanganan stunting

Angka prevalensi stunting di Indonesia 21.6% masih lebih tinggi dibanding negara tetangga: Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%) (Kemkes RI, 2021). Sedangkan target Indonesia adalah 14% pada Tahun 2024. Mengingat pencapaian angka prevalensi stunting di Indonesia pada Tahun 2022 adalah 21.6% maka pada dasarnya target 14% pada tahun 2024 adalah sangat sulit atau bahkan tak mungkin tercapai. Maka kita dapat menyebut bahwa kebijakan dan implementasi penanganan stunting belum berhasil. Sebuah kebijakan dapat dikatakan efektif apabila memenuhi beberapa kriteria, yakni: upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaan program sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, biaya yang efisien, pelaksanaan dibandingkan dengan hasil yang dicapai, dan efektivitas biaya (Kettner, Moroney, dan Martin dalam Mayasoni, 2022). Kriteria lain yang dapat digunakan untuk mengukur dalam evaluasi kebijakan, adalah: efektivitas, efisiensi, kecukupan, pemerataan, responsivitas, dan ketepatan (Dunn, 2017) Dari analisis kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah belum berhasil dengan baik, Hal tersebut terlihat dari adanya implementasi kebijakan yang belum terkoordinasi dan terintegrasi, biaya yang besar (antara lain untuk pengadaan PMT sebesar Rp 1.8 Triliun yang diragukan kegunaan dan efektivitasnya karena tidak melalui penelitian ilmiah dan uji coba) dan dikhawatirkan adanya program-program lain yang tidak merata, tidak tepat dan tidak konsisten bahkan mungkin tidak berguna lainnya selain PMT tersebut, sementara program yang telah melalui proses yang benar dan hasil dari uji coba telah positif justru belum diselesaikan dengan tuntas antara lain dalam proses penanganan stunting dengan Pangan Khusus untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) yang kebijakannya sebenarnya telah ditetapkan sendiri oleh Menkes

Belum terjadi kesepakatan prioritas penanganan stunting antara dimulai saat Ibu Hamil atau setelah Bayi Lahir

Presiden Jokowi Rapat Kerja Nasional BKKBN Januari 2023 menyampaikan bahwa “Infrastruktur dan lembaga yang ada, lanjutnya, harus digerakkan untuk memudahkan menyelesaikan persoalan stunting. Dari lingkungan mulai dari air bersih, sanitasi, rumah yang sehat, ini merupakan kerja terintegrasi dan harus terkonsolidasi”. Lebih lanjut disampaikan “bahwa target 14% itu bukan target yang sulit hanya kita mau atau tidak mau. Asalkan kita bisa mengonsolidasikan semuanya dan jangan sampai keliru dalam cara pemberian gizi” demikian disampaikan oleh Presiden Jokowi

Perlunya terintegrasi dan terkonsolidasi sebagaimana disampaikan Presiden perlu mendapat perhatian yang serius karena bahkan dalam debat Capres 2024 saja terjadi perbedaan aantara para Capres tentang kapan penanganan stunting harus dilakukan. Satu calon mengemukakan bahwa penanganan bayi stunting harus dilaksanakan sejak lahir dan calon lainnya mengatakan bahwa penanganan stunting harus dilakukan sejak ibu hamil.

Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting, yakni: memenuhi kebutuhan gizi sejak masa kehamilan, memberikan ASI eksklusif sampai anak berusia enam bulan, mendampingi pemberian ASI eksklusif dengan makanan pengganti ASI (MPASI) saat anak menginjak usia lebih dari enam bulan, dan memantau tumbuh kembang anak dan menjaga kebersihan  lingkungan (Khairani, 2020). Dengan demikian sebenarnya perbedaan pandangan tentang prioritas penanganan stunting sejak ibu hamil atau bahkan sejak sebelum menikah atau setelah bayi lahir tidak perlu diperdebatkan. Akan tetapi pada kenyataannya perbedaan pendapat tidak hanya pada debat Capres namun juga terjadi pada lingkungan yang justru menangani penanggulangan stunting ini. Hal ini terbukti setelah PH&H meneliti lebih jauh pendapat berbagai pihak terkait, ternyata ada perbedaan pendapat bahwa penanganan harus sejak ibu hamil yang didukung para Ahli Gizi, Dokter Spesialis Ginekologi dan Obstetri dan pendapat bahwa penanganan stunting harus fokus pada bayinya, dari lahir sampai dengan usia 1.000 hari. Pendapat ini didukung oleh para Dokter Anak. Hal ini sebenarnya juga wajar saja karena keyakinan sesuai keahlian masing-masing. Penelusuran lebih jauh menunjukkan bahwa perbedaan ini “mengalir sampai jauh” karena sampai terkait dengan masalah prioritas makanan dan PKMK mana yang akan masuk ke dalam Formularium Nasional (Fornas), pendanaan dan kegiatan pelaksanaan lainnya. Lebih “gawat” lagi perbedaan pendapat ini sampai pada masalah angka prevalensi stunting, karena ada pihak yang mempertanyakan bahwa angka prevalensi stunting sebenarnya tidak menurun malah justru meningkat. Menteri Kesehatan pernah menyatakan bahwa Survei Status Gizi (SSG) yang semula dilakukan per dua atau tiga tahun akan dibuat menjadi per tahun. Angka prevalensi stunting Tahun 2023 hingga saat ini (Februari 2024) memang belum ada, mungkin masih dalam proses.  PH&H tidak meneliti lebih jauh tentang perbedaan prioritas tersebut dan meyakini bahwa hal ini akan dapat diselesaikan oleh Kementerian Kesehatan karena pada dasarnya keduanya sama pentingnya. Penelitian akan lebih difokuskan pada implementasi atas kebijakan yang ditetapkan sendiri oleh Kemenkes

Implementasi kebijakan penanganan stunting pada masalah disposisi (Edward III, Asfiyah 2012) menjadi faktor penting. Disposisi yakni watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Jika implementor sepakat dengan isi dan tujuan kebijakan, mereka akan melaksanakannya dengan senang hati. Namun, jika pandangan mereka berbeda, maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Hal ini cukup terlihat pada adanya kesan setengah hati dalam melaksanakan pemberian PKMK yang harus melalui banyak tahap dan berbagai evaluasi dari semenjak ditetapkannya Permenkes tentang PKMK empat tahun lalu sampai sekarang belum diimplementasikan sepenuhnya, sementara PMT biscuit justru tanoa penelitian yang memadai telah diadakan dalam jumlah besar

Konsistensi dalam kebijakan dan pelaksanaannya, penelitian pada pemberian PKMK untuk penanganan stunting

Diantara berbagai kebijakan dan tindakan untuk penanganan stunting baik program spesifik maupun program sensitif telah pula ditetapkan kebijakan untuk pemberian Pangan Khusus untuk Keperluan Medis Khusus. Kebijakan tersebut diawali dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 29 Tahun 2019 tentang PKMK yang setelah dilakukan berbagai evaluasi dan test pelaksanaan dengan uji coba, maka tahap selanjutnya PKMK  diatur pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Stunting yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 yang antara lain telah mencantumkan penggunaan PKMK di tatalaksana tersier di tingkat RS. PKMK untuk penanganan stunting sesuai dengan Permenkes tersebut berupa: Pemberian Makanan Tambahan (PMT), Ready to Use Therapeutic Food (RUTF) dan pemberian obat berupa Oral Nutrition Suplemen (ONS), obat untuk Alergi Susu Sapi, Obat Metabolisme dsb

PKMK tersebut adalah kebijakan Menteri Kesehatan yang sudah berjalan cukup panjang dengan melalui berbagai proses, antara lain telah melalui base line study, Pilot Project uji coba PKMK bersama dengan IDAI dan Prof Damayanti SpA di 14 Kabupaten/Kota dan terakhir setelah diyakini keefektivannya dalam penanganan stunting diusulkan dimasukkan ke dalam Formularium Nasional (Fornas) agar kesinambungan penggunaan dan pendanaan penggunaan PKMK untuk penanganan stunting berjalan berkesinambungan

Namun demikian ternyata Fornas terbaru belum memasukkan semua PKMK yang diperlukan dalam penanganan stunting. Pembicaraan dengan Prof Damayanti SpA menyimpulkan bahkan untuk PKMK jenis ONS dan PKMK alergi susu sapi untuk masuk Fornas dan pembuatan Juknis harus diadakan penelitian lagi dengan pilot project sebagaimana sebelumnya yang sudah pernah dilaksanakan di 14 Kabupaten/Kota. Informasi ini mengejutkan karena: Pertama, PKMK ini telah melalui proses yang amat panjang sejak Tahun 2018 dimana sejak proses untuk penetapan Permenkes No 29 tahun 2019, pembuatan Juklak, uji coba pada pilot project di 14 Kabupaten/Kota, base line study, desk review dsb  dimana PH&H ikut aktif dalam kegiatan tersebut bahkan juga terlibat dalam pelaksanaan pemberian PKMK oleh pihak swasta dalam hal ini oleh CSR dari PT Priok Pomu namun kesemuanya belum dianggap cukup untuk memasukkan PKMK yang diperlukan ke dalam Fornas Kedua, Dari kegiatan yang diikuti dalam penelitian di Unit Pelayanan Kesehatan Propinsi/ Kabupaten /Kota/Kecamatan para dokter/perawat lebih memilih PKMK yang mudah, dan siap diminum seperti ONS. Dan memerlukan pengganti apabila Makanan Pembantu Air Susu Ibu (MPASI) diperlukan yang bukan dari susu sapi karena bayi alergi susu sapi serta jenis PKMK lainnya tidak hanya yang terkait dengan metabolisme, pelengkap gizi air susu ibu dan bayi prematur sebagaimana telah ditetapkan dalam Fornas 2023. Ketiga, PMT yang tanpa melalui penelitian yang memadai serta evaluasi yang cukup dibandingkan PKMK justru telah diadakan dengan anggaran yang fantastis

Kesimpulan dan apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah

Pertama, Target prevalensi stunting 14% pada Tahun 2024 sementara target WHO 20% dan pencapaian Tahun 2022 adalah 21,6% menunjukkan bahwa kebijakan tidak berjalan dengan efektif. Pencapaian hasil stunting hendaknya dievaluasi menyeluruh. Kebijakan hendaknya ditetapkan secara komprehensif sejak ibu hamil sampai dengan bayi lahir dan mencapai usia 1.000 hari dari kelahiran dan difahami semua pihak tanpa ada perbedaan pendapat. Pencapaian angka prevalensi stunting sebagai hasil kebijakan hendaknya diukur dengan seksama dengan data dan metode yang sahih serta difahami semua pihak terkait tanpa keraguan

Kedua, Implementasi kebijakan dinilai tidak efektif dan tidak efisien, salah satu contoh adalah pengadaan PMT yang menggunakan anggaran besar tanpa ada penelitian kecukupan, responsivitas, ketepatan, kegunaan, serta efektivitas dan efisiensinya. Sementara PKMK yang setelah melalui proses yang panjang dari penelitian ilmiah sampai uji coba sehingga kebijakannya telah ditetapkan pada Permenkes (Permenkes No 29 Tahun 2019 tentang PKMK, dan Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Stunting justru belum dituntaskan karena tidak ada jaminan pendanaannya. Hal ini ditunjukkan antara lain PKMK berupa ONS yang dikehendaki Unit Pelayanan Kesehatan karena mudah dan efektif serta PKMK untuk bayi yang alergi susu sapi justru belum masuk Fornas. Oleh karenanya seyogianya kebijakan pemberian PKMK diselesaikan dengan tuntas sampai pada masalah pendanaan dan persyaratannya

Ketiga, Contoh implementasi kebijakan tentang PKMK tersebut diyakini juga terjadi pada program lain yang pada dasarnya menunjukkan tidak adanya konsistensi dalam implementasi kebijakan serta perlunya integrasi dan konsolidasi sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi. Diperlukan evaluasi ulang secara menyeluruh atas semua kebijakan dan terutama pada implementasi kebijakan serta evaluasi kebijakannya. Evaluasi melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat satu dan lainnya

 

Jakarta, Februari 2024

Leave a Comment