
Industri baja nasional yang dimotori oleh PT Krakatau Steel (BUMN) akhir-akhir ini mengalami pertumbuhan positif yang menggembirakan. Produksi baja nasional meningkat sehingga untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga meningkat, dari 7.6 juta ton di Tahun 2019 menjadi 9.2 juta ton di tahun 2020. Sebagai dampak kenaikan produksi dalam negeri tersebut menurunkan pangsa pasokan impor baja untuk kebutuhan dalam negeri dari 47.2 persen pada tahun 2019 menjadi 42 persen di tahun 2020
Namun demikian industri baja suatu negara selalu dianggap sebagai mother industry bahkan sering juga disebut sebagai pembawa bendera perindustrian suatu negara, sehingga hampir semua negara melakukan perlindungan dengan memberikan insentif baik fiskal maupun non fiskal pada industri bajanya, termasuk insentif untuk ekspor. Hal demikian menjadikan ekspor baja tersebut dibanding harga baja produksi dalam negeri di negara pengimpor menjadi lebih murah (dumping). Hal ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena insentif tersebut bisa dianggap sebagai dumping. Oleh karenanya banyak negara termasuk negara maju seperti Eropa, Kanada dan Amerika serta Asia mengenakan Bea Masuk pada produk baja impor. Bea masuk dapat berupa Bea Masuk biasa. Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) ataupun Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS)
Hal yang sama terjadi di Indonesia, baja impor dikenakan BMAD namun dengan melihat perkembangan penurunan baja impor maka BMAD dicabut atau akan dicabut, hal ini tidak tepat karena Bea Masuk dikenakan disebabkan karena kebijakan pemerintah negara pengekspor untuk memberikan banyak insentif. Secara nalar maka negara pengimpornya juga seharusnya memberi banyak insentif ke produksi dalam negeri dan atau mengenakan pungutan yang besarannya paling tidak sebesar insentif yang diterima oleh eksportir baja tersebut. Dengan demikian perdagangan antar negara akan menjadi lebih adil.
1.Produksi baja dunia
Produksi baja dunia saat ini mengalami surplus lebih dari 500 juta ton. Dari jumlah tersebut kapasitas Produksi China 1.15 miliar Ton yang berarti lebih dari setengah kapasitas dunia (2020). Kebijakan pemerintah China memberikan insentif yang besar untuk ekpor bajanya. Insentif baik fiscal maupun non fiscal sehingga Industri baja dunia tertekan oleh baja China
2.Kebijakan di beberapa negara atas industri bajanya
Pada dasarnya sebagian besar negara di dunia memberikan perlindungan pada industry bajanya karena peran strategisnya sebagai mother industry. Sebagai contoh beberapa negara yang memebrikan kebijakan perlindungan adalah sebagai berikut:
Uni Eropa; menegenakan BMTPS sebesar 25% untuk 26 kategori
3.Kebijakan di Indonesia
sumber : Majalah Tempo 15-21 Maret 2021 (Diolah)
Pemerintah Indonesia memang telah menetapkan BMAD dan BMTP untuk beberapa beberapa produk baja, namun demikian beberapa diantaranya telah berakhir dan belum diperpanjang, di samping itu juga cukup banyak produk impor baja yang mendapat banyak sekali insentif dari pemerintahnya namun belum dikenakan BMAD, BMTP ataupun BMTPS
Pemerintah juga menetapkan keharusan untuk penerapan SNI atas impor produk baja, namun belum dikenakan secara luas dari hulu ke hilir
Kebijakan terakhir ini pemerintah menetapkan Harga Gas Bumi Dalam Negeri untuk industry baja agar suplai dan harga gas bumi yang merupakan komponen biaya besar di industry baja dapat kompetitif
Tahun 2019 kebutuhan baja dalam negeri 16 juta ton,/ 47.2% dipenuhi oleh baja impor dan tahun 2020 kebutuhan baja 15.9 juta ton, baja impor menurun menjadi 42%. Namun kapasitas produksi industri baja nasional hanya terpakai 41%. Sementara itu kebutuhan baja dalam negeri tidak meningkat pada tahun 2020 terutama karena kelesuan pasar sebab pandemi
Dengan demikian terdapat kemajuan yang positif karena impor baja menurun dan produksi baja meningkat
Namun demikian adalah kurang adil dalam berkompetisi dengan China karena ekspor baja ke Indonesia dari China banyak mendapat dukungan finansial dan non finansial dari pemerintahnya
Pengenaan BMAD dengan PMK No. 65 Tahun 2013 jo PMK No. 224 Tahun 2014 sudah berakhir pada Maret 2016, untuk impor Cold Rolled/Coil Sheet dari Jepang, Korea, China, Taiwan dan Vietnam, dan pengenaaan BMAD dengan PMK No. 23 Tahun 2011 yang sudah berakhir pada Februari 2016, untuk impor Hot Rolled Coil dari Jepang, Korea dan Malaysia. Pengenaan BMAD ini seyogianya diperpanjang karena pada kenyataannya impor dari negara lain khususnya China masih mengandung berbagai bentuk subsidi dan safeguard dari pemerintahnya, serta dumping.
Beberapa kecurangan dengan memanfaatkan perkecualian dalam impor baja untuk keperluan pemerintah, pemanfaatan fasilitas FTZ untuk importasi. Khususnya FTZ di Batam yang seharusnya impor diproses di Batam untuk di ekspor kembali, pada kenyataan merembes ke pasar dalam negeri.
Hal lain adalah perlunya perluasan pengenaan SNI dari hulu ke hilir, karena ditengarai kebijakan pemerintah untuk melindungi produksi dalam negeri dengan keharusan SNI bagi produk baja impor hanya terbatas pada beberapa produk yang dengan sedikit modifikasi komponennya menjadi tidak wajib ber SNI
Berdasarkan isu pokok tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan kecurangan yang sering terjadi pada importasi baja sebagai berikut:
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merencanakan akan mengenakan BMAD impor HRC Alloy dari China. Menyusul pengenaan BMAD atas Baja Lapis Alumunium Seng (BjLAS). sebagaimana BjLAS atas HRC Alloy karena utilisasi pabrik menurut Asosiasi Industri Besi Dan Baja (IISIA) hanya 41-50%. Impor produk baja dengan kode HS 72 1.1 juta ton merupakan baja paduan dan lebih dari setengahnya diimpor dari China
Rencana KADI ini sangat tepat untuk perdagangan yang fair karena China memberi banyak sekali insentif untuk ekspor bajanya sehingga harga ekspor baja menjadi sangat murah. Jauh lebih murah dibanding harga baja di negaranya sendiri. Diduga bahkan harga baja ekspor tersebut bahkan juga lebih murah di banding harga baja di China sendiri. Hal ini merupakan praktek dumping yang tercela dalam perdagangan internasional sehingga sangat layak dikenakan BMAD