
Edie Haryoto, PH&H, Public Policy Interest Group
Disampaikan pada Webinar yang diselenggarakan PT KAI dengan Perpenka di Bandung, tanggal 7 September 2022
PENDAHULUAN
Ketika saya diminta untuk menjadi narasumber pada Webinar ini saya sangat tertarik karena judul yang diberikan pada saya sangat menarik yakni “Kebijakan Publik dan Kemanfaatan Operasi Jabodebek”. Sangat tertarik karena sebagai mantan mandor sepur meminjam istilah Pak Jonan dan telah mengikuti perkembangan fisik proyek ini sejak awal karena terlihat dipinggir Jalan Tol Cikampek yang sangat sering saya lalui. Banyak pertanyaan yang ada di kepala saya soal kebijakan LRT ini dari apa yang terlihat kasat mata saja. Misal: Kenapa di pinggir Jalan Tol. Bukankah susah pejalan kaki mengakses LRT nya, menuju ke Jalan Tol nya saja susah. Dan yang menggunakan LRT searah pula dengan arah jalan tol nya (bahkan lebih jauh lagi juga searah juga dengan KRL Jabotabek). Lalu, mengapa di area sini yang ramai permukiman di sebelah kanan Jalan Tol tetapi Stasiun LRT nya di kiri Jalan Tol dan menyeberangi jalan tol nya menuju stasiun LRT harus melingkar lebih dari 5 km. Mengapa Stasiunnya menghadap ke Timur sedang jalan aksesnya di utara. Mengapa LRT ini di sekitar real estate yang rata-rata penghuninya punya mobil… dsb. Kenapa elevated yang menyusahkan pengguna LRT. Saya yakin semua bisa dijawab. Dijawab dengan baik pula. Tapi benarkah jawaban itu? Apakah melibatkan perencana Transportasi Kota/Urban Planner. Belum lagi melihat Hotel Grand Dhika di Bekasi. Itu kan TOD? Maksud TOD kan memberi penghasilan di luar farebox nya Operator koq pihak lain yang memanfaatkan keberadaan LRT untuk membentuk demand atas usaha apartmen dan hotelnya dan bukan sebaliknya. Siapa yang menetapkan kebijakannya, bagaimana formulasi kebijakannya dsb
Dan banyak pertanyaan lain, sehingga di Webinar ini bukan saja saya merasa mendapat kehormatan menjadi narsum akan tetapi juga mencari jawaban atas pertanyaan yang berkecamuk di kepala saya ini
ANDIL LRT JABODEBEK DAN KRL JABOTABEK YANG BERBASIS JALAN REL ADALAH ISU UTAMA UNTUK LRT JABODEBEK (DAN KAI) UNTUK MENGURANGI KEMACETAN
Fitur angkutan penumpang Jabotabek Urban/Sub Urban Transport saat ini adalah sbb:
Sementara kemacetan Jakarta Menurut Tom-Tom traffic Index (Tom-Tom Traffic Index). Jakarta pada peringkat No 46 dunia (terdekat adalah Hongkong peringkat ke 47), peringkat No 6 Asia (terdekat Bangkok no 7) dan peringkat ke 11 megacity (penduduk lebih dari delapan juta) (no 1 nya Mumbai)
Dengan demikian pertanyaannya seberapa besar pangsa pasar LRT ini dalam angkutan Jakarta/Greater Jakarta
KEMANFAATAN OPERASI LRT SEBAGAI BAGIAN DARI URBAN TRANSPORT
Menurut Dr Jean Paul Rodrigue, “The Geography of transport System” Sistem Transportasi public dapat digambarkan sebagai berikut.
Sistem Transport meliputi:
Keseluruhan tersebut memerlukan suatu kebijakan yang bermuara pada: Tata Kelola, Keselamatan dan regulasi. Hal yang sama yang seharusnya dilakukan untuk LRT Jabodebek sebagai media transportasi publik
Sementara Bank Dunia menguraikan bahwa sistem transport urban mengalami evolusi sebagai berikut:
Selanjutnya sampai dengan saat ini perkembangan transportasi mengarah pada: kesinambungan mobilitas untuk semua pengguna dengan menekankan pada: Akses untuk semua orang, efisien, aman dan hijau. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan penetapan kebijakan yang dapat dirinci sebagai berikut:
TRAVEL DEMAND MANAGEMENT
Manajemen pengelolaan demand pada LRT Jabodebek merupakan faktor kunci agar volume penumpang yang diangkut besar. Dan pengelolaan demand tersebut menyangkut aspek yang luas. Pengelolaan demand yang kurang luas mengakibatkan seperti LRT Palembang atau mungkin juga LRT Jak Pro. Dari awal pengelolaan demand ini sudah terlihat kurang optimal, antara lain: aksesibilitas yang sulit karena di atas jalan tol, stasiun di atas, sejajar dengan angkutan jalan raya dan juga KRL. Hal ini sudah sulit diperbaiki oleh karenanya dalam pengelolaan demand ini agar lebih fokus pada penyelesaian masalah umum yang biasa dihadapi oleh transportasi public, yakni: pada saat peak hour kekurangan kapasitas dan pada saat off peak hours kelebihan kapasitas, aksesibilitas yang tidak baik, lahan parkir yang tidak cukup tersedia, kongesti di stasiun dan adanya berbagai jenis kecelakaan. Untuk mengatasi masalah umum tersebut diperlukan kebijakan yang komprehensif yang melibatkan berbagai Kementeian/Lembaga dan juga Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain: tata guna lahan, dampak lingkungan, jalur pedestrian, pengaturan jam kantor dsb
KERANGKA INSTITUSI
Pada awalnya LRT Jabodebek dibangun oleh Adhi Karya dengan APBN dan mengarah prasarana LRT akan dikelola Adhi Karya sehingga pengeluaran dari APBN akan di PMN kan ke Adhi Karya, perkembangan selanjutnya beralih menjadi di PMN kan ke PT KAI. Sementara itu di lain moda dalam transportasi Jakarta telah berproses pula merger antara KCI yang mengoperasikan KRL dengan MRT dan Trans Jakarta (BRT) dengan pemegang saham Pemerintah DKI Jakarta. Bagaimana nanti dengan LRT Jabodebek ini? Apakah tidak akan diambil tindakan yang sama?
Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu ketegasan berupa Kebijakan Publik atas Transport Urban khususnya yang berbasis Jalan Rel yang masih memerlukan kejelasan, yakni: penggabungan angkutan urban Jakarta: (KCI-MRT? KCI-MRT-LRT Jakarta-LRT Jabodebek?; KCI-MRT-LRT Jakarta-LRT Jabodebek-Trans Jakarta?) atau Intercity Urban dan Sub-Urban (Seperti Paris: SNCF, RATP dan RER, serta Berlin: DB, U-Bahn, S-Bahn) atau moda berbasis jalan rel dan non jalan rel. Dasar keputusan atas kebijakan yang akan diambil adalah: pendanaan, kendali atau jenis moda. Selanjutnya juga Kebijakan operator LRT Jabodebek ini monolithic atau unbundling? Tergantung faktor: peraturan perundangan, kewenangan institusi dan pendanaan. Kebijakan satu paket dengan di atas?
PENDANAAN
Pendanaan dan Kerangka Institusi ini terkait erat yang harus ditetapkan dalam satu Kebijakan
Sebagai ilustrasi dalam Undang-Undang Perkeretapian Nomer 23 Tahun 2007, diatur sbb:
Beberapa hal pokok terkait dengan topik bahasan pada paper ini, maka beberapa pengaturan yang seharusnya diindahkan di dalam penyelenggaraan LRTJ adalah sebagai berikut:
(1) Untuk pelayanan kelas ekonomi, dalam hal tarif angkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) huruf a lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk kewajiban pelayanan publik.
(2) Untuk pelayanan angkutan perintis, dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk subsidi angkutan perintis.
(1) Apabila Penyelenggara Sarana Perkeretaapian menggunakan prasarana perkeretaapian yang dimiliki atau dioperasikan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian membayar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian.
(2) Besarnya biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Pemerintah
Berdasarkan UU No 23 Tahun 2007 tersebut jelas kiranya bahwa:
PSO dan subsidi ini perlu mendapat perahtian yang serius karena formula yang sekarang direncanakan oleh LRT Jabodebel perlu diuji dengan mengngat UU Perkeretaapian tersebut di atas dengan mengingat pula praktek yang berlaku selama ini. PSO menjadi sangat penting karena secara umum rata-rata pendapatan pada KA Urban yang berasal dari penjualan karcis hanya sekitar 50% dari keseluruhan pendapatan yang mencukupi untuk menutup biaya operasi LRT
LAND USE & TOD
Penggunaan lahan di Kawasan setasiun dalam transportasi public memerlukan penanganan yang khusus, karena kawasan setasiun diharapkan menjadi kawasan yang menyumbang banyak pendapatan untuk operator transportasi publik dalam hal ini LRT. TOD pada dasarnya adalah untuk pengumpan transportasi publik untuk meningkatkan demand, namun perkembangan saat ini bisa juga sebaliknya yakni transportasi publik meningkatkan demand properti dan perdagangan di TOD (BSD, Tenjo dsb)
Siapa yang mendapatkan keuntungan usaha atas adanya stasiun dan jaringan transportasi di luar operator transportasi selayaknya membayar (internalisasi dari eksternalitas). Contoh: Apartemen Grand Dhika di ujung Setasiun Bekasi nya LRT Jabodebek jika dibangun dan dioperasikan bukan oleh Opeartor LRT Jabodebek maka seharusnya membayar konsesi ke LRT Jabodebek
Tata guna lahan di Kawasan setasiun ini memerlukan kebijakan public yang bertumpu pada adanya satu sistem transportasi public yang utuh agar operasi bisa berkesinambungan
KEBIJAKAN TEKNOLOGI
Terdapat penggunaan teknologi tinggi dalam pembangunan LRT Jabodebek ini, mulai dari pembangunan jalur dengan jembatan bentang tinggi, slab track, tiang tahan gempa dsb sampai dengan teknologi pada bakal pelantingnya seperti: GoA 3 dan operasinya dengan moving block Pada dasarnya kebijakan yang diperlukan adalah bahwa teknologi yang akan digunakan telah terbukti handal (riil ataupun desk), dengan fokus pada:
AGENDA SETTING- MEMBENTUK PERSEPSI PUBLIK YANG POSITIF
Agenda setting untuk membentuk persepsi publik adalah hal yang sangat perlu mendapat perhatian. Titik tolak pada pembentukan persepsi publik ini adalah bahwa LRT Jabodebek adalah moda trasnportasi masa depan yang: hijau, aman, modern, efisein dalam penggunaan lahan dan bahan bakar dsb. LRT adalah pilihan angkutan publik yang tepat. Dengan demikian LRT perlu terus dikembangkan dengan dukungan pendanaan pemerintah secara transparan, sepadan dengan manfaat dan terbuka untuk kerja sama dengan swasta
AKHIR PRESENTASI PADA WEBINAR
Jakarta, 29 Agustus 2022
Edie Haryoto