
Adanya truk di jalanan yang berdimensi lebih besar dan bermuatan lebih berat (ODOL, Over Dimension, Over Load) tidak diragukan oleh siapapun akan merusak jalan dan membahayakan keselamatan lalu lintas. Tidak ada fihak yang meragukan itu. Namun demikian tindakan petugas baik dari Dinas Lalu Lintas Jalan (DLLAJ) maupun Kepolisian (Polri) terkesan setengah-setengah. Kadang diadakan operasi, lain kali dibiarkan saja. Demikian pula kebijakan yang dilaksanakan terkesan setengah hati. Tindakan dan kebijakan yang tidak tuntas tersebut tentu karena adanya pengaruh dari pihak lain dan kemungkinan besar terkait dengan usaha dan perekonomian. Pendapat yang disampaikan juga berdasar argumentasi yang kuat bahwa penertiban ODOL akan menimbulkan dampak yang luas bagi usaha dan perekonomian, antara lain: ketidakcukupan truk dan pengemudi yang ada, perlunya investasi besar untuk pengadaan dan modifikasi truk, dll yang kesemuanya akan berakibat pada kenaikan Biaya Logistik dan kenaikan harga barang, inflasi, penerimaan pajak dsb. Yang pada intinya tindakan penertiban ODOL atau pembiaran ODOL beroperasi seperti trade off antara keselamatan transportasi dan kerusakan jalan dengan usaha dan perekonomian.
Truk ODOL ditindak karena melampaui batas yang ditetapkan
Keberadaan ODOL adalah melanggar peraturan: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) Pasal 282, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012 tentang Pengendalian dan Pengawasan Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor yang Melanggar Batas-Batas dan/atau Tata Cara Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor. Pelanggaran yang dilakukan ODOL pada umumnya adalah pelanggaran batas Kelas jalan (PP 79 Tahun 2013)
Batas muatan truk di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan yang berbeda. Salah satu peraturan yang mengatur hal ini adalah Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Kendaraan Bermotor Angkutan Barang dengan Berat Kendaraan dan Muatan Maksimum yang Diperbolehkan Melintas dan atau Operasi di Jalan. Peraturan ini menetapkan berat maksimum yang diperbolehkan untuk kendaraan bermotor angkutan barang, termasuk truk, serta berat maksimum muatan yang diperbolehkan diangkut oleh kendaraan tersebut. Peraturan ini juga membagi kendaraan ke dalam beberapa kelas berdasarkan jumlah sumbu dan jarak sumbu kendaraan, serta menetapkan batas maksimum muatan berdasarkan kelas kendaraan. Selain Peraturan Menteri Perhubungan tersebut, terdapat pula peraturan daerah yang dapat mengatur batas muatan truk di wilayah tertentu.
Selain Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 32 Tahun 2016, terdapat beberapa peraturan lain yang mengatur batas muatan truk di Indonesia. Berikut adalah beberapa peraturan terkait: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pengaturan Lalu Lintas di Jalan, Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 60 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PM Nomor 32 Tahun 2016 tentang Kendaraan Bermotor Angkutan Barang dengan Berat Kendaraan dan Muatan Maksimum yang Diperbolehkan Melintas dan atau Operasi di Jalan, Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Ketentuan Operasional dan Kelaikan Kendaraan Jalan. Juga Top of FormPeraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 20/PRT/M/2019 tentang Penentuan dan Perubahan Kelas Jalan
Kebijakan ODOL perlu juga dilihat dari sudut efisiensi biaya logistik
Selama ini Odol diposisikan sebagai pihak yang bersalah atas: kerusakan infrastruktur, kecelakaan, kemacetan. Jarang diperhitungkan kenaikan biaya angkut, ketiaadaan truk dan sopir pengganti Odol jika dilarang sementara biaya logistik di Indonesia termasuk termahal di dunia sehingga daya saing produk Indonesia juga menjadi lemah. Dan tidak pernah difikirkan kemungkinan peningkatan tekanan gandar jalan raya agar dapat dilalui truk dengan muatan yang lebih berat, penyamaan tekanan gandar pada kelas jalan yang lebih kecil karena akses jalan ke pabrik berada di jalan kelas 2 atau 3. Juga tidak pernah difikirkan rekayasa teknik agar kendaraan angkutan bisa berbobot lebih ringan, kendaraan yang didisain sesuai dengan efisiensi antar moda misal ukuran kontener dsb
Sudah saatnya kebijakan tentang Odol dilakukan secara komprehensif baik dari sisi kerusakan infrastruktur, keselamatan, kemacetan maupun dari sisi keekonomian dan teknis.
Kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah
Selama ini fokus kebijakan adalah pada penindakan atas pelanggaran hukum oleh Odol, itupun terkesan setengah-setengah. Penindakan adalah karena melanggar regulasi. Sementara regulasinya berubah-ubah dan tumpang tindih karena satu regulasi “menyempurnakan” regulasi lainnya yang tidak dapat dilaksanakan dengan efektif. Padahal masalah sebenarnya bukan karena regulasinya yang harus disesuaikan dengan realisasi di lapangan akan tetapi penyempurnaan regulasi yang juga melihat aspek lain yang menyebabkan mengapa terjadi banyak pelanggaran atas regulasi tersebut.
Sebaiknya ditetapkan kebijakan yang juga melihat dari sisi usaha, perekonomian, biaya logistik, kemudahan dan efisiensi antar moda dan sebagainya, misalnya dengan kebijakan: peningkatan kelas jalan, peningkatan berat muat, dimensi dan sebagainya, pengaturan dan penetapan lokasi asal tujuan truk Odol dengan kelas jalan, peningkatan efisiensi dengan berat dan dimensi yang sinkron untuk angkutan antar moda dan sebagainya.
Dengan demikian penertiban yang dilakukan dapat dilaksanakan bertahap namun dengan kepastian yang tinggi karena semua fihak menyadari bahwa kepentingan usaha, ekonomi dan efisiensi telah pula dipertimbangkan di samping keselamatan transportasi dan kerusakan jalan