
CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK
“ODOL PERSOLAN TAK KUNJUNG USAI KARENA KEBIJAKAN TIDAK KOMPREHENSIF DAN BELUM ADA PETA JALAN PENANGANAN”
Baru-baru ini terjadi (lagi) kecelakaan yang melibatkan Truk Over Dimension Over Load (ODOL) di Pintu Tol Ciawi arah Jakarta akibat rem blong dengan banyak korban jiwa. Seperti biasa yang dipersalahkan selalu hanya peNgemudi truk. Padahal penyebab kecelakaan tidak pernah tunggal. Masalah ODOL sebagai penyebab kecelakaan, kerusakan jalan, kemacetan dsb sudah bertahun-tahun ramai dibahas namun hampir tidak ada penegakan hukumnya. Sehingga ODOL tetap berkeliaran di jalan raya dan jalan tol. Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan berbagai Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) untuk menyelesaikan pelanggaran ODOL, namun ODOL terus berkeliaran tidak terkontrol. Peraturan demi peraturan terus dikeluarkan, namun masih belum efektif.
Berlarut-larutnya masalah ODOL menunjukkan adanya permasalahan yang lebih mendasar dan lebih luas, sehingga tidak bisa diselesaikan hanya dengan penindakan-penindakan saja. Persoalan tidak hanya pada Kementerian/Dinas Perhubungan dan POLRI saja akan tetapi juga menyangkut Kementerian/Dinas lain seperti Pekerjaan Umum, Perindustrian, Perdagangan, BUMN Jalan Tol, BUMN Pelabuhan dsb.
Diperlukan pendalaman atas pokok permasalahannya dengan tinjauan dari berbagai sektor dan dicari penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh, bukan hanya dengan peraturan Kementerian Perhubungan saja akan tetapi juga harus melibatkan K/L yang lain. Adanya Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (antara lain membawahi dua Kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum) dan Kementerian Koordinator Perekonomian (antara lain membawahi Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan), seharusnya masalah ODOL ini dapat diselesaikan oleh Kedua Menko secara tuntas dalam waktu tidak terlalu lama melalui sebuah Road Map.
Permasalahan ODOL sulit ditangani karena setiap Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan tentang ODOL, selalu dianulir oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, sehingga peraturan tentang ODOL dari Kemenhub selalu tidak bisa dijalankan atau ditolak untuk dijalankan.
KETIDAKJELASAN KEMENTERIAN YANG MENANGANI ODOL
Persepsi bahwa Kementerian yang bertanggungjawab atas adanya ODOL adalah Kemenhub tidak sepenuhnya salah, namun ternyata secara peraturan banyak K/L yang terkait dengan penanganan ODOL belum dilibatkan. Regulasi tentang ODOL diatur dalam 1 (satu) Undang Undang (UU LLAJ No. 22 Tahun 2009), 8 (delapan) Peraturan Pemerintah (PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 79 Tahun 2012, PP No. 55 Tahun 2012, PP No. 30 Tahun 2021 dsb), 1 (satu) Instruksi Presiden, 1 (satu) Peraturan Presiden, 9 (sembilan) Permenhub (PM No. 60 Tahun 2016, PM No. 32 Tahun 2016, PM No. 26 Tahun 2021 PM PU No. 20 Tahun 2019 dsb, 1 (satu) Surat Edaran Menhub).
Pada satu UU saja yakni UU No. 22 Tahun 2009, pembinaan LLAJ (termasuk ODOL) mempunyai arti yang luas, yakni: perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan yang dilakukan oleh: Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Ristek/BRIN (pengembangan teknologi), dan Kepolisian RI. Lima K/L ini beserta Pemda yang menerima pelimpahan urusan bersama-sama membina LLAJ. Tidak jelas siapa yang menjadi pemimpinnya. Hanya disebut adanya Forum LLAJ tanpa kejelasan lanjut.
Secara regulasi masalah ODOL sudah memusingkan berbagai pihak karena banyaknya peraturan, apalagi dalam pelaksanaannya sering di veto Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan karena dituduh dapat menghambat logistik dan harga barang. Banyak K/L yang seharusnya ikut bertanggungjawab agar tidak ada ODOL lagi di jalan raya, tenag tenang saja.
PERSOALAN UTAMA ODOL SULIT DIHENTIKAN KARENA ALASAN EKONOMI
Adalah wajar bahwa Produsen/Pabrikan/Pemilik Barang mementingkan penurunan biaya distribusi, supaya dapat meningkatkan daya saing di pasar. Keselamatan perjalanan bukan urusan pemilik barang. Sementara itu Perusahaan Logistik/Ekspedisi/Pemilik Truk, mementingkan pendapatan dan laba besar atas armadanya, namun mengabaikan keselamatan. Sopir Truk memikirkan insentif yang akan didapat dengan truk ODOL demi uang juga mengabaikan keselamatan. Hal inilah yang menyebabkan walaupun ODOL telah ditertibkan, masih saja terus ada, karena pihak yang terkait dengan ODOL memang tidak ingin menghentikan ODOL.
Penindakan ODOL dari sisi ekonomi memang tidak menguntungkan. Studi ITL Trisakti menunjukkan bahwa, jika truk ODOL mengangkut sesuai batas muat yang dibolehkan oleh regulasi maka untuk mengangkut volume barang saat ini harus menambah armada truk sebanyak 60.3%. Tambahan tersebut jelas menimbulkan kemacetan. Peningkatan jumlah truk dan pengemudi sebanyak 60.3% akan meningkatkan biaya operasional/biaya produksi dan distribusi sampai 1.5 kali lipat dari biaya saat ini , sehingga otomatis akan menaikkan harga produk.
Lebih lanjut studi tersebut menyimpulkan, bahwa penghematan yang akan terjadi jika tidak dilakukan penertiban ODOL adalah Rp 2,204 triliun per tahun. Bahkan dari sisi lain, andil ODOL pada kerusakan jalan hanya yang diakibatkan oleh truk tronton, sedangkan andil ODOL pada tingkat keselamatan hanya sebesar 0.2%. Berdasar data studi ini, maka penertiban ODOL akan merugikan dari sisi ekonomi. Hanya tentu saja dari sisi keselamatan tidak dapat diukur dengan uang. Dari studi yang sama ternyata andil ODOL terhadap keselamatan juga tidak besar.
BIAYA LOGISTIK DI INDONESIA TERMASUK TERTINGGI DI DUNIA
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menilai, biaya logistik di Indonesia yang mencapai 27% dari total PDB atau senilai Rp 1.820 triliun per tahun merupakan biaya logistik paling tinggi di dunia. Biaya Logistik di Indonesia yang mencapai 27% dari produk domestik bruto (PDB) tersebut dapat dirinci: 8,9% merupakan biaya inventori, 8,5%, biaya transportasi darat, 2,8%, biaya transportasi laut, 2,7% biaya administrasi, dan 0,8% biaya lainnya. Sumber: Kementerian Keuangan
Biaya logistik di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 13%, serta AS sebesar 9.9%, Jepang 10.6%, KorSel 16.3%, Singapore 8%, Thailand 20%, dan Vietnam 25%. Sumber: Annual Logistik Report. Menurut Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3EI) Kadin, Ina Primiana, biaya logistik itu terbagi dalam biaya penyimpanan sebesar Rp. 546 triliun, biaya transportasi Rp. 1.092 triliun, dan biaya administrasi sebesar Rp. 182 triliun Sumber: Kemenhub.go.id.
Berdasarkan data tersebut diatas jelaslah bahwa kebijakan yang semata-mata hanya menghilangkan ODOL, akan meningkatkan biaya logistik cukup signifikan sehingga jelas daya saing produk Indonesia belum akan meningkat. Diperlukan daya angkut kendaraan yang lebih besar, sehingga efiisien tanpa merusak jalan dan tanpa meningkatkan kecelakaan ditambah kemudahan antar moda seharusnya merupakan target untuk penurunan biaya logistik dari sisi transportasi darat.
K/L YANG SEHARUSNYA IKUT BERPERAN DALAM PENURUNAN BIAYA LOGISTIK BELUM MENGAGENDAKAN KEBIJAKAN TERKAIT ODOL
Kementerian Pekerjaan Umum: Belum memprioritaskan peningkatan kekuatan jalan untuk peningkatan tekanan gandar truk, dan peningkatan kelas jalan terutama pada pabrik/gudang asal dan tujuan barang yang diangkut ODOL karena banyak industri berlokasi di Jalan Klas 2 atau 3.
Kementerian Perhubungan/Dishub: Banyak hal yang belum dilaksanakan oleh Kemenhub, seperti menyusun satu regulasi ODOL; menyusun Road Map penanganan ODOL tanpa diskriminasi dan dengan tahapan yang jelas; mengkoordinasikan membangun sistem informasi truk; berinisiatif membangun sistem izin pelampauan batas muatan truk dengan membayar kepada negara; mendorong penyusunan Sistem Informasi serta dash board di Kemenhub; dan mengkooordinasikan penindakan dan pengawasan dengan Polri dan Dinas Perhubungan di Pemda, inovasi dalam perizinan ODOL dsb.
Kementerian Perindustrian dan industri otomotif: kurang mendorong peningkatan teknologi truk yang memungkinkan daya angkut truk tanpa melanggar batas regulasi, misal gandar yang bisa diangkat jika tak diperlukan, komponen kendaraan yang lebih ringan, kendaraan listrik yang lebih ringan dengan daya muat yang sama, menambah jumlah gandar dengan aman dsb. dimana secara teknis mudah akan tetapi regulasi tidak mendukung (tidak seperti Thailand misal yang mendukung penambahan gandar); industri otomotif di samping tidak mendapat dukungan yang memadai juga kurang memiliki insiatif dalam penggunaan teknologi; kurangnya edukasi, perhatian dan pengawasan pemerintah cq Kemenperin dalam Industri Karoseri yang over design; kurang mengembangkan teknologi, disain bahkan mengabaikan Uji Tipe.
BRIN/Ristek: Belum memprioritaskan pengembangan Sistem Indormasi berbasis digital Data Centre yang terhubung dengan sistem di Jembatan Timbang, Kamera dan Pintu pemantauan. serta digabungkan dengan sistem di Jalan Raya lainnya, misal digabungkan dengan Rencana multi lane free flow (MLFF) dan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).
Kementerian Perdagangan, PH&H berkesempatan untuk mendiskusikan masalah ODOL dengan Kementerian Perdagangan/Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. Pembahasan yang PH&H dan Kemendag sependapat yakni: “Masalah ODOL hingga kini belum mendapatkan perhatian yang memadai dari para pemangku kepentingan. Beberapa faktor penyebab ODOL masih marak dilakukan, salah satunya adalah pemilik barang yang berusaha mengurangi biaya logistik untuk meningkatkan keuntungan dan daya saing, kondisi jalan yang tidak memadai, kurangnya sarana dan prasarana lalu lintas, belum adanya pengembangan otomatisasi dan digitalisasi, pengawasan dan penindakan yang tidak efektif, serta dorongan bagi pemilik truk dan sopir untuk mencari pendapatan dan insentif besar tanpa memperhatikan keselamatan. Dalam hal ini, pemerintah perlu merangkul asosiasi penyedia transportasi dan mencari kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan pemerintah untuk mengatur ODOL dan juga kebutuhan pelaku usaha untuk tetap dapat untung dalam menjalankan usahanya”
Demikian banyak yang seharusnya dilakukan oleh K/L untuk memecahkan masalah ODOL. Namun belum masuk pada agenda K/L ybs. Sementara Kemenhub (dan Polri) sekarang hanya fokus pada penindakan tanpa menyelesaikan akar masalahnya.
APA YANG DILAKUKAN NEGARA LAIN
Sangat menarik untuk mempelajari apa yang dilakukan negara lain atas ODOL, apakah juga ada ODOL? Bagaimana mengatasinya? Karena dari apa yang kami lihat di Eropa, banyak kendaraan besar yang di Indonesia terklasifikasi sebagai ODOL bebas melenggang di jalan raya yang bahkan terlihat lebih kecil dibanding jalan raya di Indonesia.
Dari sisi regulasi, secara umum batasan kendaraan di Indonesia dibanding negara lain (Eropa, Amerika, Australia) tentang tinggi dan panjang kendaraan relatif sama. Batasan berat muatan total maupun per sumbu, di Indonesia ditetapkan sedikit lebih rendah. Secara umum di negara maju jumlah sumbu kendaraan lebih banyak dan dapat diangkat apabila tidak dibutuhkan. Di samping itu pelampauan batas truk dimungkinkan dengan izin dan membayar atas pelampauan batas tersebut.
Kendaraan dengan dimensi dan muatan besar di LN, disebut dengan Heavy Duty Vehicle (HDV), tidak disebut Odol karena tidak melebihi batas regulasi atau sudah mendapat izin atas pelampauannya. HDV bertanggungjawab atas 28% polusi jalan raya.
Regulasi EU menempatkan HDV memainkan peran kunci dalam mengangkut barang dan orang, yang pada gilirannya memungkinkan perdagangan, pertumbuhan ekonomi, dan lapangan kerja. Standar yang di set dan menjadi kebijakasanaan dan regulasi ditujukan untuk: 1) menjamin pergerakan barang dengan bebas dan 2) kompetisi yang fair serta 3) memperbaiki keselamatan dan 4) kerusakan infrastruktur jalan serta 5) enerji yang efisien, emisi nol, kabin aerodinamis dan 6) fasiltas untuk antar moda. Jelas bahwa kebijakan di Eropa tentang HDV (ODOL) bukan hanya keselamatan akan tetapi juga keekonomian dan lingkungan dari tinjauan nasional.
Secara konkrit arah kebijakan yang akan dilakukan negara maju tersebut atas HDV/ODOL adalah untuk menghapus hambatan peraturan dan teknis dan memberikan insentif untuk penggunaan teknologi nol-emisi dan perangkat hemat energi di sektor HDV; memfasilitasi operasi antar moda; mengklarifikasi aturan tentang penggunaan HDV yang lebih panjang dan/atau lebih berat dalam operasi lintas batas; membuat penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien. (https://ec-europa eu. translate. goog/commission/ presscorner /detail/ en/qanda233770?xtrsl=en&xtrtl= id&xtrhl= id& xtrpto =sc &xtrhist=true).
Atas kebijakan tersebut, beberapa hal yang akan dievaluasi ulang oleh pemegang kebijakan di Eropa, yaITU: 1) Panjang dan berat akan dinaikkan untuk fasilitas antar moda. 2) Proses permohonan izin akan disederhanakan. 3) Kontrol minimum dengan penimbangan dan deteksi ketika kendaraan bergerak. 4) HDV nol emisi (aerodinamis, mesin lebih ringan dsb), 5) batas berat akan ditambah 4 ton, dari 40 ton menjadi 44 ton.
Semua langkah ini diharapkan dapat mengurangi konsumsi energi sebesar 12 juta ton setara minyak selama periode 2025-2050.
Kebijakan tersebut akan dituangkan dalam regulasi yang diarahkan pada peningkatan teknis dan monitoring yang menjamin keselamatan seluruh pengguna jalan, sehingga HDV dapat beroperasi secara aman dan efisien. Menggunakan teknologi digital diarahkan untuk meningkatkan kapasitas antar kota dan menghindarkan dari pengguna jalan yang rentan seperti pejalan kaki dan pesepeda. Teknologi elektronika diarahkan menggunakan Sistem Keselamatan, dioperasikan oleh pengemudi yang lebih ahli, terlatih dan berpengalaman dan memperbaiki seluruh aspek keselamatan, serta keharusan menggunakan Sistem Rem Darurat, Kamera Samping dan sistem agar kendaraan tetap pada jalurnya .
KESIMPULAN
Pertama, Banyak sekali Peraturan Perundangan terkait ODOL dan tumpang tindih pengaturan dan penanggungjawab diantara peraturan perundangan tersebut. Perlu evaluasi dan atur kembali semua regulasi terkait ODOL. Pertimbangkan merevisi UU LLAJ No. 9 Tahun 2009 tentang LLAJ dan PP No. 30 Tahun 2021 serta merevisi peraturan perundangan lainnya agar mengarah pada tanggungjawab yang jelas serta mempertimbangkan aspek pengurangan emisi, dan peningkatan berat dan muatan kendaraan.
Kedua, Pemangku kepentingan ODOL pada dasaranya terbagi dalam dua golongan besar, yakni pihak yang ingin segera melakukan penertiban ODOL dan pihak yang mengharapkan berbagai kebijakan yang mengarah pada penurunan biaya angkutan dan logistik (yang memang tinggi). ODOL sulit untuk ditertibkan karena adanya motif keekonomian dari industri pengguna ODOL, pemilik kendaraan dan juga pengemudi.
Ketiga, Pemegang kebijakan hanya menitikberatkan pada penegakan hukum untuk mengurangi biaya kerusakan infrastruktur, kemacetan dan keselamatan. Tanpa memperhatikan bahwa akar masalah dari tidak dapat ditegakkan hukum yang berlaku karena tuntutan keekonomian, seharusnya dicari pencarian solusinya dari sisi ekonomi. Kerugian ekonomi karena tidak ada ODOL ternyata lebih besar dibanding akibat yang ditimbulkan oleh adanya ODOL.
Keempat, Banyak negara antara lain Eropa dan India justru menetapkan kebijakan untuk meningkatkan daya angkut truk dan kesesuaiannya untuk angkutan antar moda, dengan meningkatkan tekanan gandar jalan, teknologi kendaraan yang lebih ringan, mengurangi emisi secara terpadu dan sebagainya. Juga kebijakan rekayasa kendaraan, misalnya penggunaan komponen yang lebih ringan, penggunaan EV, tambahan as roda dan sebagainya yang juga sekaligus menekan emisi karbon.
Kelima, bahwa ODOL merusak jalan dan membahayakan keselamatan memang terjadi, namun sebenarnya jumlahnya tidak signifikan. Kebijakan peningkatan daya angkut truk tidak berarti mengurangi tindakan penegakan hukum. Pelanggaran atas batas muat tetap harus ditindak sesuai peraturan yang berlaku.
Keenam, Banyak K/L yang seharusnya berperan besar dalam penanganan ODOL, namun tidak dilakukan seperti yang seharusnya.
Ketujuh, jika Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah dan Kementerian Koordinator Perekonomian tidak dapat memformulasikan peraturan perundangan untuk ODOL, mau tidak mau harus diterbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden supaya dapat berlaku secara multi sektoral dengan menggunakan Road map sebagai dasar pembuatan POP atau Perpres tentang ODOL.
APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN
Pertama, Periksa dan atur kembali regulasi tentang ODOL, Pertimbangkan merevisi UU LLAJ No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ dan PP No. 30 Tahun 2021 serta mengevaluasi peraturan perundangan lainnya yang terkait dan mengarah pada tanggungjawab yang jelas serta mempertimbangkan aspek pengurangan emisi, serta peningkatan berat dan muatan kendaraan.
Kedua, lakukan perhitungan menyeluruh dengan seksama atas kerugian karena penggunaan ODOL dengan kerugian karena tidak ada lagi ODOL. Evaluasi perhitungan ekonomi secara keseluruhan, berapa berat kendaraan beserta muatannya yang paling efisien secara ekonomi. Efisien dan paling ekonomis yang dimaksud adalah dengan memperhitungkan efisiensi biaya logistik dibanding biaya perbaikan kerusakan jalan sehingga tidak ada lagi pro kontra pengoperasian ODOL.
Ketiga, Kebijakan pemberian izin terbatas atas pelampauan batas kendaraan dan muatan oleh Satu Otoritas dengan membayar resmi dan masuk kas negara.
Keempat, Modernisasi Sistem Informasi ODOL dengan teknologi berbasis digital secara nasional dengan membangun Data Centre yang terhubung dengan sistem pada Jembatan Timbang, Kamera dan Pintu Pemantauan. Sistem Identifikasi dan Registrasi Truk Nasional serta digabungkan dengan system di Jalan Raya lainnya, misal digabungkan dengan rencana pelaksanaan Multi Lane Free Flow (MLFF) dan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) jika jadi dilaksanakan dan terhubung dengan Sistem Perizinan terbatas atas truk yang melampaui batas dimensi dan berat muatan.
Kelima, Secara bertahap ditetapkan satu Road Map yang jelas dan berisikan semua rencana K/L, sebagaimana disebutkan disertai kerangka waktunya. Penindakan ODOL dilaksanakan dengan tegas sesuai tahapan yang ditetapkan dalam Road Map tersebut
Keenam, Saat ini pad Kabinet Merah Putih ada Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (Kemenko ISPW) yang membawahi Kementerian: Perhubungan, PU, ATR/BPN, Transmigrasi, dan Perumahan. Dua Kementerian yakni: Perhubungan dan PU adalah Kementerian utama yang menangani ODOL sehingga tepat apabila masalah ODOL ”diangkat” menjadi isu yang harus diselesaikan oleh Kemenko ISPW.