
CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK
“SEKALI LAGI TENTANG ODOL, “HARMONISASI KESELAMATAN DENGAN EFISIENSI LOGISTIK”
Kendaraan Truk Over Dimension, Over Load (Odol) sudah berkali-kali dan bertahun-tahun dibahas. Kebijakan atas Odol sudah pula berulangkali diidentifikasikan, diformulasikan dan telah diadopsi menjadi serangkaian regulasi. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa agenda kebijakan untuk menghilangkan Odol adalah suatu isu yang amat penting untuk menjadi prioritas, karena menyangkut kerugian yang amat besar atas kerusakan jalan dan kerugian yang tidak ternilai karena menyangkut keselamatan dan korban kecelakaan.
Namun demikian agenda kebijakan publik untuk menghilangkan Odol ini belum juga dapat diimplementasikan dengan baik, karena masih banyak Truk Odol di jalan. Masih banyak kecelakaan yang disebabkan Truk Odol. Hal ini dapat diidentifikasikan sebagai adanya keengganan pada sebagian pihak yang akan dirugikan dengan adanya penertiban Odol. Kerugian yang akan terjadi karena penertiban Odol memang akan meningkatkan biaya logistik karena diperlukan lebih banyak truk, lebih banyak pengemudi sehingga biaya logistik akan meningkat, inflasi meningkat. Biaya Logistik di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Perlu dilakukan evaluasi atas kebijakan yang telah diambil, dengan prinsip agar tidak terjadi “less for more”, dimana sedikit mengurangi Odol akan tetapi banyak meningkatkan biaya logistik yang berakibat besar pada perekonomian Indonesia.
Diperlukan formulasi ulang kebijakan agar dapat sebanyak mungkin mengurangi Odol dan sedapat mungkin tidak meningkatkan biaya logistik. Dapat pula dipertimbangkan judul kebijakan bukan “Zero Odol”akan tetapi “Harmonisasi keselamatan dan efisiensi logistik” sehingga memberikan nuansa yang lebih didukung oleh dunia usaha dan sesuai dengan Program Prioritas pada RJPMN, yakni “Optimalisasi Backbone Integrasi Ekonomi dan Perkuatan Sistem Logistik Nasional” Dengan tambahan tetap harus mendahulukan keselamatan
Evaluasi Kebijakan
Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Kewilayahan (ISPW) pada tanggal 23 Mei 2025 telah melakukan Rapat Koordinasi berbagai pihak Kementerian/Lembaga (K/L) yang berfungsi dan ikut bertanggungjawab atas penanganan Odol. Rapat antara lain diikuti oleh: Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jasa Marga, dan Korlantas-Polri. Pada rapat tersebut telah disampaikan data terkait dengan Odol serta rencana tindakan yang akan dilaksanakan. Dari bahan pemaparan yang kami dapatkan dapat disimpulkan telah difahami bersama bahwa menghilangkan Odol adalah seperti trade off antara keselamatan transportasi dan pengurangan biaya pemeliharaan jalan dengan penurunan biaya logistik. Bahkan ada penelitian (ITL Trisakti 2022) bahwa jika dilakukan penertiban Zero Odol (Pada Januari 2023) maka akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena: penurunan kapasitas angkut, peningkatan jumlah kendaraan (60%), peningkatan kemacetan, peningkatan Biaya Operasional Kendaraan/BOK 150%), dan pada akhirnya harga komoditas yang lebih mahal yang membebani konsumen dan meningkatkan inflasi. Sehingga selayaknya dicari jalan keluar agar kedua tujuan dapat dicapai. Atas hal tersebut maka sebaiknya kebijakan diformulasikan ulang dengan tetap mengutamakan penurunan tingkat kecelakaan dan kerusakan jalan yang disebabkan oleh Odol akan tetapi juga memasukkan kebijakan tentang target penurunan biaya logistik, karena pada hakekatnya kerusakan jalan, kemacetan, kecelakaan juga andil di dalam meningkatkan biaya logistik.
Banyak rencana-rencana bagus dalam penanganan Odol yang juga telah menjadi rencana pada evaluasi penanganan Odol tahun-tahun sebelumya, seperti: optimasi alat ukur, alur kendaraan sesuai pengaturan kelas jalan, multi moda berbasis jalan rel, aspek ketenagakerjaan, insentif/disinsentif, pengukuran dampak ekonomi dan inflasi yang semuanya sangat baik apabila diimplementasikan. Namun pada kenyataannya kebijakan tersebut tidak diimplementasikan dengan efektif karena berbagai sebab.
Perkuatan Sistem Logistik Nasional adalah Target Bersama dan memerlukan tahapan untuk pencapaiannya
Sebagaimana disampaikan Kemenhub/Ditjen Perhubungan Darat pada Rapat Koordinasi di Kemenko Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah bahwa dalam RJPMN (Perpres 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029) “Optimalisasi Backbone Integrasi Ekonomi dan Perkuatan Sistem Logistik Nasional“adalah merupakan Program Prioritas. Juga telah difahami bersama bahwa program tersebut merupakan tanggungjawab bersama lintas Kementerian/Lembaga (K/L). Demikian juga hal nya dengan menghilangkan Odol adalah tugas dan tanggungjawab lintas K/L, sehingga kebijakan perlu dipadukan agar berjalan dengan efektif dengan suatu tahapan target yang disepakati dan didukung sepenuhnya oleh semua pihak, serta memadukan langkah masing-masing K/L untuk mencapainya.
Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan sudah seharusnya berdasar data yang sama dan akurat agar dapat dirumuskan dengan baik. Dari bahan rapat di Kemenko ISPW terdapat data yang yang berbeda sesuai kepentingan tugas masing-masing K/L. Dengan mengingat “kegagalan” implementasi sebelumnya, diperlukan data dan kebijakan yang lebih detil. Agar target bersama dapat dielaborasi oleh masing-masing K/L seyogianya disepakati data yang sama, misal: persen Truk Odol dari jumlah truk, persen truk OD dari Odol, persen truk OL dari Odol untuk menetapkan prioritas penangan kelebihan muatan atau perlunya teknologi peningkatan dimensi truk. Data persen masing-masing komoditi yang diangkut Odol dan persen komoditi yang diangkut dari kecelakaan Odol, misalnya dapat digunakan untuk menentukan apakah diperlukan tahapan penindakan dan prioritas Odol per komoditi. Data persen Odol di tiap Kelas Jalan dan Lokasi/rute, dapat digunakan untuk menentukan prioritas kelas jalan mana yang harus ditingkatkan dsb. Data pidana kejahatan over dimensi truk menunjukkan perlunya temuan teknologi peningkatan dimensi truk dengan berpegang pada keselamatan sehingga meningkatkan efisiensi biaya logistik, misal dengan tambahan gandar yang bisa diangkat ketika muatan kurang, atau dimensi yang sesuai untuk antar moda dsb.
Dari data yang disajikan pada Rakor tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa: Odol di Jalan Raya (Bina Marga, 76%) lebih banyak dibanding di Jalan Tol (Jasa Marga, 17.76%) sehingga dapat disimpulkan memang tekanan gandar Jalan Tol lebih tinggi dibanding Jalan Raya atau Truk Odol lebih banyak melalui Jalan Raya dibanding melalui Jalan Tol. Dalam hal yang terakhir maka tentunya kebijakannya adalah lebih menekankan peningkatan tekanan gandar Jalan Raya. Ditjenhubdat menyampaikan bahwa kecelakaan Odol banyak melibatkan komoditi AMDK, sementara data Jasa Marga menunjukkan andil komoditi AMDK “hanya” 9 persen, sementara komoditi Bahan Bangunan 25 persen dan Bahan Industri 22 persen. Data ini penting untuk memformulasikan tahapan kebijakan komoditi apa yang lebih diperketat untuk diangkut Odol setelah juga menghitung dampaknya terhadap biaya logistik. Data untuk menetapkan prioritas tahapan pengetatan larangan Odol untuk komoditi apa (Kemenhub), jalan kelas berapa dan dimana yang jalan yang harus lebih ditingkatkan dengan melihat origin dan destinasi komoditi tersebut, (Kemen PU), teknologi truk bagaimana yang dapat diterapkan untuk mengangkut komoditi tersebut sehingga tidak menjadi Odol dan biaya logistik lebih efisien (Kemenperin), pengawasan yang lebih ketat pada Odol jenis tsb (Polri, Dishub), tindakan penegakan hukum yang fokus Odol komoditi tersebut (Polri) dsb. Sementara itu dari data yang disampaikan K/L menunjukkan faktor terbesar penyebab kecelakaan adalah pengemudi, sehingga seharusnya ada tahapan rencana kebijakan untuk meningkatkan kemampuan dan persyaratan untuk mengemudikan Truk berat (Polri). Rencana kebijakan peningkatan kualifikasi pengemudi belum terlihat pada paparan di Rakor tsb
Implementasi Kebijakan
Banyak rencana implementasi berupa tindakan baru sebagaimana disampaikan pada Rakor tersebut, antara lain: Kemenhub/Polri; penguatan sistem IT antara lain penerapan WIM dan ETLE. Ditjenhubdat membagi rencana pada tiga klaster pengawasan, penegakan hukum dan evaluasi. Rencana semacam ini juga pernah disampaikan pada tahun-tahun sebelumnya. Kemen PU juga merencanakan kenaikan MST 12 Ton di lintas utama. Jasa marga merencanakan tambahan WIM dan integrasinya ke sistem Electronic Toll Collection (ETC)
Dalam Rakor tersebut juga telah direncanakan tahapan Rencana Aksi masing-masing K/L, antara lain: Kemenhub; Menetapkan rencana aksi dengan: sosialisasi, peringatan dan akan ditindak mulai Bulan Agustus Tahun 2025. Sementara Ditjenhubdat merencanakan Rencana Aksi Kemenhub: dimulai dengan adopsi kebijakan melalui SKB, mapping data, perbaikan data, integrasi fasilitas, penindakan (Zero Odol Juni 2026). Kementerian PU merencanakan kenaikan MST yang sebaiknya dilakukan bertahap dimulai pada lintas yang sesuai tahapan yang disepakati, misal: pada Jalan di rute yang banyak dilalui Odol komoditi terbanyak. Usulan lain dari Kemen PU pada pemaparan di Rakor tersebut justru lebih banyak menyampaikan tugas dan kewajiban K/L lain. Jasa Marga juga Polri juga telah merencanakan tahapannya mulai dari sosialisasi sampai penegakan hukum dengan Operasi Patuh, pemantapan data. Polri menyampaikan bahwa Odol harus dibedakan antara Overload sebagai tindak pidana pelanggaran dan Overdimension sebagai tindak pidana kejahatan disertai datanya yang memberi arah mana dahaulu yang seharusnya dihilangkan.
Usulan apa yang sebaiknya dilakukan
Pertama, Menata data yang sinkron dari semua K/L yang teribat dan melakukan evaluasi ulang atas dampak sosial ekonomi apabila tindakan zero Odol dilakukan dan juga dampak sosial ekonomi jika penertiban Odol apabila tidak dilakukan. Sementara ini data dampak Odol terhadap keselamatan dan kerusakan jalan telah sangat banyak
Kedua, Implementasi kebijakan akan melalui masa transisi dan bertahap. Hal ini sangat didukung namun akan lebih efektif jika tahapan yang direncanakan lebih spesifik dan berdasar data serta evaluasinya, misal: Tahap pertama dimulai dengan Odol bermuatan komoditi tertentu yang dampak ekonominya paling kecil tetapi andil pada keselamatan besar. Atau juga dimulai dari kelas jalan tertentu atau rute tertentu berdasar frekuensi Odol terbanyak. Dengan demikian pelaku usaha, pekerja dan pemangku kepentingan lain dapat merencanakan adaptasinya. Tahapan ini harus disepakati bersama dan diadopsi (Policy Adoption) dengan SKB dan akan sangat positif jika tahapan ini dibahas bersama dengan para pelaku usaha pemilik muatan, pemilik truk dan fihak terdampak lainnya
Ketiga, Pelaksanaan rencana baru yang strategis antara lain penindakan dengan penegakan hukum yang konsisten dan transparan, penerapan Weigh In Motion (WIM) digital yang transparan dan terintegrasi untuk mendeteksi Odol tanpa intervensi manusia, mengurangi praktik suap dan memastikan keadilan. Integrasi dengan ETLE, ETC dan dashboard. Perlu dipertimbangkan adanya perizinan pelampauan batas secara elektronik dan terintegrasi dengan sistem pemantauan secara keseluruhan
Keempat, Rencana tindakan yang telah dibuat selama ini dan berkali-kali ditencanakan hendaknya benar-benar dilaksanakan, dimonitor dan dievaluasi. Rencana tersebut antara lain adalah: Sanksi tegas bagi pelanggar ODOL, baik pengemudi maupun perusahaan sesuai tahapan sebagaimana disampaikan di atas, perkuatan jembatan timbang, memberikan insentif fiskal (seperti subsidi leasing armada baru yang patuh aturan atau insentif pajak) kepada pelaku logistik yang beralih dari praktik Odol. Pengembangan dan Integrasi multimoda, penggunaan moda transportasi berbasis Jalan Rel dan laut untuk angkutan barang dalam jumlah besar. Membangun Terminal Logistik yang terintegrasi dengan Pelabuhan dan Stasiun KA Barang. Peningkatan Efisiensi Rantai Pasok. Mendorong konsolidasi logistik atau shared fleet di antara UMKM logistik agar mereka bisa berbagi armada dan rute, sehingga lebih efisien meskipun tidak menggunakan Odol. Menerapkan teknologi dalam manajemen logistik untuk optimasi rute, penjadwalan, dan kapasitas muatan. Peningkatan Infrastruktur Jalan dsb
Jakarta, Juni 2025