KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK INTEGRASI TRANSPORTASI JABOTABEK DENGAN MEMBENTUK MITJ ADALAH SIMPLIFIKASI PERSOALAN YANG SEJATINYA KOMPLEKS

KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK INTEGRASI TRANSPORTASI JABOTABEK DENGAN MEMBENTUK MITJ ADALAH SIMPLIFIKASI PERSOALAN YANG SEJATINYA KOMPLEKS

Oleh: Edie Haryoto, PH&H, Publik Policy Interest Group

 

A. PENDAHULUAN

Pelayanan Publik boleh dikatakan merupakan indikator utama bahwa negara hadir untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab mendasarnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat atas kualitas kehidupannya baik individu maupun sosial. Kewajiban pelayanan publik adalah tuntutan rakyat atas mandat yang diberikan rakyat kepada pemerintah melaui pemilu dan pembayaran pajak

Transportasi yang lancar, aman dengan tarif yang terjangkau adalah salah satu bagian dari pelayanan publik yang sangat diharapkan rakyat. Transportasi merupakan komponen dalam peningkatan kualitas kehidupan rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Berbagai perubahan saat ini yang di dunia bisnis dikenal dengan VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) saat ilni telah memaksa transformasi menyeluruh birokrasi pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat dan membuka masuknya investasi. Untuk dapat mengatur pelayanan publik dan adminisitrasi negara dalam penyelenggaraannya walaupun harus sefleksibel mungkin namun tetap harus mengindahkan kaidah pemerintahan yang baik (good governance) dengan praktek yang sehat (sound practice) serta serta akuntabel dan auditable. Tidak asal lincah dan luwes.

Transportasi di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) atau boleh kita sebut Greater Jakarta, telah mengalami banyak perbaikan, dari semula angkutan KRL (Kereta Rel Listrik) Jabotabek yang padat penumpang sampai ke atap telah mengalami banyak perbaikan terutama setelah dibentuknya anak perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI) dengan mendirikan Kereta Comuter Indonesia (KCI) yang sebelumnya Kereta Comuter Jakarta (KCJ). Dari semula Bus PPD dsb menjadi Trans Jakarta (Busway). Juga telah beroperasi Mass Rapid Transit-Moda Raya Terpadu Jakarta (MRTJ) dan akan diikuti segera dengan  Light Rail Transit-Lintas Rel Terpadu (LRT). Sistem Tiket Terpadu Jaklingko dan masih akan terus berkembang dengan berbagai inovasi pelayanan lainnya

Pada saat ini publik sedang dihebohkan dengan akan (atau telah) dibentuknya Perusahaan yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan angkutan di Jabotabek. Yang bernama Multi Intermoda Transportasi Jakarta (MITJ), dan diberitakan bahwa Pemegang Saham MITJ adalah KAI (49%) dan MRTJ (51%). Kehebohan adalah pada isu utama bahwa KAI jauh lebih besar dibanding MRTJ, karena angkutan KCI juga jauh lebih besar volumenya dibanding MRTJ, demikian pula asset yang dimilikinya.

Integrasi angkutan di jabotabek untuk peningkatan pelayanan publik jelas kebijakan publik yang amat baik dan strategis, namun apakah pembentukan MITJ merupakan praktek birokrasi pemerintahan yang baik selayaknya dianalisis lebih lanjut dalam tulisan ini

B. KEBIJAKAN PUBLIK PEMERINTAH UNTUK MENGINTEGRASIKAN ANGKUTAN JABOTABEK TELAH SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA UNTUK MEMENUHINYA

Diberitakan bahwa pada Rapat Terbatas Kabinet telah diarahkan bahwa diperlukan pengintegrasian Angkutan Publik di Jabotabek dengan:

  • Tujuan
    Mengurangi kerugian Negara yang besar karena kemacetan Jabotabek (Rp 65 triliun per tahun) dan pengintegrasi Moda Transportasi (MRT, LRT, Trans Jakarta, KA Bandara) di Jabotabek
  • Arah
    Meningkatkan transportasi masal dan penggurangan kendaraan pribadi
    Integrasi sistem dan manajemen angkutan Jabotabek (akses angkutan publik melalui Transit Oriented Development-TOD yang dikelola terpadu, penyederhanaan manajemen, dan penyatuan otoritas transportasi di Jabotabek

Tujuan dan arah kebijakan publik yang ditetapkan jelas sangat baik dan sesuai dengan tujuan pelayanan publik untuk memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas kehidupannya. Angkutan terintegrasi yang nyaman, selamat, aman dan lancar melaui sistem yang terintegrasi baik dari sisi tiket, tarif kemudahan antar moda dan sebagainya jelas sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat greater Jakarta. Namun demikian apakah tujuan dan arah yang ditetapkan tersebut diikuti dengan mengindahkan kaidah pemerintahan yang baik (good governance) dengan praktek yang sehat (sound practice) serta akuntabel dan auditable dan sesuai yang diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku masih memerlukan analisis lebih lanjut

C. LANGKAH YANG AKAN DIAMBIL PEMERINTAH

Berdasar informasi dari berbagai sumber untuk dapat melaksanakan Tujuan dan Arah yang telah ditetapkan pemerintah akan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

  • Sebagian saham Negara di KAI/KCI akan diberikan diberikan ke Pemda DKI
  • MRT West-East dengan pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan DKI, 49%-51%
  • Penyederhanaan pengelolaan transportasi berkoordinasi (joint) antara: DKI, Jabar, Banten
  • Pengelolaan satu otoritas dan satu manajemen
  • BPTJ yang tidak powerfull diserahkan saja ke DKI
  • DKI akan memperoleh pendapatan yang cukup sehingga tidak terkendala anggaran
  • Moda transportasi, seperti: Kopaja, Trans Jakarta, LRT, KA Bandara, MRT, dan KA Cepat terintegrasi
  • Perizinan satu pintu

Langkah-langkah yang akan diambil tersebut sejatinya merupakan hal yang rumit dan kompleks, dan seharusnya mempertimbangkan, antara lain: Peraturan Perundangan yang berlaku yakni Undang Undang No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU transportasi lain yang terkait beserta peraturan pelaksanaannya; Mempelajari bagaimana kota besar lain di dunia mengatur integrasi transportasinya; Instansi mana yang akan bertindak sebagai regulator dan bagaimana dengan BPTJ yang diharapkan dapat mengintegrasikan transportasi di Jabotabek

D. LANGKAH DALAM MELAKSANAKAN INTEGRASI ANGKUTAN JABOTABEK PERLU MENGINDAHKAN BEBERAPA PERATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU

Terdapat beberapa peraturan perundangan yang harus mendapat perhatian dalam melaksanakan langkah strategis untuk memenuhi tujuan pengintegrasian Jabotabek tersebut, yakni antara lain:

  • Undang-Undang Perkeretaapian No 23 Tahun 2007, yang antara lain adanya pemisahan (fisik ataupun akunting) antara prasarana dan sarana perkeretapaian antara lain dengan adanya: Infrastructure Maintenance and Operation (IMO), Track Access Charges (TAC), serta Kewajiban Pelayanan Publik, Publik Service Obligation (PSO) serta peraturan perundangan turunan dari UU tersebut. Implikasi dari peraturan perundangan ini berdampak luas pada pelaksanaan pengintegrasian transportasi Jabotabek yang berbasis jalan rel. Institusi mana yang memiliki dan mengoperasikan jalan rel (KAI, MRTJ?) dan yang mengoperasikan sarana (KCI, MRTJ?) serta stasiun. Bagaimana dengan PSO yang hanya dapat diberikan ke BUMN (KAI). Pelaksanaan atas hal-hal ini berdampak signifikan pada opsi pengintegrasian transportasi Jabotabek
  • Peraturan Presiden No 83 Tahun 2011, yang menugaskan KAI untuk menyelenggarakan (pembangunan, pengoperasian, perawatan, pengusahaan) prasarana dan sarana KA Bandara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jabodetabek, dengan pendanaan diusahakan KAI bukan APBN dan APBD. Dapat bermitra dengan mengikuti kaidah bisnis yang baik dengan: BUMD DKI Jakarta, Jabar dan Banten. Dapat dibuat Nota Kesepahaman antara KAI dan Pemda untuk dukungan: pembangunan perlintasan tidak sebidang; penataan area sekitar stasiun; koordinasi antar moda; penetapan peraturan tata ruang dan tata guna lahan untuk pengembangan stasiun yang telah ada dan baru; dan akses ke stasiun dan pengembangan lainnya serta pembinaan Menhub untuk teknis sarana dan prasarana serta Men BUMN untuk korporasi. Berdasarkan Perpres ini jelas kiranya bahwa KAI yang diberi penugasan tersebut. Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut apakah Perpres ini dijalankan? Jika tidak apa kendalanya? Bagaimana arahan Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN untuk melaksanakan penugasan ini? Dan banyak pertanyaan lainnya yang berintikan kebijakan apa yang telah ditetapkan Kementerian serta apa yang dilaksanakan oleh KAI
  • Peraturan Presiden No 103 Tahun 2015 tentang Badan Pengelola Transportasi Jabotabek (BPTJ), Pemerintah pada dasarnya sejak tahun 2015 sudah bertekad akan mengintegrasikan angkutan Jabotabek dan dimulai dengan membentuk BPTJ dengan tugas: Dalam rangka penyelenggaraan sistem transportasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi secara terintegrasi dibentuk Badan Pengelola Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Badan Pengelola Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mempunyai tugas mengembangkan, mengelola, dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan menerapkan tata kelola organisasi yang baik. Fungsi BPTJ: koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi rencana, anggaran, manajemen terintegrasi; rekomendasi perencanaan, perizinan transportasi Jabodetabek, koreksi dan sanksi pelanggaran RITJ

Dengan adanya kebijakan saat ini yang akan mengintegrasikan angkutan Jabotabek (lagi) maka patut diduga bahwa pembentukan BPTJ tidak berhasil. Perlu dievaluasi secara mendalam dan komprehensif mengapa pembentukan BPTJ tidak berhasil mengintegrasikan angkutan Jabotabek

Secara singkat berikut disampaikan beberapa gambaran umum tentang model regulator dan operator tarnsportasi publik di beberapa kota besar dunia sebagai berikut:

  • Greater Tokyo

Jalur KA di greater Tokyo meliputi 158 jalur, 48 operator, 4,714.5 Km track KA, 2,210 stasiun. Operator KA juga operator bus, tram, monorail, LRT. Jaringan dikelola sebagai satu jaringan KA. Angkutan ini merupakan angkutan utama di Tokyo. Penggunaan mobil dan motor jauh di bawah angkutan publik ini.

  • Greater London

Transportasi London dioperasikan oleh Transport for London (TfL) sebagai holding company yang mengoperasikan berbagai moda transportasi, rel, bus, tram, ferry dsb. Untuk yang berbasis rel, operator adalah: London Underground, Docklands Light Railway, London Overground/National Rail, Tramlink dsb. Heavy Rail untuk intercity, airport, sub urban dioperasikan oleh British Rail

  • Greater Paris

Transportasi underground Paris (Metro) dioperasikan oleh The Métro dioperasikan oleh Regie Autonome des Transport Parisiene (RATP), a publik transport authority, dan Eole, Meteor.  Dan untuk Sub-Urban dioperasikan oleh RER yang asalnya adalah bagian dari SNCF (Persh KA Prancis)

  • Greater Berlin

Transportasi KA di Berlin dioperasikan U-Bahn (KA urban ebagian besar underground) dioperasikan oleh BVG, S-Bahn (Sebagian besar Sub-Urban) dioperasikan Deutsche Bundesbahn (DB), dan Intercity dioperasikan DB

F. REGULATOR TRANSPORTASI JABOTABEK DAN BPTJ

Sementara sesuai informasi yang ada integrasi transportasi Jabotabek dipertimbangkan untuk mengarah pada model transportasi Greater London yang dioperasikan oleh Transport for London (TfL) yang merupakan: perusahaan publik berupa holding company, membawahi 14 perusahaan operator transportasi kereta api, tram, bus, jalan raya, angkutan sungai dan bandara. Mengonsolidasikan laporan keuangan holding antara lain untuk pengajuan PSO. TfL juga mengatur tarif dan pendapatan

Apabila akan mengikuti model TfL tentu banyak hal yang perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut, antara lain: Apakah MITJ juga holding company? Melihat apa yang telah dilaksanakan MITJ lebih mirip merger atau akuisisi. Apakah MITJ sebagai korporasi juga dapat mengatur tarif seperti Tfl? Semestinya tidak karena tarif sementara ini ditetapkan oleh regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Apakah MITJ juga akan berfungsi sebagi regulator perizinan operasi dimana kewenangan tersebut sebagian dimilik Tfl? Sepertinya tidak karena regulator operasional saat ini merupakan kewenangan instansi pemerintah yakni: Kementerian Perhubungan, Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta dan juga sebagian oleh BPTJ. Lalu bagaimana dengan kewenangan BPTJ, dan masih banyak pertanyaan lain yang seharusnya telah menjadi pertimbangan dalam menetapkan langkah strategis yang akan diambil di dalam penyelenggaraan integrasi transportasi  Jabotabek

BPTJ saat ini memang merupakan institusi yang “tanggung” yakni diberi tugas untuk menintegrasikan transportasi Jabotabek namun tidak diberi kewenangan yang mencukupi. Secara sederhana saja bagaimana mungkin institusi di bawah Kementerian Perhubungan ini mengatur atau meregulasi transportasi yang kewenangannya saat ini di bawah tiga Gubernur Propinsi dan hanya sebatas memberi rekomendasi atas perencanaan dan perizinan

G. PEMBENTUKAN MITJ ADALAH SIMPLIFIKASI DARI PERSOALAN PENGINTEGRASIAN YANG KOMPLEKS

Belum didapat informasi yang adekuat atas pembentukan MITJ ini, hanya sebatas dari informasi yang ada MITJ dibentuk dengan kepemilikan saham 51% Pemda DKI Jakarta melalui MRTJ dan 49% Pemerintah melalui PT KAI. MITJ akan mengelola TOD 72 setasiun di DKI Jakarta, mengoperasikan KA Bandara, KA Komuter loopline dan pembangunan KA elevated line. Dari informasi minimal itu saja sudah mengundang banyak pertanyaan antara lain:

  • Sepanjang MITJ hanya beroperasi di dalam wilayah DKI saja maka dapat diklasifikasikan sebagai urban transport, sementara yang Sub-Urban apakah tetap dioperasikan KCI ?
  • Pembentukan MITJ terkesan fokus pada komersialisasi setasiun bukan pengintegrasian moda transportasi
  • Angkutan KCI Komuter jauh lebih besar dibanding MRTJ baik operasi, volume maupun aset, sehingga semestinya secara korporasi saham KAI/KCI lebih besar. Mengapa justru MRTJ yang lebih besar?
  • Dengan saham MRTJ yang lebih besar apakah berarti dimaksudkan agar Pemda DKI menjadi powefull, sebagai Owner (pemegang saham mayoritas), Operator (BUMD) dan sekaligus Regulator (Dishub)?

H. DAMPAK PEMBENTUKAN MITJ YANG AKAN TERJADI

Dengan sebatas informasi yang kurang adekuat tersebut saja sudah banyak menimbulkan pertanyaan dan telah dapat dilihat dampak atas Langkah pembentukan MITJ tersebut, antara lain:

  • 72 setasiun yang akan dioperasikan MITJ sebagian diantaranya juga Stasiun KA Sub Urban, dan Stasiun intercity sehingga akan menimbulkan ekses a.l: Pendapatan KCI akan berkurang dan akan menjadi beban APBN melalui skema PSO. Ini perubahan perimbangan keuangan pusat dan daerah
  •  Keterpaduan angkutan urban Jabotabek bisa menjadi ketidakterpaduan angkutan urban dan sub urban greater Jakarta serta long distance train
  • Dampak pada Financial Performance Korporasi sesuai PSAK (a.l : MITJ tidak masuk dalam laporan Keuangan Konsolidasian KAI)
  • MITJ bukan holding company seperti TfL, RMV dan bukan pula perusahaan individual yang diatur satu regulator
  • Mengabaikan peraturan perundangan yang berlaku: UU Perkeretaapian No 23/2007, Perpres 83/2011 Penugasan KAI untuk Prasarana KA Jabotabek dan Bandara

I. TINDAKAN YANG PERLU DIAMBIL

Tujuan dan arah pemerintah menetapkan kebijakan untuk pengintegrasian transportasi Jabotabek adalah hal yang strategis dan bermanfaat besar untuk publik, namun demikian tindakan pertama untuk mendirikan MITJ adalah langkah yang terlalu menyederhanakan persoalan yang kompleks di dalam pengintegrasian transportasi Jabotabek. Untuk itu seyogianya Pemerintah melakukan evaluasi atas:

  • Pembentukan MITJ dengan memperhatikan peraturan perundangan yang ada, a.l: Perpres 83 Tahun 2011 tentang Penugasan KAI, Perpres 103 Tahun 2015 tentang BPTJ dan juga UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan PP terkait
  • Perlunya pemisahan Regulator, Owner dan Operator. Satu Regulator yang kuat dengan banyak operator yang patuh juga merupakan pilihan pengintegrasian, misalnya perkuatan BPTJ
  • Pengintegrasian tidak hanya Urban Transport Railway namun seharusnya juga pengintegrasian dengan Sub Urban Rail dan Intercity Rail, juga antar moda (Bus, LRT, Angkot, taxi dsb)
  • Pilihan aksi korporasi untuk lebih integrated, a.l: holding company, atau sekedar PKS tidak harus akuisisi antar operator
  • Motif akusisi KCI lebih mengutamakan adanya peluang bisnis di TOD Setasiun dan pengembangannya dibanding dengan pengintegrasian transportasi berbasis jalan rel serta dukungan pendanaan Pemda DKI Jakarta
  • Mengambil langkah-langkah sebagaimana yang seharusnya dilakukan, yakni:
    • Adakah ruang untuk subsidi/PSO dari APBN dan atau APBD, berapa besarnya, karena pada umumnya hampir semua transportasi publik di dunia memerlukan subsidi dan atau PSO
    • Evaluasi legislasi peraturan perundangan yang ada apakah dapat mendukung langkah yang telah, tengah dan akan diambil
    • Mulai dari Sebagian dahulu (piloting)
    • Proyeksi permintaan atas angkutan, suplai yang harus disediakan, renncana jaringan dan moda serta relasi antar modanya
    • Kalkulasi Investasi, pendapatan dan biaya serta kemungkinan perubahan disain jaringannya
    • Definisikan paket-paket rute yang akan direncanakan
    • Untuk transparansi, kompetisi dan pelayanan sebaiknya dilakukan tender dan kontrak antar operator transportasi, untuk itu hendaknya dilakukan: Elaborasi standar kontrak antara owner dan operator serta rencana tender paket-paket rute
  • Untuk dapat melaksanakan hal tersebut di atas diperlukan bantuan konsultan/advokasi dari pihak yang kompeten, antara lain di bidang: Kebijakan publik dan advokasi ke pemegang kebijakan, perencana transportasi yang kompeten di bidang peramalan, jaringan dan integrasinya serta legal advisory

Leave a Comment