Pemerintah akan melanjutkan rencana yang selalu tertunda sejak Tahun 2018 untuk mengenakan cukai plastik pada Tahun 2024 ini. Dalam Perpres 75/2023, cukai produk plastik dan minuman bergula dalam kemasan dinihilkan atau menjadi nol dari yang semula ditetapkan dalam Perpres 130/2022 sebesar Rp 980 miliar untuk cukai produk plastik. Untuk Tahun 2024 ditargetkan pemasukan sebagaimana ditetapkan dalam APBN yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2023 sebesar Rp 1.84 triliun.
Sebenarnya alasan-alasan penundaan pengenaan pada tahun-tahun sebelumnya masih sama dengan Tahun 2024 ini, sehingga seharusnya jika alasan-alasan untuk menunda pengenaan cukai plastik tahun-tahun sebelumnya belum ada solusinya maka sebaiknya juga tidak perlu dimasukkan pada APBN karena apabila dikenakan akan tertunda lagi. Tujuan utama pengenaan cukai plastik tentu untuk mengurangi sampah plastik demi perbaikan lingkungan hidup, sedangkan perbaikan lingkungan hidup banyak cara lain yang diperkirakan lebih efektif misalnya dengan kebijakan, regulasi, strategi dan implementasi atas program R3 (Reduce, Reused, Recycle), ekonomis sirkular, EPC dsb. Diperkirakan penerapan cukai plastik akan lebih banyak menimbulkan kehilangan pendapatan negara dan dampak negatif pada perekonomian dibanding peningkatan pendapatan dari cukai plastik.
Efektivitas Pengenaan Cukai Plastik untuk Pengurangan Sampah Plastik
Prinsip dasar pengenaan cukai sesuai dengan UU No. 39 Tahun 2007 adalah untuk barang-barang tertentu yang; konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif pada masyarakat dan lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Dalam hal rencana kebijakan pengenaan cukai atas plastik kemasan adalah untuk mengurangi sampah plastik, akan tetapi mamin yang dikemas dengan kemasan plastik jauh dari kriteria cukai, di samping itu juga banyak cara lain untuk mengendalikan sampah plastik (R3, EPR, ekonomi sirkular dsb). Program Reduce, Reuse, Recycle, Extended Producers Responsibility (EPR), dan ekonomi sirkular akan lebih efektif untuk pengurangan sampah plastik. Kebijakan pengenaan cukai plastik akan akan menaikkan biaya produksi, menaikkan harga, mengurangi demand sehingga tidak pro pada industri. Apalagi jika impor produk dengan kemasan plastik masih tetap diperbolehkan maka yang terjadi harga produk Indonesia naik karena cukai sehingga memilih produk impor. Di samping itu kebijakan ini dinilai tidak adil karena banyak produk yang jauh lebih berbahaya dibanding plastik akan tetapi tidak dikenakan cukai, misal: baterai.
Banyak Negara Juga Tidak Mengenakan Cukai Plastik atau Mengenakan Terbatas
Sebagian Negara Eropa mengenakan pajak untuk kemasan plastik hanya pada plastik yang tidak dapat didaur ulang, itupun belum semua negara Eropa menyetujui. Antara lain: Jerman, Prancis, Belgia belum mengenakan, Belanda mengenakan hanya untuk virgin plastic. UK hanya jika mengandung kurang dari 30 persen yang dapat didaur ulang; Spanyol dan Portugal hanya untuk plastik yang tidak bisa didaur ulang; Italia menunda pengenaan cukai plastik; Filipina, Irlandia, Portugal hanya untuk tas plastik; Singapura, Hongkong belum mengenakan; Norwegia menekankan pada recycle bukan cukai.
Diperkirakan Terjadi Penurunan Penerimaan Pajak dan Kenaikan Inflasi dengan Nilai Lebih Besar Dibanding Kenaikan Pendapatan Negara dari Cukai Plastik
Industri Makanan Minuman (Mamin) yang sebagian besar menggunakan kemasan plastik menyumbang 38.42% PDB Sektor Non Migas. Sedangkan Industri Non Migas menyumbang 19,62% PDB. Sehingga kontribusi Industri Mamin adalah 6.6% dari PDB merupakan jumlah yang besar. Selanjutnya studi menunjukkan bahwa elastisitas harga minuman lebih dari satu yakni, 1.76% (LPEM UI, 2012) sehingga kenaikan harga 1% (akibat pengenaan cukai) akan mengurangi permintaan 1.76%. Dampak atas angka tersebut sangat besar, karena kenaikan harga 1% akan mengurangi penerimaan pemerintah dari pajak mamin sebesar Rp 6,79 triliun. Kenaikan biaya produksi karena cukai juga akan menurukan lapangan pekerjaan sebesar 280 ribu jiwa (Studi INDEF). Studi lain (Dr. Eugenia Mardanugraha, Tinjauan Kebijakan Ekonomi Dampak Ekonomi Pengenaan Cukai Kemasan Plastik Botol Minuman di Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Juni 2016) pengenaan cukai akan berpotensi menurunkan permintaan minuman kemasan akibat dari kenaikan harga kemasan. Potensi penurunan tersebut ditaksir hingga mencapai Rp. 10.2 trilyun per tahun. Penurunan tersebut, akan menghilangkan penerimaan negara hingga Rp. 2,44 trilyun per tahun (PPN berkurang Rp 1 triliun dan PPH Badan berkurang Rp 1.4 triliun). Penelitian di UI pada tahun 2016 pengenaan cukai pada minuman akan menghasilkan Rp 1.9 Triliun dari cukai sehingga pendapatan negara net justru berkurang Rp 500 miliar. Data BPS menunjukan pertumbuhan industri mamin mengalami kenaikan tipis 0,83% di 2021 setelah sebelumnya turun -2,13% ditahun 2020, akibat pandemi.
Kemasan plastik menurut Kementrian Keuangan memenuhi kriteria produk yang harus dikenakan cukai, sebagaimana diatur dalam UU. Namun Jika plastik kemasan industri pangan dikenakan cukai, artinya Pemerintah mendorong agar industri makanan dan minuman menggunakan kemasan lain. Kemasan lain tersebut misalnya: botol untuk minuman, alumunium foil untuk makanan dsb yang tentu akan menaikan harga produk pangan, karena kemasan baru tersebut menaikan harga pokok produksi. Kenaikan harga produk akan berakibat mengurangi konsumsi makanan dan minuman
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, mengatakan penarikan cukai plastik hanya akan berdampak negatif kepada pertumbuhan ataupun utilisasi industri dalam negeri yang sudah mulai bertumbuh saat ini, termasuk di dalamnya industri kecil menengah yang mencapai 99,7 persen dan industri makanan minuman yang jumlahnya hampir mencapai 1,68 juta unit usaha. Tiga dampak bila cukai dikenakan terhadap kemasan plastik minuman.
Pertama, konsumsi produk minuman akan berkurang dan berdampak pada perlambatan industri minuman dan industri plastik/kemasan plastik itu sendiri, apalagi hampir 70 persen produk minuman dikemas dalam plastik yang bisa didaur ulang.
Kedua, daya saing industri minuman nasional akan melemah. Hal ini juga terkait MEA, dengan pengenaan cukai maka industri minuman nasional tidak akan berdaya saing di pasar regional. “Pasar ekspor industri minuman kita ke Asean akan diisi oleh pesaing-pesaing kita sementara konsumsi dalam negeri cenderung turun. Ibaratnya sudah jatuh, tertimpa tangga.”
Ketiga pengenaan cukai ialah terjadi disharmonisasi kebijakan yang saat ini sedang disosialisasikan Pemerintah dan bahkan sudah diterapkan
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia (GAPMMI) melakukan simulasi dan hasilnya penerapan cukai dapat mempengaruhi kenaikan harga produk hingga 30%.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan Pemerintah
Pertama, evaluasi apakah mamin (isi dari kemasan plastik) sesuai dengan obyek cukai sebagaimana ditetapkan dalam UU Cukai No 39 Tahun 2007.
Kedua, Jika pengenaan cukai plastik untuk perbaikan lingkungan hidup perlu, maka perlu dilakukan evaluasi apakah lebih efektif dibanding program seperti: Reduce, Reuse, Recycle (R3), melarang penggunaan kemasan plastik sekali pakai Extended Producers Responsibility (EPR), Ekonomi Sirkular, kampanye pengurangan sampah plastik, mendorong inovasi dalam pengelolaan sampah plastik dsb yang digerakkan secara massif
Ketiga, Meneliti secara menyeluruh dampak pengenaan cukai plastik tersebut pada pendapatan negara, inflasi, dan perekonomian nasional dibandingkan pendapatan cukainya karena dari beberapa penelitian yang ada pengurangan pendapatan negara dari PPN dan PPH lebih besar dibanding penerimaan negara dari cukai
Keempat, Melaksanakan sebagaimana telah disampaikan oleh Dirjen Bea Cukai di media, bahwa “penerapan cukai selalu didasari pada banyak hal, mulai dari aspek kesehatan dan lingkungan hidup, serta iklim industri maupun daya beli masyarakat. Maka, dalam penerapan BKC baru itu disebut akan selalu memperhatikan aspek-aspek tersebut”
Kelima, evaluasi lagi klasifikasi plastik saat ini, yakni: kantong plastik, cukai kemasan dan wadah plastik, cukai diapers, serta cukai alat makan dan minum sekali pakai menjadi klasifikasi berdasar dampaknya terhadap lingkungan hidup, pendapatan negara dan perekonomian. Juga evaluasi kemudahan dalam implementasinya karena jika sulit diterapkan maka akhirnya terjadi distorsi dan ketidakadilan
Keenam, evaluasi keharmonisan kebijakan pengenaan cukai apakah tidak bertentangan dengan kebijakan lain seperti: pemberian tax incentives/tax holiday/tax allowance, Bea Masuk ditanggung pemerintah dsb yang dimaksudkan untuk peningkatan daya saing industri nasional
Ketujuh, menunda (lagi) penerapan cukai sebelum evaluasi sebagaimana disampaikan di atas dilaksanakan dan meneliti hasilnya
Kedepalan, Kebijakan pengenaan cukai plastik menyangkut banyak K/L, oleh karenanya pelaksanaannya harus dengan Peraturan Pemerintah (PP), sehingga kebijakan ini harus disetujui dahulu oleh semua K/L khususnya Kemenko Perekonomian, Kemenperin, Kemendag bahkan juga Kemenko Marinvest dan Kemenko Polhukham.
Jakarta, Maret 2024
Agus Pambagio, PH&H, Public Policy Interest Group