Pro dan Kontra atas disahkan dan diundangkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mewarnai situasi politik saat ini. Demo marak dimana-mana dan juga dengan beberapa tindakan yang anarkitis, yang diduga dan dituduh karena adanya penunggang dalam aksi demo tersebut.
Kebijakan Presiden Jokowi dan diamini oleh DPR sehingga menjadi UU Cipta Kerja secara keinginan, ide dan menjadi tujuan penyusunan UU tersebut adalah untuk meningkatkan investasi, menambah lapangan kerja, memacu pertumbuhan dan ekonomi, mengurangi regulasi dalam dunia usaha dsb, memang baik-baik saja. Arah yang dituju pada UU ini (politik hukum) jelas dan mudah difahami serta mudah pula disetujui. Kita sudah tahu, mendengar dan mengalami sulitnya birokrasi dalam dunia usaha, salah satu contoh yang penulis lihat dan alami hanya usaha penginapan kecil harus mengurus amdal yang bertele-tele untuk amdal dan memerlukan waktu lebih dari satu tahun. Saat Presiden mengumumkan deregulasi berusaha hanya terdengar beritanya karena tidak ada perubahan apa-apa di daerah. Keluhan pengusaha yang dengan waktu proses yang lama akhirnya mendapat izin usaha namun setelah akan mulai beroperasi didemo oleh masyarakat sekitar dan diduga juga didukung Pemda kecuali membayar “ganti rugi” kepada masyarakat setempat. Ada teman saya yang usaha permesinan dibangun sejak lulus kuliah sampai menjadi besar dan sekarang tutup karena tidak mampu bertahan dari tekanan Serikat Pekerjanya. Belum lagi cerita keluhan dari para investor asing untuk memulai usaha di Indonesia. Keluhan semacam itu sering terdengar dan memang benar adanya.
Persoalannya adalah pada kenyataan pengaturannya pada pasal-pasal di dalam UU tersebut sebanyak 186 pasal dalam 905 halaman. di dalam UU tersebut tidak seindah idenya (dalam bahasa hukum dikenal adanya: the devils is in the detail). Namanya UU Cipta Kerja akan tetapi mengatur segala hal, tidak hanya yang terkait dengan ketenagakerjaan akan tetapi hampir semua aspek dalam usaha, antara lain: perizinan berusaha, pemerintahan daerah, administrasi pemerintahan lainnya.
Jalur Cepat untuk Investasi dengan Menyingkirkan Kepentingan Lain
Sesuai namanya maka yang kita lihat dulu sebagai contoh untuk mengevaluasi detil dari pasal-pasal yang terkandung di dalam UU tersebut adalah mengenai pengaturan ketenagakerjaan. Ternyata pesangon diberikan dengan nilai lebih kecil dibanding pengaturan pada UU sebelumnya. Pengaturan lain adalah ditariknya sebagian kewenangan daerah menjadi kewenangan pusat. Juga dikuranginya persyaratan tentang dampak lingkungan. Namun apakah bijaksana jika mengabaikan kepentingan pihak lain pada pengaturan sebelumnya dan terkesan mengambil jalur cepat. Jalur cepat untuk dunia usaha tetapi dan menyingkirkan semua hambatan bahkan juga jalur cepat untuk memroses RUU nya menjadi UU, bahkan tampak jelas dengan cara menghalalkan segala upaya agar segera diundangkan. Mengabaikan konsultasi publik dan berbagai pihak. Agar pekerja tidak jadi hambatan lagi. Supaya usaha yang tidak berdampak besar pada lingkungan hidup tidak usah lagi direpotkan dengan studi amdal. Kewenangan daerah yang diperbesar dengan otonomi daerah pada era reformasi dimundurkan kembali. Kewenangan pemerintah pusat (baca presiden) menjadi semakin besar.
Proses Penyusunan undang-undang Pokoknya Segera Jadi
Proses penyusunan UU tentu melibatkan Presiden dan DPR, dan itu ada aturannya yakni UU No 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas mensyaratkan partisipasi semua fihak dari proses perencanaan sampai dengan pengundangan. Dari tahapan teknis peraturan sampai dengan negosiasi politik tentunya antar DPR dan Presiden dan antar fraksi. Proses yang seharusnya partisipatif terbuka dilaksanakan dengan seolah-olah terbuka. Pasal-pasal selundupan kabarnya cukup banyak. Rapat dipercepat. Mikrofon dimatikan dan sebagainya menunjukkan proses yang tidak benar-benar terbuka.
UU tentu berdasar asas manfaat. Pertanyaannya manfaat untuk siapa? Jika manfaat untuk dunia usaha, bermanfaatkah untuk kesejahteraan rakyat. Kalau sudah dimusyawarahkan dan dimufakatkan (kecuali fraksi yang tidak setuju bahkan walk out) sudahkah musyawarah mufakat tersebut berdasar hikmat kebijaksanaan ?
Apa yang dapat dilakukan secara legal untuk menghadang UU
Membatalkan atau setidaknya menunda berlakunya UU ini yang paling sederhana dan mudah adalah Presiden menerbitkan Perppu. Namun bukankah Presiden sendiri yang mempunyai ide dan memerintahkan penyusunan UU ini, jadi penyusunan Perppu seperti menjilat ludah sendiri. Dengan demikian lupakan cara Perppu
Cara berikutnya ajukan ke MK untuk uji materiil. Sesuai namanya yang diuji adalah pasal-pasalnya sehingga bisa jadi akan membatalkan pasal-pasal tertentu, atau uji formil yang diuji pada proses penyusunannya sehingga bisa membatalkan seluruh UU. Mungkin juga ada warna politik, politik hukum, tetapi setidaknya walaupun politik hukum, ada aturan-aturan bakunya, ada pembuktian-pembuktian dan dalil-dalil. Bukankah fungsi yudikatif adalah adalah melaksanakan kontrol atas legislatif dan eksekutif agar di jalan yang benar? Kalau proses uji ke MK itu tidak berjalan juga jangan salahkan yang berdemo, dan bukan sebaliknya. Perkara demo anarkis itu tentu hanya segelintir orang yang setuju dan mendukung. Jalan yang terbaik memang pengujian ke MK, mudah-mudahan ada yang mengajukan dan mudah-mudahan MK mengambil keputusan berdasar hikmat kebijaksanaan dan dengan keinginan luhur supaya berkehidupan kenegaraan yang bebas dari segala kepentingan
test