UU CIPTA KERJA, TUJUAN TIDAK DISANGSIKAN, PROSESNYA DIRAGUKAN

UU CIPTA KERJA, TUJUAN TIDAK DISANGSIKAN, PROSESNYA DIRAGUKAN

Diskursus tentang Omnibus Law masih terus ramai, dibahas di medsos dan juga memaksakan pemikirannya di jalanan. Golongan sebelah sini mengatakan alangkah mulianya tujuan dibuatnya Omnibus law, Undang Undang (UU) Cipta Kerja; kenaikan investasi, kenaikan lapangan kerja, memberantas peluang korupsi dan sebagainya dan seterusnya. Golongan sebelah sana mengatakan alangkah ngawurnya penyusunan dan pemrosesan Rancangan Undang-undang (RUU) sampai disahkannya UU Cilaka ini. Jumlah halaman yang berbeda-beda, sebelah sini mengatakan itu perubahan thypo, format kertas dsb, kubu sebelah sana mengatakan ada pasal akrobat. Kedua golongan sama ngototnya dan herannya keduanya sama benarnya. Tidak ada yang menyangsikan bahwa UU Ciptaker adalah UU kelas dewa. Sapu jagat. Memnggelar karpet merah untuk investasi para pemodal. Tapi juga sulit ditolak adanya bukti-bukti bahwa proses legislasi RUU dari inisiatif sampai dengan disahkannya menjadi UU, banyak hal yang menimbulkan berbagai pertanyaan karena kurangnya transparansi ke publik. Kita tidak membahas tujuan dibuatnya UU Ciptaker. Tujuannya luar biasa bagus, semua orang setuju. Yang akan kita bahas adalah apakah prosesnya sudah berdasar keinginan yang luhur, dalam hikmat kebijaksanaan. Karena sperti yang sering dibilang orang tujuan oke tetapi the devils is in the detail

Proses legislasi dengan kunci pada pembahasan bukan pada pengesahan
UUD 45 mengatur pembentukan UU dalam Pasal 20 bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang – Undang, berbeda dengan UUD 45 sebelumnya dimana Presiden yang membentuk Undang-Undang. Setiap RUU yang diproses ddi DPR harus dibahas bersama antara DPR dan Presiden. Maksud perubahan UUD jelas untuk menggeser fungsi legislasi dari Presiden ke DPR, namun Presiden tetap boleh menginisiasi RUU dan diajukan ke DPR. Selanjutnya jika telah disetujui bersama di sidang DPR, maka RUU akan di sahkan Presiden. Jika Presiden tidak menandatangani pengesahan RUU untuk menjadi UU, maka tiga puluh hari kemudian RUU tersebut tetap menjadi UU. Pengaturan yang masuk akal karena toh telah dibahas bersama antara Presiden dan DPR. Penandatanganan hanya seperti seremoni saja. Di negara dengan sistem presidensial, biasanya RUU diinisiasi dan dibahas di DPR lalu diajukan ke Presiden. Jika Presiden tidak setuju maka RUU tidak menjadi UU. Dengan demikian di Indonesia proses legislasi kuncinya adalah pada pembahasan. Jadi sebenarnya menggeser fungsi legislasi ke DPR itu tidak terjadi, bahkan justru presiden lebih kuat karena ikut serta dari pengajuan, pembahasan dan persetujuan. Kata kunci proses legislasinya bukan pada pengesahannya akan tetapi pada pembahasannya. Setelah hasil pembahasan disetujui bersama maka penandatanganan hanya bersifat administratif saja. Pengajuan ke Presiden dalam UU No 12 Tahun 2011 juga dibatasi hanya tujuh hari setelah pembahasan disetujui. Jadi jelas waktu tujuh hari itu hanya untuk masalah teknis penulisan RUU menjadi UU bukan untuk mengoreksi substansi pasal RUU. Pertanyaan mendasarnya sudahkah RUU Ciptaker ini dibahas dengan benar? Setelah itu, apakah benar yang sudah dibahas dan disetujui itu tidak terjadi perubahan lagi? Pertanyaan pertama apakah dibahas dengan benar sepertinya tidak terjadi, karena kebanyakan publik hanya seolah-olah dilibatkan untuk ikut berpartisipasi dari naskah akademis sampai RUU. Pertanyaan kedua lebih menarik karena ini yang banyak disorot publik. Apakah RUU final yang diminta tanda tangan ke presiden itu sama dengan RUU yang telah dibahas dan disetujui?

Akrobat redaksional tanpa control
Saldi Isra mengatakan ketika ada keributan tentang “ayat tembakau” beberapa tahun lau, bahwa ada tiga kemungkinan perubahan naskah pada fase setelah pembahasan dan persetujuan menuju ke pengesahan, yakni ketika: 1) Saat antara naskah yang sudah disetujui bersama sampai Sidang Paripurna; 2) Saat setelah Sidang Paripurna, dan 3) Saat akan disahkan presiden. Yang terakhir ini dilakukan pemerintah karena naskah sudah di tangan pemerintah. Sebenarnya tidak terlalu sulit menelusuri di fase mana naskah tersebut berubah, sepanjang semua berkata jujur. Tapi ya kejujuran itu justru masalahnya, sehingga masyarakat tidak percaya bahwa penjelasan yang disampaikan adalah jujur. Transparansi, sosialisasi, partisipasi adalah yang seharusnya dilakukan untuk menghilangkan ketidakpercayaan publik. Sesuai Pasal 96 UU No 12/2011 seharusnya diminta masukan publik melalui sosisalisasi, kunker, seminar, webinar, dsb . Dan itu sangat kurang, bahkan mungkin juga tidak dilakukan. Hanya seolah-olah dilakukan. Zainal Mochtar FH-UGM menyebut sebagai mistifikasi. Kalau proses formalnya tidak berjalan apakah produk tersebut lalu menjadi legitimate. Jadi sudah benar jika UU ini diajukan ke MK. Biarlah MK yang menilai legal formal pembentukan UU Cipta Kerja ini. Dalam kesempatan lain Zainal Mochtar menyebut adalah hal yang amat penting untuk membuat UU dengan proses yang baik dan benar, tidak “ugal-ugalan”. Sehingga demikian pula opini Harian Tempo, 12-18 Oktober 2020 yang menyebut sebagai cacat bawaan dari lahirnya. DPR hanya bekerja berdasar pesanan Presiden. Catatan “cacat” ini antara lain: kembali mengarah ke pemerintahan yang sentralistik, mementingkan para pemodal, mengurangi kewajiban ke pekerja dan mengurangi upaya perbaikan lingkungan.

Proses Legal Formal yang ada tapi tidak ada
Sesuai UU 12/2011 pembentukan UU harus berdasar musyawarah, mufakat dan terbuka. Berbagai cara dilakukan agar dapat dikatakan bahwa proses keterbukaan itu telah dilakukan, tapi sepertinya diharapkan tidak ada masukan publik. Siaran langsung pada TV-DPR tentu bisa disebut keterbukaan, tetapi siapakah yang menonton Saluran TV – DPR tersebut? Mengundang akademisi, Serikat Buruh, Pakar tapi mengabaikan pendapat publik dan pihak yang terkena langsung dampak negatif tetapi memasukkan pendapat pengusaha. Dan itu dikatakan sebagai sudah dialog. Jelas bahwa proses pembahasan seolah memenuhi semua syarat legal formal dalam pembentukan UU yang baik. Tentang hasil pembahasannya besar kemungkinan mengambil yang memang ingin diambil dalam pembahasan dan dengar pendapat, dan mengabaikan yang bertentangan (cherry picking). Maklum saja 74 persen anggota DPR adalah bagian dari koalisi pendukung pemerintah dan sebagian besar adalah pengusaha. Bisa jadi juga pemerintah (dan DPR) berfikir bahwa jika sungguh-sungguh memperhatikan semua aspirasi dari semua pemangku kepentingan termasuk publik, maka besar kemungkinan RUU Cipta Kerja tidak akan pernah selesai dibahas, sehingga harapan untuk investasi yang berdatangan dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat hanyalah angan-angan.

Menunggu proses lanjut dan hasil
Banyak pihak mengharap Presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan RUU Cipta Kerja. Hal ini jauh panggang dari api, karena pemerintahlah yang menginisiasi UU ini. Sebagian sudah mengajukan judicial review ke MK. Jika hasil uji materiil ada pasal yang dibatalkan MK ataupun uji formil yang membatalkan seluruh UU maka Pemerintah dan DPR harus merevisi atau membuat baru UU Cipta Kerja. Jika MK menolak ajuan sehingga UU Cipta Kerja tetap berlaku maka tak ada pilihan selain melihat hasilnya. Jika banyak masalah dalam implementasinya maka harus diajukan amandemen melalui jalur politik dengan proses yang sama. Jika kemudian setelah UU Ciptaker dilaksanakan dengan puluhan Peraturan Pemerintah yang harus dibuat itu ternyata betul-betul mendatangkan investasi bertambah besar-besaran dan jutaan lapangan kerja baru terbentuk. Sentralisasi ternyata tidak mengurangi kualitas demokrasi, dan para pemilik modal tetap memrioritaskan lingkungan hidup maka pengorbanan pengurangan buruh, pemerintah daerah dan lingkungan hidup mungkin dapat difahami. Maka tugas pemerintah (dan DPR) selanjutnya adalah menyusun aturan agar para pemodal “sadar” bahwa kelangsungan usaha harus memperhatikan lingkungan hidup dan dikerjakan. Agar pemerintah membayar tambahan pesangon buruh, agar kewenangan daerah ditambah.
Namun jika ternyata UU Cipta Kerja tidak memberikan hasil sebagaimana yang selalu dikatakan sebagai jurus dewa untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja itu tidak terjadi maka betul-betul menjadi UU Cilaka karena dua kali salah. Salah pertama karena ternyata UU yang hiruk pikuk hasilnya tidak sesuai dengan rencana dan salah kedua mengabaikan legal formal dalam legislasi yang baik, bahkan mungkin mengurangi demokrasi

Leave a Comment