
Seakan upaya pelabelan bebas BPA pada Galon Polikarbonat (PC) yang telah diatur dalam Perka BPOM No. 6 Tahun 2024 belum cukup, saat ini BPOM berencana untuk menurunkan batas migrasi BPA 12 kali lipat lebih kecil dengan merevisi Perka BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, dari 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj. Kebijakan BPOM yang dicurigai publik tak jauh dari lobi industri besar dan erat dengan praktik persaingan usaha ini menjadi pukulan fatal bagi industri AMDK berbahan galon PC, dan lebih parahnya berdampak pada Pelaku Industri Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) yang sebagian besar merupakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di tengah ketidakpastian ekoomi dan penurunan daya beli masyarakat sepanjang awal Tahun 2025 ini.
Kondisi Ekonomi Indonesia Q1 2025: Daya Beli Menurun, PHK Meluas
World Bank baru saja menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2025, dari sebelumnya 5,1% menjadi hanya 4,7%. Selain itu, proyeksi pertumbuhan sektor industri Indonesia pada Tahun 2025 juga diperkirakan hanya 3,8%, yang lebih rendah dibandingkan dengan angka 5,2% yang tercatat pada Tahun 2024. Dalam Laporan Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific pada Bulan April 2025, disebutkan tantangan bagi pertumbuhan ekonomi diantaranya yaitu ketidakpastian kebijakan perdagangan, penurunan harga komoditas, dan ketidak pastina terkait kebijakan domestik.
Selain itu, Tahun ini pula Indonesia pertama merasakan kembali deflasi tahunan yang terakhir terjadi pada 25 Tahun lalu, yaitu sebesar 0,09% year on year (yoy) menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti. Deflasi disebutkan oleh para ekonom, menjadi sinyal dari penurunan daya beli masyarakat. Disebutkan oleh Nabil Perdana Putra (2024) dalam Bukunya Memahami Inti Masalah Ekonomi bahwa deflasi dapat menimbulkan permasalahan serius diantaranya penurunan produksi, meningkatnya jumlah pengangguran, dan perlambatan ekonomi.
Hal ini sejalan dengan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejumlah 60 ribu sejak Januari hingga awal Maret 2025 menurut Litbang Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). PHK ini terjadi karena beberapa alasan diantaranya adalah perusahaan pailit, perusahaan dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), perusahaan melakukan efisiensi, hingga relokasi pabrik.
Dengan kondisi ekonomi yang menantang ini, terutama ditengah penurunan daya beli masyarakat, meluasnya PHK, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang rendah, serta krisis global (ekonomi, energi, dan geopolitik) penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang berpotensi menambah beban industri, khususnya UMKM. Hal ini dilakukan demi memastikan kelangsungan usaha dan mendukung pemulihan ekonomi yang lebih inklusif.
Over-Regulasi di Tengah Lesunya Ekonomi
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa saat ini sudah berlaku Perka BPOM No. 6 Tahun 2024 yang mewajibkan pelabelan pada Galon PC berupa “dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan”. Sayangnya, setelah upaya revisi perka tersebut goal, Pemerintah dalam hal ini BPOM belum puas untuk memperketat peraturan dengan membuat batas migrasi BPA Galon PC yang sebelumnya diatur 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah langkah tersebut tidak terlalu berlebihan? Alih-alih memperketat demi kesehatan masyarakat, pemerintah seolah ingin menghapuskan AMDK Galon PC dari Pasar Indonesia.
Sementara di Negara maju lain memiliki batas migrasi yang sama atau lebih tinggi dari Indonesia seperti Korea Selatan (0,6 bpj), China (0,6bpj), dan Jepang (2,5bpj), pemerintah lebih memilih untuk merujuk European Food Safety Authority (EFSA) yaitu 0,05 bpj. Padahal, pada saat isu BPA pertama kali dilontarkan ke publik pada Tanggal 24 Januari 2021 dan Tanggal 29 Juni 2021, BPOM telah mengunggah dua kali klarifikasi hasil pengawasan dilapangan yang masih dalam batas aman. Upaya revisi Perka BPOM No. 20 Tahun 2019 ini dikhawatirkan akan menimbulkan over-regulasi yang akan menyulitkan industri dengan menekan pertumbuhan bisnis, profitabilitas, dan ekspansi usaha. Dampak lebih lanjut dapat berupa pengurangan tenaga kerja atau PHK demi menekan biaya operasional, yang akhirnya menurunkan kinerja industri secara keseluruhan. Adapun KPPU telah mengendus adanya potensi persaingan usaha tidak sehat dalam penyusunan Perka BPOM No. 6 Tahun 2024 dimana peraturan tersebut hanya fokus memperketat aturan Galon PC.
UMKM DAMIU di Tengah Gempuran Kebijakan
Saat industri besar sedang bertarung mempertahankan pangsa pasarnya, UMKM DAMIU justru harus berjuang sendirian menghadapi tekanan kebijakan yang mengancam kelangsungan usaha mereka. Kondisi ini diperparah dengan kondisi perekonomian yang sedang lesu saat ini. Dengan keterbatasan modal usaha, UMKM DAMIU kini berada di posisi yang sangat rentan, berpotensi gulung tikar apabila tekanan kebijakan terus dilakukan tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan.
Tentu hal ini dapat terjadi akibat beralihnya preferensi konsumen menjadi Galon PET atau Galon Sekali Pakai karena takut menggunakan Galon PC meski dengan biaya yang lebih tinggi. Perubahan ini tentu mengancam keberlangsungan industri DAMIU yang bergantung pada Galon PC, baik milik perusahaan AMDK lain maupun milik sendiri. Selain itu, bisa juga terjadi penggunaan Galon Sekali Pakai untuk diisi ulang DAMIU, yang sangat berbahaya bagi kesehatan, atau bisa juga menggunakan Galon PC yang sudah lama sekali, berulang kali digunakan hingga tak layak pakai lagi karena sudah tidak ada suplai Galon PC bermerk dari industri, karena menggunakan Galon PC milik sendiri (polos) pun dinilai relatif mahal untuk UMKM DAMIU.
Lebih lanjut, apabila batas migrasi BPA jadi diturunkan menjadi 0,05bpj, maka UMKM DAMIU harus mengganti seluruh Galon PC mereka dengan modal yang tidak sedikit. Jika keadaan ini terus berlangsung, tak hanya berdampak pada kelangsungan usaha DAMIU saja, melainkan stabilitas ekonomi yang banyak bergantung pada UMKM. Dimana UMKM mampu menyerap sebanyak 117 juta pekerja atau 97% dari total tenaga kerja yang ada, serta menghimpun hingga 60,4% dari total investasi (Kemenkeu, 2024).
Kesimpulan
Kebijakan penurunan batas migrasi BPA pada Galon PC hingga 12 kali lipat lebih kecil dinilai terburu-buru dan berpotesi menciptakan over-regulasi terutama di tengah kondisi perekonomian saat ini. Hingga saat ini, belum pernah terdengar mengapa BPOM bersikeras merujuk EFSA untuk menentukan batas limit migrasi BPA yang baru, dibanding dengan negara-negara maju lainnya. Sehingga dikhawatirkan kebijakan ini lebih bersifat politis dibandingkan atas dasar kesehatan masyarakat.
Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada industri besar AMDK, melainkan UMKM DAMIU yang terancam gulung tikar karena bergantung pada penggunaan Galon PC dalam keberlangsungan usahannya. Dengan keterbatasan modal usaha, dan daya adaptasi terhadap kebijakan-kebijakan baru, UMKM DAMIU berada pada posisi yang sangat rentan. Alih-alih memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat, yang ada justru beresiko memperburuk kondisi perekonomian nasional yang saat ini tengah lesu.
Langkah Pemerintah
Oleh karena itu, Kebijakan Berbasis Bukti (Scientific Evidence) sangat diperlukan dalam hal ini. Tidak hanya scientific evidence dari segi keamanan kemasan pangan, namun juga dari segi perekonomian, perindustrian, perdangangan, lingkungan hidup, dan lain-lain. Kebijakan yang komprehensif dan mendalam. Dalam hal ini, Sekertariat Kabinet sangat memiliki peran penting dalam memastikan terpenuhinya hal tersebut sebelum meneruskan ke Presiden agar disetujui, sesuai Perpres No. 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga, dimana Perpres ini diterbitkan agar regulasi yang diterbitkan dapat berkualitas, harmonis, tidak sektoral, dan tidak menghambat kegiatan masyarakat dan dunia usaha.
Dalam penyusunan regulasi tersebut, juga perlu dipastikan terpenuhinya unsur partisipasi aktif dari stakeholders terkait, baik K/L lintas sektor, pelaku usaha industri besar/UMKM, akademisi, dan tentunya masyarakat, dengan catatan tidak hanya sekedar formalitas saja. Adapun kebijakan yang akan diambil tersebut pun juga harus menjawab isu kesehatan tanpa harus mengorbankan stabilitas ekonomi dan keberlangsungan UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.