CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK “PARADOKS KEBIJAKAN HILIRISASI DENGAN PENERAPAN TKDN: UNTUK INDUSTRI MAMIN MASALAH JUSTU DI HULU

CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK “PARADOKS KEBIJAKAN HILIRISASI DENGAN PENERAPAN TKDN: UNTUK INDUSTRI MAMIN MASALAH JUSTU DI HULU

myadmin
Rate this post

CATATAN KEBIJAKAN PUBLIK

“PARADOKS KEBIJAKAN HILIRISASI DENGAN PENERAPAN TKDN: UNTUK INDUSTRI MAMIN MASALAH JUSTU DI HULU”

  1. PENDAHULUAN

Salah satu Kebijakan Strategis Kabinet Merah Putih adalah Hilirisasi industri, yang tentunya tujuan utamanya adalah penciptaan nilai tambah (value added) dari bahan baku yang ada di Indonesia, yang seharusnya dinikmati dan dioptimalkan oleh industri dalam negeri, bukan hanya oleh industri luar negeri. Ketika kita mengekspor bahan mentah, pada dasarnya kita “menjual” potensi nilai tambah kepada negara lain. Mereka yang kemudian mengolahnya menjadi produk jadi, dan merekalah yang menuai keuntungan besar dari proses pengolahan tersebut, mulai dari margin keuntungan, penciptaan lapangan kerja, hingga pengembangan teknologi. Tujuan ini sangat menonjol pada kebijakan hilirisasi beberapa komoditi strategis Indonesia, antara lain: Nikel, Kelapa Sawit, Bauksit, Batu Bara, Perikanan, Karet dsb. Nikel yang diolah menjadi baterai kendaraan listrik di Indonesia, atau kelapa sawit yang menjadi produk oleokimia, ini adalah wujud nyata dari bagaimana dengan hilirisasi nilai tambah itu “dikunci” di dalam negeri.

            Namun tidak demikian hal nya pada sebagian industri makanan dan minuman (mamin) yang justru industri hilirnya sangat kuat akan tetapi tidak ditunjang industri hulu yang kuat sehingga terpaksa melakukan impor bahan baku, misalnya sebagai contoh kasus pada paper ini adalah pada Industri Pengolahan Susu (IPS) dimana produksi Susu Sapi Dalam Negeri (SSDN) tidak mencukupi kebutuhan IPS. Contoh lain adalah larangan dan pembatasan impor garam, dimana produksi garam dalam negeri tidak mencukupi baik kualitas, kuantitas maupun harga, sehingga terpaksa impor. Dalam hal demikian untuk beberapa industri mamin dalam hal ini IPS, kebijakan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang sejalan dengan kebijakan hilirisasi menjadi tidak tepat, karena kebijakan yang ditetapkan pemerintah seharusnya adalah meningkatkan industri hulu. Dalam hal SSDN, kebijakan diarahkan untuk peningkatan produksi SSDN: kualitas dan kuantitas, dengan tujuan antara lain: meningkatakan pendapatan peternak, pemerataan ekonomi, siklus ekonomi berkelanjutan. Peningkatan industri hulu juga menguntungkan bagi industri hilir karena mengurangi resiko pasokan, fluktuasi harga, penghematan devisa.

  1. PADA INDUSTRI PERSUSUAN INDONESIA, TERDAPAT DISPARITAS BESAR ANTARA PRODUKSI SSDN DAN TOTAL KEBUTUHAN IPS.
  1. Industri Pengolahan Susu (IPS)

Indonesia memiliki IPS yang modern dan sangat kompetitif. Industri ini menghasilkan berbagai produk olahan susu seperti: Susu Bubuk, susu cair (UHT, pasteurisasi), kental manis, yoghurt, keju, dan es krim. Merek-merek produk olahan susu ini mendominasi pasar domestik dan beberapa di antaranya bahkan diekspor. Untuk memenuhi kebutuhan IPS, produksi SSDN hanya mampu memenuhi sekitar 19% – 20% dari total kebutuhan IPS, sehingga yang 80% – 81% sisanya harus dipenuhi melalui impor, terutama dalam bentuk susu bubuk (skim milk powderwhole milk powder), dan anhydrous milk fat. Alasan utama impor bahan baku susu olahan ini tentu karena pasokan SSDN yang tidak mencukupi secara kuantitas dan juga kualitas serta harga, sehingga IPS tidak punya pilihan selain mengandalkan impor untuk menjaga keberlangsungan produksi. Di samping kuantitas yang tidak mencukupi IPS seringkali lebih memilih bahan baku impor karena kualitasnya yang lebih konsisten, kemurnian yang tinggi, dan kandungan nutrisi yang stabil, yang sangat penting untuk proses produksi skala besar dan standar produk akhir. Harga impor dengan kualitas yang setara dengan SSDN seringkali lebih ekonomis. Industri Hilir Pengolahan Susu ini dihuni oleh berbagai merk produk dengan brand internasional yang sangat kuat seperti: Frisian Flag, Ultramilk, Indomilk, Greenfiel, Cimory, Diamond, Bear Brand/Nestle, Dancow, Hilo, Anlene dsb yang telah melakukan ekspor dalam bentuk produk hilir.

  1. Produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) Indonesia

Berdasarkan data BPS tahun 2023 (Ditjen PKH Kementan), produksi SSDN mencapai sekitar 0,9 juta ton (atau 900.000 ton), dan Tahun 2024: BPS mencatat produksi susu segar (ton) secara nasional hingga 2024 (data sementara) adalah 808.352.840,61 kg atau sekitar 0,808 juta ton. (Sumber: BPS). Rata-rata produktivitas sapi perah di Indonesia masih rendah, sekitar 8-12 liter per ekor per hari, jauh di bawah negara-negara maju yang bisa mencapai 30-60 liter per ekor per hari. Populasi sapi perah di Indonesia juga relatif kecil (sekitar 514 ribu ekor pada 2023). (Sumber: Kompas.id, Kemenperin, Ditjen PKH Kementan).  Pada tahun 2023, koperasi produsen susu nasional (59 unit) dengan sekitar 227.615 ekor sapi menghasilkan 470 ribu ton susu, sedangkan peternakan sapi modern dengan 2.000 ekor sapi menghasilkan 164 ribu ton. (Sumber: Tempo.co, Nov 2024)

  1. Disparitas hulu-hilir dan trend pertumbuhan yang menambah kesenjangan hulu-hilir.

Produksi SSDN yang hanya mampu memenuhi sekitar 19% – 20% dari total kebutuhan susu nasional untuk industri pengolahan susu (IPS) menimbulkan situasi yang paradoks dengan kebijakan hilirisasi, karena industri hilir susu di Indonesia sangat maju dan memiliki kapasitas produksi yang besar, namun fondasi hulunya (produksi SSDN) masih sangat lemah. Hal ini menyebabkan nilai tambah yang dihasilkan oleh hilirisasi menjadi semu karena sebagian besar biaya produksi masih mengalir ke luar negeri untuk pembelian bahan baku impor. Tren Kebutuhan dan Produksi: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada tahun 2022 menyebutkan bahwa kebutuhan susu dalam enam tahun terakhir mengalami peningkatan dengan rata-rata 6% per tahun, sedangkan produksi susu segar dalam negeri hanya tumbuh 1% saja. Defisit ketersediaan susu sapi diproyeksikan akan terus meningkat sehingga disparitas industri hulu dan hilir susu akan semakin besar (sumber: foodreview.co.id, satudata pertanian) dan memperburuk kesenjangan hilir-hulu.

  1. FORMULASI KEBIJAKAN INDUSTRI HULU PERSUSUAN YANG HARUS DITINGKATKAN BUKAN HILIRISASI

Memformulasi kebijakan yang tepat untuk Industri Pengolahan Susu (IPS) agar fokus pada penguatan hulu, alih-alih hanya mengejar target TKDN di hilir, memang krusial. Industri pengolahan susu (IPS) di Indonesia telah berkembang pesat dan memiliki kapasitas produksi yang besar serta merek-merek yang kuat di pasar domestik. Namun, keberlanjutan dan kemandirian IPS sangat terhambat oleh minimnya pasokan SSDN yang berkualitas dan berkuantitas memadai. Kebijakan hilirisasi yang hanya berfokus pada peningkatan TKDN di sisi hilir tanpa penguatan hulu justru berpotensi kontraproduktif, membebani IPS, dan tidak menyelesaikan akar masalah ketergantungan impor. Jika tujuan hilirisasi di sektor ini adalah membuat produk jadi, tapi bahan bakunya masih sangat bergantung impor, maka nilai tambahnya menjadi semu. Tujuan ideal “kemandirian” dan “nilai tambah” dari hilirisasi bisa bertabrakan dengan realitas pasar, kualitas, dan efisiensi.

Tujuan Kebijakan haruslah bersifat holistik yakni mewujudkan industri persusuan nasional yang mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan, dengan prioritas utama pada penguatan kapasitas dan kualitas produksi SSDN sebagai fondasi utama bagi hilirisasi yang efektif dan bernilai tambah nyata. Kebijakan yang diambil tentu bukan memperlemah industri hilir yang sudah kuat.

Formulasi kebijakan yang ditetapkan didasarkan pada prinsip-prinsip: adaptif dan holistik hulu-hilir, kearah kemandirian bahan baku, kesejahteraan peternak, meningkatkan daya saing sehingga industri hulu tidak menjadi beban industri hilir.

  1. KEBIJAKAN APA YANG SEBAIKNYA DIFORMULASIKAN

PertamaPerkuat Industri hulu secara masif dan terstruktur, antara lain dengan: Edukasi dan pelatihan peternak untuk praktek yang baik (Good Livestock Practices – GLP) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil. Memfasilitasi akses ke teknologi peternakan modern, dan memfasilitasi pengiriman dan penyimpanan yang baik serta mendorong penerapan standar kualitas dan sertifikasi untuk bahan baku, memastikan konsistensi dan keamanan serta mendorong investasi dalam pengembangan sektor hulu, termasuk penelitian dan pengembangan varietas unggul atau bibit berkualitas.

Kedua, Fasilitasi dan insentif atas kolaborasi kemitraan antara industri pengolahan (hilir) dengan pemasok bahan baku SSDN (hulu) serta pemerintah. Hal ini dapat diwujudkan misalnya melalui kontrak jangka panjang dan atau program pendampingan sehingga memberikan kepastian pasar bagi petani dan kepastian pasokan bagi industri.

Ketiga, Implementasi kebijakan yang konkrit, antara lain: Peningkatan Genetik & Produktivitas; Manajemen Pakan Optimal; Subsidi atau kemudahan akses terhadap pakan konsentrat berkualitas; Peningkatan Kualitas Susu dengan edukasi masif tentang Good Dairy Farming Practices (GDFP); Penyediaan peralatan pemerahan yang higienis dan fasilitas pendingin susu (Milk Cooling Unit – MCU) di tingkat peternak/koperasi;  Penerapan sistem pembayaran susu berbasis kualitas; Peningkatan Manajemen Kesehatan Ternak; serta Penguatan Infrastruktur dan Kelembagaan, dengan meningkatkan peran dan kapasitas koperasi susu sebagai sentra pengumpul dan pengelola susu. Pembangunan Pusat Pengumpul Susu (MCP) modern yang terintegrasi dengan IPS; Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal (misalnya pengurangan pajak, kemudahan perizinan) bagi IPS yang berinvestasi langsung dalam penguatan hulu (misalnya pembangunan peternakan terintegrasi, program plasma peternak, riset pakan lokal). Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain)  dsb.

Keempat, Menunda wacana pengenaan TKDN yang pernah disebut 35%-40% sebelum Tindakan atas kebijakan pertama sampai dengan ketiga di atas dilaksanakan sehingga terjadi harmonisasi kebijakan.  Penerapan TKDN saat ini pada persusuan nasional akan menjadi kontra produktif karena akan timbul: 1Defisit bahan baku yang sangat besar karena kesenjangan pasokan yang ekstrim;  2) Kualitas akan menjadi tidak sesuai standar industri karena memaksa penggunaan bahan baku yang tidak memenuhi standar akan mengorbankan kualitas produk akhir, merugikan konsumen, dan merusak daya saing produk Indonesia di pasar global; 3) Kenaikan biaya produksi dan harga: Jika ada “pemaksaan” penyerapan SSDN dengan kualitas rendah atau harga yang tidak kompetitif, industri akan menanggung biaya ekstra untuk pemrosesan ulang atau menghadapi kerugian produk yang gagal. Ini pada akhirnya akan menaikkan harga jual produk olahan susu kepada konsumen; 4) Hambatan investasi dan inovasi: Kebijakan yang tidak realistis dapat membuat investor enggan menanamkan modal di industri pengolahan susu karena ketidakpastian pasokan bahan baku yang berkualitas; 5) Risiko mandeknya produksi: Dalam skenario terburuk, jika industri dipaksa TKDN tinggi sementara hulu tidak mampu memasok, beberapa lini produksi bisa terhenti karena kekurangan bahan baku yang memenuhi syarat. 6) Mendorong pasar gelap; 7) Fokus hilirisasi bahkan akan terdistorsi dengan masalah di Industri Hilir yang sebelumnya tidak bermasalah

Terima Kasih

Jakarta, Juli 2025

PH&H, Public Policy Interest Group

TAQ : 

crossmenu