
Pemerintah masih menargetkan Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) sebagai objek pengenaan cukai, sesuai dengan Perpres No. 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. Perpres ini telah ditandatangani oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan resmi diundangkan pada 30 November 2024. Adapun pada tahun anggaran 2025, target penerimaan cukai dari MBDK ditetapkan sebesar Rp 3,8 triliun. Kebijakan ini diterapkan pemerintah dengan tujuan untuk mengendalikan konsumsi produk MBDK tersebut yang dinilai berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, khususnya diabetes. Dimana Indonesia menempati peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak di dunia menurut International Diabetes Federation (IDF) pada Tahun 2022.
Tak hanya dalam bentuk MBDK, gula telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang dikonsumsi secara rutin. Dimana terdapat beberapa penelitian bahwa :
• Hasil Olahan Data Susenas Tahun 2021 menyimpulkan bahwa semakin kaya seseorang, semakin tinggi, terlihat dari kelompok pengeluaran bulanan perbulan.
• Data BPS Tahun 2021, menunjukkan konsumsi gula putih di Indonesia mencapai 160gram/hari, yang lebih dari 3x lipat batas konsumsi harian menurut Kemenkes (maksimal 50gram / hari).
• Hasil Survei Kebiasaan Konsumsi Gula dan Karbohidrat Masyarakat Tahun 2023 oleh Kurius, diketahui bahwa Masyarakat Indonesia gemar untuk menambahkan takaran gula puntuk makanan dan minuman, mulai dari ½ sendok makan hingga lebih dari 3 sendok makan.
• Indonesia merupakan negara dengan nilai Pasar Minuman Boba tertinggi di Asia Tenggara (Momentum Works, 2021), dimana mayoritas konsumen berasal dari kelas atas (Hasil Survei Jajak Pendapat, 2022)
• Kurangnya aktivitas fisik seseorang, di mana proporsi diabetes umur 18-59 yang melakukan aktivitas fisik kurang 1,3x lebih tinggi dibandingkan yang melakukan aktivitas cukup (SKI, 2023).
• Hanya 27,14% dari total penduduk Indonesia yang aktif berolahraga (Susenas, 2021)
Dibalik tingginya angka diabetes nasional, sebenarnya telah terdapat beberapa program pemerintah yang dilaksanakan. Sayangnya, program-program tersebut sering kali tidak berkelanjutan, dan bahkan tidak terdengar lagi kabarnya, sehingga kurang memberikan dampak signifikan terhadap perubahan perilaku masyarakat. Contohnya seperti Kampanye Eyes on Diabetes Tahun 2016, Chatbot Tanya Gendis, Pelayanan Minimal Pengendalian Diabetes Melitus, Upaya Kesehatan berbasis Masyarakat, Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) oleh BPJS Kesehatan.
Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar diterapkannya kebijakan Pengenaan Cukai MBDK yang cukup berisiko dan dinilai tak dapat mengatasi akar penyebab masalah tingginya pravelensi diabetes di Indonesia. Pertanyaan tersebut adalah :
Apakah benar bahwa masyarakat yang sulit untuk diedukasi atau justru strategi intervensi Pemerintah selama ini yang kurang efektif dan tidak mampu membangun kesadaran tersebut secara optimal?
Oleh karena itu, seyogyanya Pemerintah harus berintropeksi dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan sebelumnya, mengenai dari pelaksanaan dan dampaknya, mengapa meski sudah ada program-program tersebut namun pravelensi diabetes nasional masih tinggi. Evaluasi inipun sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan ke depan dapat lebih efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
Pengenaan cukai MBDK saja tanpa disertai dengan kebijakan lainnya, hanya akan menjadi langkah parsial dan tidak menyentuh akar permasalahan. Sehingga yang ditakutkan adalah terjadinya penurunan konsumsi produk MBDK, namun tidak dengan penurunan pravelensi diabetes nasional. Hal ini dapat disebabkan karena Pengenaan Cukai MBDK tidak dapat secara langsung mengubah pola konsumsi gula masyarakat, terlebih jika tidak disertai dengan edukasi kesehatan masyarakat yang baik dan masif. Masyarakat yang tidak teredukasi akan cenderung beralih ke produk subsitusi gula lainnya, seperti minuman rumahan dengan tambahan gula berlebih, membeli minuman siap saji seperti minuman boba, kopi, es teh baik di pedagang kaki lima, kafe modern, atau pesan online. Apalagi saat ini sedang popular pedagang kopi keliling siap saji dengan kemasan modern namun harga terjangkau yang berkeliling di area perkantoran, dan area ramai lainnya. Tanpa pendekatan yang holistik, kebijakan ini berisiko hanya menjadi beban tambahan tanpa memberikan dampak signifikan pada upaya pengendalian diabetes.
Pengenaan cukai MBDK merupakan langkah yang baik, namun tidak cukup untuk menyelesaikan akar permasalahan tingginya prevalensi diabetes di Indonesia. Kebijakan dengan pendekatan lain seperti menetapkan batas maksimal kandungan gula, peningkatan pengawasan, pembatasan iklan di media sosial/media massa, larangan penjualan atau konsumsi MBDK/Minuman Kekinian di lingkungan sekolah atau radius jarak tertentu dari sekolah, edukasi dan kampanye besar-besaran di masyarakat, dan lain-lain. Hal ini tentu melibatkan pemangku kepentingan lain dari berbagai sektor, sehingga komitmen bersama dalam melakukan kolaborasi sangat diperlukan.
Pelabelan Nutri-Grade sebagaimana di Singapura atau Nutri-Score sebagaimana di Eropa berdasarkan jumlah kandungan gula untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong industri untuk mereformulasi produk agar masuk dalam kategori yang lebih sehat menjadi salah satu best practice yang patut untuk ditiru. Sebagaimana salah satu jaringan supermarket di Indonesia yang telah melakukan hal tersebut di etalase bagian MBDK. Terlebih pelabelan ini dapat dilakukan tak hanya pada produk MBDK melainkan juga di gerai-gerai minuman kekinian/boba/siap saji. Edukasi masif tentang bahaya gula berlebih sangat diperlukan, agar masyarakat tidak beralih ke produk substitusi tak terukur yang sulit untuk diawasi. Dengan adanya kesadaran masyarakat yang tinggi tanpa adanya pengenaan cukai MBDK pun, dipercaya akan menurunkan pravelensi diabetes nasional di Indonesia.