
(Sumber Foto : Antara/Didik Suhartono)
Kebijakan mengenai truk Over Dimension Over Load (ODOL) telah menjadi perhatian sejak lama. Berbagai peraturan telah disusun dan diterapkan, menandakan bahwa penghapusan ODOL merupakan prioritas penting negara. Kerugian besar yang ditimbulkan, baik berupa kerusakan infrastruktur jalan maupun hilangnya nyawa manusia, menjadikan isu ini tak bisa dianggap remeh.
Namun, hingga kini pelaksanaan kebijakan tersebut belum menunjukkan hasil yang optimal. Truk ODOL masih banyak berkeliaran di jalan dan kerap kali terlibat dalam kecelakaan. Kondisi ini menunjukkan adanya resistensi dari pihak-pihak tertentu yang merasa akan dirugikan oleh penertiban ODOL.
Pengetatan terhadap ODOL diperkirakan akan meningkatkan biaya logistik, karena dibutuhkan lebih banyak armada dan pengemudi. Akibatnya, inflasi pun dikhawatirkan meningkat. Padahal, biaya logistik Indonesia saat ini sudah tergolong tinggi secara global. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ODOL yang telah ada, agar tidak terjadi kondisi “less for more”. Di mana pengurangan ODOL hanya sedikit namun berdampak besar pada ekonomi. Untuk itu, pelaksanaan kebijakan ODOL idealnya dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah (ISPW).
Perlu dilakukan reformulasi kebijakan dengan pendekatan yang menyeimbangkan pengurangan ODOL dan pengendalian biaya logistik. Penamaan kebijakan pun bisa diubah dari “Zero ODOL” menjadi “Harmonisasi Keselamatan dan Efisiensi Logistik,” yang lebih mencerminkan kolaborasi antara kepentingan keselamatan dan efisiensi ekonomi, serta sejalan dengan program prioritas RPJMN 2025–2029 yaitu “Optimalisasi Backbone Integrasi Ekonomi dan Penguatan Sistem Logistik Nasional.”
Evaluasi Terbaru atas Kebijakan ODOL
Pada 23 Mei 2025, Kementerian Koordinator Bidang ISPW mengadakan rapat koordinasi yang melibatkan berbagai kementerian/lembaga terkait seperti Ditjen Perhubungan Darat (Kemenhub), Ditjen Bina Marga (Kementerian PUPR), PT Jasa Marga, dan Korlantas Polri. Rapat ini merespons desakan masyarakat dan pengamat transportasi terhadap minimnya implementasi kebijakan ODOL.
Dari paparan yang disampaikan, tampak adanya kesadaran bahwa penghapusan ODOL merupakan trade-off antara keselamatan transportasi dan penghematan biaya jalan, versus biaya logistik. Riset ITL Trisakti tahun 2022 menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan Zero ODOL sejak Januari 2023 bisa menimbulkan kerugian ekonomi besar karena penurunan kapasitas angkut, penambahan kendaraan hingga 60%, peningkatan kemacetan, lonjakan biaya operasional kendaraan hingga 150%, dan naiknya harga komoditas yang membebani konsumen serta memicu inflasi. Maka dari itu, penting untuk mencari solusi kebijakan yang tetap mengutamakan keselamatan dan meminimalkan kerusakan jalan, sembari menjaga biaya logistik tetap terkendali. Kerusakan jalan, kemacetan, dan kecelakaan sendiri turut menyumbang tingginya biaya logistik.
Namun upaya mencapai keseimbangan antara keselamatan dan efisiensi logistik bukanlah hal yang benar-benar baru.
Sejumlah solusi telah berkali-kali dirumuskan dalam berbagai forum kebijakan, namun belum membuahkan hasil nyata di tingkat implementasi. Sejumlah rencana seperti optimalisasi alat ukur, pengaturan jalur sesuai kelas jalan, pengembangan moda transportasi alternatif, insentif/disinsentif, serta analisis dampak ekonomi dan inflasi, telah lama dirancang namun tak kunjung dilaksanakan secara konsisten.
Penguatan Sistem Logistik Nasional sebagai Target Bersama
RPJMN 2025–2029 telah menetapkan “Optimalisasi Backbone Integrasi Ekonomi dan Penguatan Sistem Logistik Nasional” sebagai salah satu program prioritas nasional. Artinya, pembangunan sistem logistik yang efisien, andal, dan terintegrasi tidak hanya menjadi tanggung jawab satu institusi, melainkan merupakan agenda strategis lintas sektor yang harus diemban bersama oleh berbagai kementerian dan lembaga.
Dalam konteks tersebut, penanganan ODOL tidak bisa lagi dipandang sebagai isu sektoral semata, misalnya hanya terkait lalu lintas atau infrastruktur, melainkan harus diposisikan sebagai bagian penting dari upaya memperkuat daya saing logistik nasional. Hal ini mencakup aspek keselamatan, efisiensi distribusi, keberlanjutan infrastruktur jalan, hingga dampaknya terhadap struktur biaya barang dan jasa.
Sinergi antarlembaga menjadi kunci keberhasilan. Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, Kepolisian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, hingga pelaku usaha logistik harus bekerja dalam satu peta jalan (roadmap) yang disepakati bersama. Setiap lembaga memiliki peran yang saling melengkapi, dari penetapan regulasi, pembangunan infrastruktur pendukung, insentif fiskal, hingga penegakan hukum.
Dengan demikian, kebijakan penghapusan ODOL perlu diintegrasikan secara strategis ke dalam kerangka penguatan sistem logistik nasional. Tidak sekadar menertibkan truk-truk yang melanggar, tetapi juga mendorong transformasi menyeluruh dalam cara barang diangkut dan didistribusikan di Indonesia, dengan prinsip keselamatan sebagai pondasi, dan efisiensi sebagai tujuan.
Kebutuhan Data yang Terpadu dan Akurat
Kebijakan yang baik bergantung pada data yang seragam dan akurat. Saat ini masih terdapat perbedaan data antar instansi. Data seperti persentase truk ODOL terhadap total truk, klasifikasi berdasarkan jenis pelanggaran (OD atau OL), serta sebaran rute, sangat penting untuk menetapkan prioritas kebijakan. Misalnya, data distribusi komoditas dan kecelakaan terkait ODOL bisa digunakan untuk menentukan komoditas mana yang perlu menjadi fokus awal penindakan. Demikian pula data mengenai kelas jalan yang sering dilalui ODOL akan berguna dalam menentukan ruas jalan yang perlu diperkuat atau diperbaiki.
Contoh lainnya, teknologi peningkatan kapasitas truk seperti penambahan gandar yang fleksibel dapat mengurangi praktik ODOL dan menekan biaya logistik. Data Jasa Marga menunjukkan ODOL lebih dominan di jalan arteri (76%) dibanding jalan tol (17,76%), sehingga strategi intervensi pun bisa difokuskan ke jalan arteri.
Data dari Kemenhub menunjukkan kecelakaan ODOL banyak melibatkan komoditas AMDK, sementara menurut Jasa Marga, komoditas ini hanya 9% dari total ODOL, di bawah bahan bangunan (25%) dan bahan industri (22%). Maka, formulasi kebijakan harus mempertimbangkan prioritas komoditas berdasarkan dampak logistik dan keselamatan.
Peran Lintas Lembaga dalam Formulasi Kebijakan
Kementerian/Lembaga memiliki peran masing-masing, mulai dari pengawasan oleh Dishub, penegakan hukum oleh POLRI, hingga peningkatan standar pengemudi oleh Korlantas. Meski faktor pengemudi menjadi penyumbang utama kecelakaan, belum terlihat rencana peningkatan kualifikasi pengemudi dalam rapat koordinasi terakhir.
Arah Implementasi Kebijakan: Perlu Kepastian dan Konsistensi
Berbagai rencana implementasi telah kembali disampaikan, antara lain Kemenhub dan Polri merencanakan penguatan sistem IT melalui penerapan WIM (Weight in Motion) dan ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement). Ditjen Hubdat juga membagi rencana dalam tiga klaster: pengawasan, penegakan hukum, dan evaluasi. Sementara Jasa Marga akan mengintegrasikan WIM ke sistem tol elektronik (ETC), dan Kementerian PUPR mengusulkan kenaikan MST secara bertahap.
Ditjen Hubdat menyusun tahapan kebijakan ODOL dengan target penindakan dimulai Agustus 2025 dan kebijakan Zero ODOL diharapkan berjalan pada Juni 2026. Adapun Polri membedakan OD (Over Dimension) sebagai kejahatan dan OL (Over Load) sebagai pelanggaran, untuk menentukan fokus penanganan.
Usulan Langkah-Langkah Strategis