Perkeretaapian Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak dibangun di Zaman Belanda, dengan bentuk perusahaan milik negara (SS) dan juga Perusahaan KA Swasta (NIS, NJS, SDS, DSM dsb). Selanjutnya pada Zaman Merdeka telah berubah bentuk dari Jawatan Kereta Api (DKA), Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA), Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dan terakhir sampai saat ini PT Kereta Api Indonesia (Persero), atau kita sebut saja KAI
Setiap perubahan bentuk perusahaan kereta api tentu mengandung suatu tujuan sehingga pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengubah bentuk perusahaan tersebut. Bentuk perusahaan menentukan bagaimana menjalankan perusahaan tersebut, terutama pada tujuan utama pelayanan publik dan atau mengejar keuntungan
Bentuk terakhir sekarang ini sebagai Perseroan Terbatas adalah bentuk sebelum bentuk yang mungkin akan terjadi sebagai tahap berikutnya, yakni bentuk badan usaha swasta dengan sebagian sahamnya atau seluruhnya dimiliki oleh publik/swasta
Tulisan ini menyampaikan secara singkat bagaimana kebijakan pemerintah pada perkeretaapian, bagaimana menjalankan usahanya serta hasil yang didapat dimulai dari bentuk PJKA karena pemapar mengalami dimulai dari PJKA selanjutnya Perumka dan KAI. KAI juga masih pada awal, perjalanan KAI selanjutnya sampai dengan saat ini hanya bersifat pengamatan awam.
Sejarah perkeretaapian Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1864 di zaman kolonial Belanda, yang pada zaman colonial itu kereta api dioperasikan oleh satu Perusahaan Negara SS dan lainnya dioperasikan oleh perusahaan kereta api swasta (NIS, SDS, DSM, dsb). Perusahaan-perusahaan KA swasta ini untuk angkutan tertentu juga mendapatkan Publik Service Obligation (PSO) berupa kontrak dengan pemerintah. Setelah merdeka, perusahaan-perusahaan kereta pai tersebut dinasionalisasi menjadi Jawatan Kereta Api dan kemudian menjadi Perusahaan Nasional Kereta Api (PNKA)
Tulisan ini dimulai setelah zaman Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang merupakan perubahan bentuk berikutnya dari PNKA. Penulis masuk bekerja sampai menjabat Direktur Keuangan adalah pada masa PJKA ini yang berlanjut ke Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka). Pada masa Perumka penulis menjabat Direktur Utama dan berlanjut sampai ke bentuk berikutnya yakni PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau kita singkat sebagai KAI.
Dari bentuk-bentuk perusahaan kereta api ini sebenarnya sudah terlihat bagaimana kebijakan pemerintah atas perkeretaapian yakni dimulai sebagai agen pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan umum dan semakin bergeser kearah untuk mendapatkan keuntungan. Perubahan-perubahan bentuk tersebut tentu sangat mempengaruhi bagaimana direksi menjalankan perusahaan tersebut.
Di samping perubahan bentuk yang menunjukkan kebijakan pemerintah atas perkeretapian dan bagaimana direksi menjalankannya, langkah direksi juga sudah tentu terpengaruh oleh situasi perekonomian, sosial, budaya dan teknologi yang tersedia. Sehingga tindakan yang diambil ketika itu bisa jadi akan sulit dimengerti dengan menggunakan parameter saat ini
Nama Jawatan pada dasarnya adalah agen pemerintah, melaksanakan tugas pemerintah. Namun nama Perusahaan di depannya tentu mengandung makna bahwa pelaksanaan tugas pemerintah ini akuntabel. Dikelola terpisah dari keuangan negara secara akunting. Sehingga pelaksanaan tugas pemerintah tersebut dapat diukur. Pencapaian laba atau rugi perusahaan pada dasarnya sepenuhnya direncanakan oleh pemerintah. Tarif ditetapkan pemerintah, demikian pula subsidi ke perusahaan, sudah barang tentu juga investasi baik untuk prasarana maupun sarana. PJKA sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lebih banyak bersifat sebagai Milik Negara (MN) dibanding sebagai Badan Usaha (BU)
Direksi PJ pada dasarnya “hanya” menjalankan tugas sebagai kepanjangan tangan pemerintah, pegawai PJ adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN sekarang. Direktur Utama atau disebut Kepala Perusahaan Jawatan Kereta Api (Kaperjanka) adalah pejabat pemerintah dengan eselon 1B. Sesuai namanya Kepala PJKA maka Direksi dan jajarannya adalah bawahan Kaperjanka. Perusahaan dipimpin oleh Kaperjanka bukan oleh Direksi perusahaan sebagaimana Perum dan Persero. Kaperjanka di bawah Menteri Perhubungan yang dalam membina perkeretaapian dibantu Sekretaris Jenderal dan Dirjen Perhubungan Darat. Pembinaan secara operasional sangat tergantung pada karakter Dirjenhubdat dan Kaperjanka yang menjabat saat itu. Ada kalanya Dirjenhubdat sampai memeriksa detil operasi KA namun lain waktu Kaperjanka berwibawa sehingga Dirjenhubdat sungkan sampai ke detil operasi KA. Pembinaan administratif oleh Sekjen dilaksanakan oleh Biro TU BUMN yang juga mengelolaa banyak Badan Usaha Milik Negara di lingkungan kementerian. Karena Kepala Biro TU BUMN adalah eselon 2A, maka Direksi BUMN sering diperlakukan seperti eselon 3 di Kementerian. Posisi tersebut mengilustrasikan bahwa pada dasarnya Kaperjanka beserta pimpinan PJKA pada status Perjan menjalankan perusahaan sebagaimana yang diperintahkan oleh kementerian (perhubungan), tidak banyak kreasi yang dapat dilakukan di dalam menjalankan usahanya sebagai perusahaan. Karakter Menteri, Sekjen dan Dirjen sangat mempengaruhi Kaperjanka dalam menjalankan perusahaan. Sebagai contoh di satu sisi PJKA harus tunduk pada aturan-aturan kepemerintahan akan tetapi penulis sendiri diangkat sebagai Direktur Keuangan dengan Pangkat PNS IIIB, padahal pangkat minimal eselon 2 adalah IVB. Bawahan penulis berpangkat IVA dan IV B, itu suatu hal yang haram dan tidak boleh terjadi, namun toh terjadi dan dilaksanakan. Gambaran itu menunjukkan bahwa manajemen PJKA pada dasarnya adalah sesuai yang dikehendaki pemerintah.
Administrasi dan Keuangan PJKA masih berdasar Reglemen (a.l R2, R3, R22 dsb) serta IBW dan ICW peninggalan Zaman Belanda dan beberapa Peraturan Pemerintah yang kesemuanya sering mengatur dengan cara yang tidak sama.
Dari sisi internal perusahaan, PJKA menghadapi beban yang berat, jumlah pegawai yang pada awalnya sekitar 74.000 orang dirasionalisasi menjadi 42.000. Tarif yang rendah. Prasarana dan sarana yang tua, antara lain lokomotif uap yang masih beroperasi. Andalan lokomotif adalah CC201 sebanyak 18 unit yang juga dibelikan oleh pemerintah. Pemerintah memang berniat untuk memajukan dan meningkatkan peran perkeretaapian, dan sudah dimulai dengan proyek-proyek besar yang merupakan tonggak sejarah perkeretaapian, antara lain:
Walaupun sudah banyak pemikiran-pemikiran baru di samping dari BTBD kegiatan operasional tetap merupakan pelayanan umum. Semua yang akan naik KA harus dilayani, hal yang saat ini sudah tidak harus lagi. Sebagai contoh: Semua yang datang di setasiun pada masa angkutan lebaran akan naik KA maka kewajiban PJKA untuk mengangkut. Semua penumpang di stasiun harus habis terangkut, dengan okupansi yang sering di atas 100 persen dan kadang bahkan menggunakan gerbong barang. Angkutan Lebaran bagi insan kereta api sering menjadi ukuran pengabdian dan kesetiaan pada perusahaan dan pelayanan publik
Dengan keterbatasan yang ada untuk menjalankan tugas pemerintah dalam pelayanan publik perkeretaapian, bukan berarti Kaperjanka dan Direksi PJKA kemudian tidak melakukan inovasi, banyak inovasi yang sudah dilakukan, antara lain:
Konsultan Bank Dunia sebenarnya menyarankan perubahan bentuk perusahaan dari PJKA adalah langsung menjadi PT (Persero), namun demikian dengan berbagai pertimbangan pemerintah mengubah status PJKA menjadi Perum terlebih dahulu (Perumka). Fase ini kita sebut sebagai korporatisasi, yang semula sebagai agen pemerintah menjadi lebih bersifat perusahaan. Aset dan pegawai dipisahkan secara jelas antara aset negara dan PNS dengan aset perusahaan dan pegawai perusahaan. Pekerjaan administrasi perubahan status ini memerlukan energi dan waktu yang luar biasa besar. Inventarisasi aset, likuidasi PJKA, alih status pegawai dan sebagainya. Sangat berat
Perusaahaan tidak lagi dipimpin oleh Kepala (Kaperjanka) akan tetapi oleh Direksi, yang terdiri dari satu Direktur Utama dan empat Direktur (Keuangan, Teknik, Operasi dan Personalia&Umum).
Beberapa langkah strategis yang diambil manajemen pada masa Perumka, antara lain:
Perumka juga melanjutkan advokasi Bank Dunia yang setelah BTBD lanjut dengan Railway Reform, yang sebagai sweetener diberikan soft loan untuk beberapa kebutuhan perusahaan seperti permesinan di Balai Yasa, Crane, Truk dsb yang sebelumnya telah diidentifikasikan di dalam modul-modul BTBD. PSO, IMO, TAC dalam proses regulasi demikian juga rencana strategis untuk pelaksanaan UU Perkeretaapian
Perumka sudah mendapat sedikit keuntungan, namun 50% labanya yang sedikit tersebut untuk disetior ke pemerintah sebagai Dana Pembangunan Semesta (DPS). Dengan usulan Perumka Sebagian Dana DPS diberikan ke perusahaan untuk cicilan PSL yang merupakan kewajiban pemerintah
Pelayanan Kereta Api dirasakan masyarakat sudah jauh lebih baik dibanding era PJKA. KA-KA Klas Eksekutif yang tarifnya dapat ditetapkan sendiri oleh Perumka sudah dikenal bergengsi. Mendapatkan tiket KA Parahiangan dan Argo Gede cukup sulit karena banyak disukai masyarakat. Dengan frekuensi yang tinggi koridor Jakarta-Bandung merupkan cash cow Perumka. Angkutan batu bara di Sumatera Selatan menjadi primadona angkutan barang yang menyumbang pendapatan terbesar Perumka. JS 950 dan JB 250 merupakan tonggak penting bagi pelayanan kereta api karena promosi besar layanan ini. Secara internal perusahaan JS 950 dan JB 250 juga merupkan tonggak dan pemacu bekerja lebih keras dan lebih baik, serta merupkan proyek yang menyatupadukan semua unsur perkeretaapian: Jalan, Jembatan, traksi, operasi lalu lintas, pemasaran sampai ke ticketing dan administrasi
Pemerintah/ Kementerian Perhubungan agak berkurang di dalam campur tangan operasi perusahaan, namun sekali lagi juga sangat tergantung personnya. Pada akhir Perumka sudah terbentuk Kementerian BUMN yang didahului dengan pembentukan Direktur Jenderal BUMN. Biro TU BUMN Kemenhub dibubarkan. Rapat Umum Pemegang Saham untuk pengesahan RKAP da Pertanggungjawaban diselenggarakan di Kementerian BUMN. Warna mengejar keuntungan sudah semakin menonjol.
Pada bab ini penulis lebih merupakan pengamat, karena sudah mengundurkan diri sebagai Direktur Utama KAI karena kecelakaan KA di Serpong dengan korban tewas 4 (empat) orang.
Kemajuan teknologi informasi dengan digital mengubah total dua sendi utama perusahaan perkeretapian yakni: ticketing dan sistem informasi perusahaan. Implementasi keduanya mengubah secara drastis pelayanan dan optimasi penjualan produksi tempat duduk KA.
Di samping kemajuan teknologi digital tersebut juga pelaksanaan PSO dan IMO/TAC yang telah dirintis bertahun-tahun sebelumnya telah meningkatkan pendapatan secara drastis (terakhir tahun 2020 nilai PSO adalah Rp 2.6 triliun dan Tahun 2021 dianggarkan Rp 3,4 triliun) sehingga perusahaan mampu berkembang dengan baik karena keuntungan yang besar.
Sebagai PT, manajemen perusahaan melakukan investasi yang besar untuk pembaharuan sarana, prasarana dengan sumber dana antara lain dari dana di luar perusahaan (hutang).
KAI Ikut serta dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah (KA Cepat/KCIC, LRT), dengan saham minoritas dan juga dengan serah operasi setelah dibangun BUMN Karya.
Perbaikan pelayanan KA yang semakin handal, semua KA dengan A/C, tanpa penumpang berdiri, akses ke setasiun sangat dibatasi, dan perbaikan pelayanan lain yang menyeluruh hampir di semua lini meningkatkan nama KAI pada publik. KAI mengalami perbaikan yang signifikan.
Namun demikian tentu pelayanan publik yang dulunya dilaksanakan oleh PJKA dan Perumka tidak dapat lagi dilanjutkan. Kewajiban KA mengangkut semua penumpang di setasiun semasa Lebaran tidak lagi menjadi kewajiban. Stasiun juga bukan lagi rumah masyarakat selain calon penumpang untuk berinteraksi dengan KA. Layanan KA juga semakin mahal sejalan dengan pelayanan baik yang diterima. Tidak ada lagi penumpang yang menjadikan KA adalah last resort untuk membawa ke tujuannya. KA juga bukan lagi harapan untuk pedagang asongan yang berjualan. Itu semua memang harga yang harus dibayar untuk pelayanan yang lebih baik ke penumpang. Zaman juga telah berubah, publik lebih mengutamakan pelayanan yang baik dibanding pelyanan untuk semua lapisan. Sementara untuk angkutan barang masih tetap fokus pada angkutan batu bara di Sumatera Selatan yang terus meningkat performansinya.
Bandul pendulum perkeretaapian berayun dari pelayanan publik ke komersial, dari milik negara ke arah swastanisasi bukan hanya di Indonesia. Hampir seluruh dunia melakukan hal yang sama. Privatisasi British Rail pada zaman PM Margaret Thatcher diikuti hampir semua Perusahaan KA dunia seperti: DB Jerman, NS Belanda, Renfe Spanyol dsb. Dari sisi pelayanan publik tekanan mengarah pada integrasi baik inter moda ataupun antar moda transportasi. Saya mengilustrasikan pada dua contoh fenomena atas hal tersebut. Di Stasiun di Kota kecil Bodegraven Belanda (karena anak saya tinggal di sana jadi bisa melihat langsung dan lama). Lobi stasiun diubah menjadi restoran. Mesin Karcis (tidak ada lagi loket) diletakkan di emplasemen tanpa atap ataupun dinding. Ruang tunggu juga di emplasemen dengan atap dan dinding flexiglass sekedarnya. Jika hujan dan angin dan akan mengisi saldo tiket, maka penumpang akan kehujanan. Menunggu KA juga akan kena tempias. Pelayanan ke penumpang kalah oleh komersialisasi dengan menyewakan lobi stasiun untuk restoran. Sementara di Stasiun Berlin terdapat integrasi inter dan antar moda yang sangat banyak. Inter moda di Stasiun ini adalah DB (KA Intercity seperti KAI), S-Bahn (KA Sub-Urban seperti KCI) dan U-Bahn (Metro seperti MRTJ). Antar moda ada Tram, Bus, Taksi. Stasiun Berlin adalah TOD dengan area komersial yang besar seperti juga Stasiun Schiphol di Belanda. Dua contoh tersebut saya pilih karena mewarnai KAI juga pada perjalanannya sekarang ataupun yang akan datang
Bandul Pendulum yang berayun ke komersial juga menjadi kebijakan pemerintah yang terindikasikan pada peraturan perundangan terbaru yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja (Omnibuslaw), antara lain sebagai berikut:
Kebijakan publik atas perkeretaapian di Indonesia sebagaimana disampaikan di atas adalah mengarah kepada perkembangan perkeretaapian yang lebih cepat dengan menarik modal swasta. Fenomena yang sudah terjadi saat ini adalah antara lain:
Dari contoh-contoh yang terjadi di atas terdapat indikasi kebijakan publik yang kurang transparan dan bahkan ambigu atas perkeretaapian, sedikitnya ada catatan-catatan sebagai berikut yang selayaknya menjadi bahan pertimbangan pemerintah, yakni:
A. PENDAHULUAN
Pelayanan Publik boleh dikatakan merupakan indikator utama bahwa negara hadir untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab mendasarnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat atas kualitas kehidupannya baik individu maupun sosial. Kewajiban pelayanan publik adalah tuntutan rakyat atas mandat yang diberikan rakyat kepada pemerintah melaui pemilu dan pembayaran pajak
Transportasi yang lancar, aman dengan tarif yang terjangkau adalah salah satu bagian dari pelayanan publik yang sangat diharapkan rakyat. Transportasi merupakan komponen dalam peningkatan kualitas kehidupan rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Berbagai perubahan saat ini yang di dunia bisnis dikenal dengan VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) saat ilni telah memaksa transformasi menyeluruh birokrasi pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat dan membuka masuknya investasi. Untuk dapat mengatur pelayanan publik dan adminisitrasi negara dalam penyelenggaraannya walaupun harus sefleksibel mungkin namun tetap harus mengindahkan kaidah pemerintahan yang baik (good governance) dengan praktek yang sehat (sound practice) serta serta akuntabel dan auditable. Tidak asal lincah dan luwes.
Transportasi di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) atau boleh kita sebut Greater Jakarta, telah mengalami banyak perbaikan, dari semula angkutan KRL (Kereta Rel Listrik) Jabotabek yang padat penumpang sampai ke atap telah mengalami banyak perbaikan terutama setelah dibentuknya anak perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI) dengan mendirikan Kereta Comuter Indonesia (KCI) yang sebelumnya Kereta Comuter Jakarta (KCJ). Dari semula Bus PPD dsb menjadi Trans Jakarta (Busway). Juga telah beroperasi Mass Rapid Transit-Moda Raya Terpadu Jakarta (MRTJ) dan akan diikuti segera dengan Light Rail Transit-Lintas Rel Terpadu (LRT). Sistem Tiket Terpadu Jaklingko dan masih akan terus berkembang dengan berbagai inovasi pelayanan lainnya
Pada saat ini publik sedang dihebohkan dengan akan (atau telah) dibentuknya Perusahaan yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan angkutan di Jabotabek. Yang bernama Multi Intermoda Transportasi Jakarta (MITJ), dan diberitakan bahwa Pemegang Saham MITJ adalah KAI (49%) dan MRTJ (51%). Kehebohan adalah pada isu utama bahwa KAI jauh lebih besar dibanding MRTJ, karena angkutan KCI juga jauh lebih besar volumenya dibanding MRTJ, demikian pula asset yang dimilikinya.
Integrasi angkutan di jabotabek untuk peningkatan pelayanan publik jelas kebijakan publik yang amat baik dan strategis, namun apakah pembentukan MITJ merupakan praktek birokrasi pemerintahan yang baik selayaknya dianalisis lebih lanjut dalam tulisan ini
B. KEBIJAKAN PUBLIK PEMERINTAH UNTUK MENGINTEGRASIKAN ANGKUTAN JABOTABEK TELAH SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA UNTUK MEMENUHINYA
Diberitakan bahwa pada Rapat Terbatas Kabinet telah diarahkan bahwa diperlukan pengintegrasian Angkutan Publik di Jabotabek dengan:
Tujuan dan arah kebijakan publik yang ditetapkan jelas sangat baik dan sesuai dengan tujuan pelayanan publik untuk memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas kehidupannya. Angkutan terintegrasi yang nyaman, selamat, aman dan lancar melaui sistem yang terintegrasi baik dari sisi tiket, tarif kemudahan antar moda dan sebagainya jelas sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat greater Jakarta. Namun demikian apakah tujuan dan arah yang ditetapkan tersebut diikuti dengan mengindahkan kaidah pemerintahan yang baik (good governance) dengan praktek yang sehat (sound practice) serta akuntabel dan auditable dan sesuai yang diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku masih memerlukan analisis lebih lanjut
C. LANGKAH YANG AKAN DIAMBIL PEMERINTAH
Berdasar informasi dari berbagai sumber untuk dapat melaksanakan Tujuan dan Arah yang telah ditetapkan pemerintah akan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah-langkah yang akan diambil tersebut sejatinya merupakan hal yang rumit dan kompleks, dan seharusnya mempertimbangkan, antara lain: Peraturan Perundangan yang berlaku yakni Undang Undang No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU transportasi lain yang terkait beserta peraturan pelaksanaannya; Mempelajari bagaimana kota besar lain di dunia mengatur integrasi transportasinya; Instansi mana yang akan bertindak sebagai regulator dan bagaimana dengan BPTJ yang diharapkan dapat mengintegrasikan transportasi di Jabotabek
D. LANGKAH DALAM MELAKSANAKAN INTEGRASI ANGKUTAN JABOTABEK PERLU MENGINDAHKAN BEBERAPA PERATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU
Terdapat beberapa peraturan perundangan yang harus mendapat perhatian dalam melaksanakan langkah strategis untuk memenuhi tujuan pengintegrasian Jabotabek tersebut, yakni antara lain:
Dengan adanya kebijakan saat ini yang akan mengintegrasikan angkutan Jabotabek (lagi) maka patut diduga bahwa pembentukan BPTJ tidak berhasil. Perlu dievaluasi secara mendalam dan komprehensif mengapa pembentukan BPTJ tidak berhasil mengintegrasikan angkutan Jabotabek
Secara singkat berikut disampaikan beberapa gambaran umum tentang model regulator dan operator tarnsportasi publik di beberapa kota besar dunia sebagai berikut:
Jalur KA di greater Tokyo meliputi 158 jalur, 48 operator, 4,714.5 Km track KA, 2,210 stasiun. Operator KA juga operator bus, tram, monorail, LRT. Jaringan dikelola sebagai satu jaringan KA. Angkutan ini merupakan angkutan utama di Tokyo. Penggunaan mobil dan motor jauh di bawah angkutan publik ini.
Transportasi London dioperasikan oleh Transport for London (TfL) sebagai holding company yang mengoperasikan berbagai moda transportasi, rel, bus, tram, ferry dsb. Untuk yang berbasis rel, operator adalah: London Underground, Docklands Light Railway, London Overground/National Rail, Tramlink dsb. Heavy Rail untuk intercity, airport, sub urban dioperasikan oleh British Rail
Transportasi underground Paris (Metro) dioperasikan oleh The Métro dioperasikan oleh Regie Autonome des Transport Parisiene (RATP), a publik transport authority, dan Eole, Meteor. Dan untuk Sub-Urban dioperasikan oleh RER yang asalnya adalah bagian dari SNCF (Persh KA Prancis)
Transportasi KA di Berlin dioperasikan U-Bahn (KA urban ebagian besar underground) dioperasikan oleh BVG, S-Bahn (Sebagian besar Sub-Urban) dioperasikan Deutsche Bundesbahn (DB), dan Intercity dioperasikan DB
F. REGULATOR TRANSPORTASI JABOTABEK DAN BPTJ
Sementara sesuai informasi yang ada integrasi transportasi Jabotabek dipertimbangkan untuk mengarah pada model transportasi Greater London yang dioperasikan oleh Transport for London (TfL) yang merupakan: perusahaan publik berupa holding company, membawahi 14 perusahaan operator transportasi kereta api, tram, bus, jalan raya, angkutan sungai dan bandara. Mengonsolidasikan laporan keuangan holding antara lain untuk pengajuan PSO. TfL juga mengatur tarif dan pendapatan
Apabila akan mengikuti model TfL tentu banyak hal yang perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut, antara lain: Apakah MITJ juga holding company? Melihat apa yang telah dilaksanakan MITJ lebih mirip merger atau akuisisi. Apakah MITJ sebagai korporasi juga dapat mengatur tarif seperti Tfl? Semestinya tidak karena tarif sementara ini ditetapkan oleh regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Apakah MITJ juga akan berfungsi sebagi regulator perizinan operasi dimana kewenangan tersebut sebagian dimilik Tfl? Sepertinya tidak karena regulator operasional saat ini merupakan kewenangan instansi pemerintah yakni: Kementerian Perhubungan, Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta dan juga sebagian oleh BPTJ. Lalu bagaimana dengan kewenangan BPTJ, dan masih banyak pertanyaan lain yang seharusnya telah menjadi pertimbangan dalam menetapkan langkah strategis yang akan diambil di dalam penyelenggaraan integrasi transportasi Jabotabek
BPTJ saat ini memang merupakan institusi yang “tanggung” yakni diberi tugas untuk menintegrasikan transportasi Jabotabek namun tidak diberi kewenangan yang mencukupi. Secara sederhana saja bagaimana mungkin institusi di bawah Kementerian Perhubungan ini mengatur atau meregulasi transportasi yang kewenangannya saat ini di bawah tiga Gubernur Propinsi dan hanya sebatas memberi rekomendasi atas perencanaan dan perizinan
G. PEMBENTUKAN MITJ ADALAH SIMPLIFIKASI DARI PERSOALAN PENGINTEGRASIAN YANG KOMPLEKS
Belum didapat informasi yang adekuat atas pembentukan MITJ ini, hanya sebatas dari informasi yang ada MITJ dibentuk dengan kepemilikan saham 51% Pemda DKI Jakarta melalui MRTJ dan 49% Pemerintah melalui PT KAI. MITJ akan mengelola TOD 72 setasiun di DKI Jakarta, mengoperasikan KA Bandara, KA Komuter loopline dan pembangunan KA elevated line. Dari informasi minimal itu saja sudah mengundang banyak pertanyaan antara lain:
H. DAMPAK PEMBENTUKAN MITJ YANG AKAN TERJADI
Dengan sebatas informasi yang kurang adekuat tersebut saja sudah banyak menimbulkan pertanyaan dan telah dapat dilihat dampak atas Langkah pembentukan MITJ tersebut, antara lain:
I. TINDAKAN YANG PERLU DIAMBIL
Tujuan dan arah pemerintah menetapkan kebijakan untuk pengintegrasian transportasi Jabotabek adalah hal yang strategis dan bermanfaat besar untuk publik, namun demikian tindakan pertama untuk mendirikan MITJ adalah langkah yang terlalu menyederhanakan persoalan yang kompleks di dalam pengintegrasian transportasi Jabotabek. Untuk itu seyogianya Pemerintah melakukan evaluasi atas: